Minggu, Oktober 26, 2008

Keutamaan Taubat

Keutamaan Taubat
Kategori: Akhlaq dan Nasehat, Tazkiyatun Nufus

Hakikat taubat adalah kembali tunduk kepada Allah dari bermaksiat kepada-Nya kepada ketaatan kepada-Nya. Taubat ada dua macam: taubat mutlak dan taubat muqayyad (terikat). Taubat mutlak ialah bertaubat dari segala perbuatan dosa. Sedangkan taubat muqayyad ialah bertaubat dari salah satu dosa tertentu yang pernah dilakukan.

Syarat-syarat taubat meliputi: beragama Islam, berniat ikhlas, mengakui dosa, menyesali dosa, meninggalkan perbuatan dosa, bertekad untuk tidak mengulanginya, mengembalikan hak orang yang dizalimi, bertaubat sebelum nyawa berada di tenggorokan atau matahari terbit dari arah barat. Taubat adalah kewajiban seluruh kaum beriman, bukan kewajiban orang yang baru saja berbuat dosa. Karena Allah berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31) (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah, tentang pembahasan isi khutbatul hajah).

Allah Maha Pengampun, Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang

Allah menyifati diri-Nya di dalam Al Quran bahwa Dia Maha pengampun lagi Maha Penyayang hampir mendekati 100 kali. Allah berjanji mengaruniakan nikmat taubat kepada hamba-hambaNya di dalam sekian banyak ayat yang mulia. Allah ta’ala berfirman,

وَاللّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُواْ مَيْلاً عَظِيماً

“Allah menginginkan untuk menerima taubat kalian, sedangkan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya ingin agar kalian menyimpang dengan sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa’: 27)

Allah ta’ala juga berfirman,

وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ

“Dan seandainya bukan karena keutamaan dari Allah kepada kalian dan kasih sayang-Nya (niscaya kalian akan binasa). Dan sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha bijaksana.” (QS. An Nuur: 10)

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ

“Sesungguhnya Tuhanmu sangat luas ampunannya.” (QS. An Najm: 32)

Allah ta’ala berfirman,

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ

“Rahmat-Ku amat luas meliputi segala sesuatu.” (QS. Al A’raaf: 156)

Oleh Karenanya, Saudaraku yang Tercinta…

Pintu taubat ada di hadapanmu terbuka lebar, ia menanti kedatanganmu… Jalan orang-orang yang bertaubat telah dihamparkan. Ia merindukan pijakan kakimu… Maka ketuklah pintunya dan tempuhlah jalannya. Mintalah taufik dan pertolongan kepada Tuhanmu… Bersungguh-sungguhlah dalam menaklukkan dirimu, paksalah ia untuk tunduk dan taat kepada Tuhannya. Dan apabila engkau telah benar-benar bertaubat kepada Tuhanmu kemudian sesudah itu engkau terjatuh lagi di dalam maksiat, sehingga memupus taubatmu yang terdahulu, janganlah malu untuk memperbaharui taubatmu untuk kesekian kalinya. Selama maksiat itu masih berulang padamu maka teruslah bertaubat.

Allah ta’ala berfirman,

فَإِنَّهُ كَانَ لِلأَوَّابِينَ غَفُوراً

“Karena sesungguhnya Dia Maha mengampuni kesalahan hamba-hamba yang benar-benar bertaubat kepada-Nya.” (QS. Al Israa’: 25)

Allah ta’ala juga berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ

“Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa, sesungguhnya Dialah Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datangnya azab kemudian kalian tidak dapat lagi mendapatkan pertolongan.” (QS. Az Zumar: 53-54)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Seandainya kalian berbuat dosa sehingga tumpukan dosa itu setinggi langit kemudian kalian benar-benar bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubat kalian.” (Shahih Ibnu Majah)

Maka di manakah orang-orang yang bertaubat dan menyesali dosanya? Di manakah orang-orang yang kembali taat dan merasa takut siksa? Di manakah orang-orang yang ruku’ dan sujud?

Berbagai Keutamaan Taubat

Pada hakikatnya taubat itulah isi ajaran Islam dan fase-fase persinggahan iman. Setiap insan selalu membutuhkannya dalam menjalani setiap tahapan kehidupan. Maka orang yang benar-benar berbahagia ialah yang menjadikan taubat sebagai sahabat dekat dalam perjalanannya menuju Allah dan negeri akhirat. Sedangkan orang yang binasa adalah yang menelantarkan dan mencampakkan taubat di belakang punggungnya. Beberapa di antara keutamaan taubat ialah:

Pertama: Taubat adalah sebab untuk meraih kecintaan Allah ‘azza wa jalla.

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang suka membersihkan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)

Kedua: Taubat merupakan sebab keberuntungan.

Allah ta’ala berfirman

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kepada Allah wahai semua orang yang beriman, supaya kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31)

Ketiga: Taubat menjadi sebab diterimanya amal-amal hamba dan turunnya ampunan atas kesalahan-kesalahannya.

Allah ta’ala berfirman

وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ

“Dialah Allah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan Maha mengampuni berbagai kesalahan.” (QS. Asy Syuura: 25)

Allah ta’ala juga berfirman

وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً

“Dan barang siapa yang bertaubat dan beramal saleh maka sesungguhnya Allah akan menerima taubatnya.” (QS. Al Furqaan: 71) artinya taubatnya diterima

Keempat: Taubat merupakan sebab masuk surga dan keselamatan dari siksa neraka.

Allah ta’ala berfirman,

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئاً

“Maka sesudah mereka (nabi-nabi) datanglah suatu generasi yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, niscaya mereka itu akan dilemparkan ke dalam kebinasaan. Kecuali orang-orang yang bertaubat di antara mereka, dan beriman serta beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang akan masuk ke dalam surga dan mereka tidaklah dianiaya barang sedikit pun.” (QS. Maryam: 59, 60)

Kelima: Taubat adalah sebab mendapatkan ampunan dan rahmat.

Allah ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ عَمِلُواْ السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابُواْ مِن بَعْدِهَا وَآمَنُواْ إِنَّ رَبَّكَ مِن بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan orang-orang yang mengerjakan dosa-dosa kemudian bertaubat sesudahnya dan beriman maka sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengampun dan Penyayang.” (QS. Al A’raaf: 153)

Keenam: Taubat merupakan sebab berbagai kejelekan diganti dengan berbagai kebaikan.

Allah ta’ala berfirman,

وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

“Dan barang siapa yang melakukan dosa-dosa itu niscaya dia akan menemui pembalasannya. Akan dilipatgandakan siksa mereka pada hari kiamat dan mereka akan kekal di dalamnya dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman serta beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang digantikan oleh Allah keburukan-keburukan mereka menjadi berbagai kebaikan. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS. Al Furqaan: 68-70)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang yang bertaubat dari suatu dosa sebagaimana orang yang tidak berdosa.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)

Ketujuh: Taubat menjadi sebab untuk meraih segala macam kebaikan.

Allah ta’ala berfirman,

فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ

“Apabila kalian bertaubat maka sesungguhnya hal itu baik bagi kalian.” (QS. At Taubah: 3)

Allah ta’ala juga berfirman,

فَإِن يَتُوبُواْ يَكُ خَيْراً لَّهُمْ

“Maka apabila mereka bertaubat niscaya itu menjadi kebaikan bagi mereka.” (QS. At Taubah: 74)

Kedelapan: Taubat adalah sebab untuk menggapai keimanan dan pahala yang besar.

Allah ta’ala berfirman,

إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَاعْتَصَمُواْ بِاللّهِ وَأَخْلَصُواْ دِينَهُمْ لِلّهِ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْراً عَظِيماً

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, memperbaiki diri dan berpegang teguh dengan agama Allah serta mengikhlaskan agama mereka untuk Allah mereka itulah yang akan bersama dengan kaum beriman dan Allah akan memberikan kepada kaum yang beriman pahala yang amat besar.” (QS. An Nisaa’: 146)

Kesembilan: Taubat merupakan sebab turunnya barakah dari atas langit serta bertambahnya kekuatan.

Allah ta’ala berfirman,

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلاَ تَتَوَلَّوْاْ مُجْرِمِينَ

“Wahai kaumku, minta ampunlah kepada Tuhan kalian kemudian bertaubatlah kepada-Nya niscaya akan dikirimkan kepada kalian awan dengan membawa air hujan yang lebat dan akan diberikan kekuatan tambahan kepada kalian, dan janganlah kalian berpaling menjadi orang yang berbuat dosa.” (QS. Huud: 52)

Kesepuluh: Keutamaan taubat yang lain adalah menjadi sebab malaikat mendoakan orang-orang yang bertaubat.

Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta’ala,

الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْماً فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ

“Para malaikat yang membawa ‘Arsy dan malaikat lain di sekelilingnya senantiasa bertasbih dengan memuji Tuhan mereka, mereka beriman kepada-Nya dan memintakan ampunan bagi orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu maha luas meliputi segala sesuatu, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta peliharalah mereka dari siksa neraka.” (QS. Ghafir: 7)

Kesebelas: Keutamaan taubat yang lain adalah ia termasuk ketaatan kepada kehendak Allah ‘azza wa jalla.

Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta’ala,

وَاللّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُواْ مَيْلاً عَظِيماً

“Dan Allah menghendaki untuk menerima taubat kalian.” (QS. An Nisaa’: 27). Maka orang yang bertaubat berarti dia adalah orang yang telah melakukan perkara yang disenangi Allah dan diridhai-Nya.

Kedua belas: Keutamaan taubat yang lain adalah Allah bergembira dengan sebab hal itu.

Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Sungguh Allah lebih bergembira dengan sebab taubat seorang hamba-Nya ketika ia mau bertaubat kepada-Nya daripada kegembiraan seseorang dari kalian yang menaiki hewan tunggangannya di padang luas lalu hewan itu terlepas dan membawa pergi bekal makanan dan minumannya sehingga ia pun berputus asa lalu mendatangi sebatang pohon dan bersandar di bawah naungannya dalam keadaan berputus asa akibat kehilangan hewan tersebut, dalam keadaan seperti itu tiba-tiba hewan itu sudah kembali berada di sisinya maka diambilnya tali kekangnya kemudian mengucapkan karena saking gembiranya, ‘Ya Allah, Engkaulah hambaku dan akulah tuhanmu’, dia salah berucap karena terlalu gembira.” (HR. Muslim)

Ketiga belas: Taubat juga menjadi sebab hati menjadi bersinar dan bercahaya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: Sesungguhnya seorang hamba apabila berbuat dosa maka di dalam hatinya ditorehkan sebuah titik hitam. Apabila dia meninggalkannya dan beristighfar serta bertaubat maka kembali bersih hatinya. Dan jika dia mengulanginya maka titik hitam itu akan ditambahkan padanya sampai menjadi pekat, itulah raan yang disebutkan Allah ta’ala,

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekali-kali tidak akan tetapi itulah raan yang menyelimuti hati mereka akibat apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Muthaffifin: 14) (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dihasankan Al Albani)

Oleh karena itu, saudaraku yang kucintai…

Sudah sepantasnya setiap orang yang berakal untuk bersegera menggapai keutamaan dan memetik buah memikat yang dihasilkan oleh ketulusan taubat itu…, Saudaraku:

Tunaikanlah taubat yang diharapkan Ilahi

demi kepentinganmu sendiri

Sebelum datangnya kematian dan lisan terkunci

Segera lakukan taubat dan tundukkanlah jiwa

Inilah harta simpanan bagi hamba yang kembali taat dan baik amalnya

Tingkatan Jihad Melawan Syaitan

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: Jihad melawan syaitan itu ada dua tingkatan.

Pertama, berjihad melawannya dengan cara menolak segala syubhat dan keragu-raguan yang menodai keimanan yang dilontarkannya kepada hamba.

Kedua, berjihad melawannya dengan cara menolak segala keinginan yang merusak dan rayuan syahwat yang dilontarkan syaitan kepadanya.

Maka tingkatan jihad yang pertama akan membuahkan keyakinan sesudahnya. Sedangkan jihad yang kedua akan membuahkan kesabaran.

Allah ta’ala berfirman,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Maka Kami jadikan di antara mereka para pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami karena mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah: 24)

Allah mengabarkan bahwasanya kepemimpinan dalam agama hanya bisa diperoleh dengan bekal kesabaran dan keyakinan. Kesabaran akan menolak rayuan syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak, sedangkan dengan keyakinan berbagai syubhat dan keragu-raguan akan tersingkirkan.

Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam. Wal hamdu lillaahi Rabbil ‘aalamiin.

(disadur dari Ya Ayyuhal Muqashshir mata tatuubu, Qismul ‘Ilmi Darul Wathan dan tambahan dari sumber lain)

Jogjakarta, 9 Rabi’uts Tsani 1427 Hijriyah

***

Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi

Hakikat Tasawuf (1)

Kategori: Aqidah

Pendahuluan

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد

Istilah “sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah ta’ala

Sebelum kami membahas tentang hakikat tasawuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan cuma dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi barometer adalah sesuai tidaknya pemahaman tersebut dengan Al Quran dan As Sunnah menurut apa yang dipahami salafush shalih. Sebagai bukti akan hal ini kisah khawarij, kelompok yang pertama menyempal dalam islam yang diperangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal kalau kita melihat pengakuan lisan dan penampilan lahir kelompok khawarij ini maka tidak akan ada seorang pun yang menduga bahwa mereka menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan yang besar dalam batin mereka, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjelaskan ciri-ciri kelompok khawarij ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“…Mereka (orang-orang khawarij) selalu mengucapkan (secara lahir) kata-kata yang baik dan indah, dan mereka selalu membaca Al Quran tapi (bacaan tersebut) tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka)…” (HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu).

Dan dalam riwayat yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “… Bacaan Al Quran kalian (wahai para sahabatku) tidak ada artinya jika dibandingkan dengan bacaan Al Quran mereka, (demikian pula) shalat kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat mereka, (demikian pula) puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan puasa mereka (HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu)

Maka pada hadits yang pertama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang ciri-ciri mereka yang selalu mengucapkan kata-kata yang baik dan indah tapi cuma di mulut saja dan tidak masuk ke dalam hati mereka, dan pada hadits yang ke dua Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang penampilan lahir mereka yang selalu mereka tampakkan untuk memperdaya manusia, yaitu kesungguhan dalam beribadah yang bahkan sampai kelihatannya melebihi kesungguhan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam beribadah (karena memang para Sahabat radhiyallahu ‘anhum berusaha keras untuk menyembunyikan ibadah mereka karena takut tertimpa riya)

Yang kemudian prinsip ini diterapkan dengan benar oleh Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, tatkala kelompok khawarij keluar untuk memberontak dengan satu slogan yang mereka elu-elukan: “Tidak ada hukum selain hukum Allah ‘azza wa jalla“. Maka Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau radhiyallahu ‘anhu yang sangat masyhur -yang seharusnya kita jadikan sebagai pedoman dalam menilai suatu pemahaman- yaitu ucapan beliau radhiyallahu ‘anhu: “(slogan mereka itu ) adalah kalimat (yang nampaknya) benar tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.”

Semoga Allah ‘azza wa jalla Merahmati Imam Abu Muhammad Al Barbahari yang mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya Syarhus Sunnah dengan ucapan beliau: “Perhatikan dan cermatilah -semoga Allah ‘azza wa jalla merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali kamu terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai kamu tanyakan dan meneliti kembali: Apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamradhiyallahu ‘anhu atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlussunnah? Kalau kamu dapati ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka radhiyallahu ‘anhum berpegang teguhlah kamu dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah (sekali-kali) kamu meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) kamu akan terjerumus ke dalam neraka!” (Syarhus Sunnah, tulisan Imam Al Barbahari hal.61, tahqiq Syaikh Khalid Ar Radadi). Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawuf ini.

Definisi Tasawuf/Sufi

Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol) dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihi sallam (Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah” (hal. 13), tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” (yang artinya: penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al Madani” (artinya: penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya. Ada yang mengatakan: “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin radhiyallahu ‘anhum yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan peng- hidupan yang cukup. Lihat kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34, -pen), tapi pendapat ini (jelas) salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf “fa’ “yang didobel). Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan) yang terdepan di hadapan Allah ‘azza wa jalla, pendapat ini pun salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” (dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’ ” yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah” (orang-orang terpilih) dari semua makhluk Allah ‘azza wa jalla, dan pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shafawi”. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada (seorang yang bernama) Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu (zaman jahiliah) pernah bertempat tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk (ibadah) setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah meskipun lafazhnya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada mereka maka mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama shufi tidak mengenal qabilah (suku) ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya dalam islam. Ada juga yang mengatakan -dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” (kain wol)(Majmu’ul Fatawa, 11/5-6).

Lahirnya Ajaran Tasawuf

Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. (Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dariHasan Al Bashri” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).

Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya (Majmu’ Al Fatawa, 11/6).

Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka. (Talbis Iblis hal 161).

Dan berkata DR. Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan (hal. 17) “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tasawwuf, hal. 13).

Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar hal. 28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun yang sekarang dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla, bahkan justru sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model agama Budha” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 14).

Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. (Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15)

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

Hakikat Tasawuf (2)

Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang Dari Petunjuk Al Quran dan As Sunnah*

*Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tashawwuf, pembahasan: Mauqif Ash Shufiyyah Min Al ‘Ibadah wa Ad Din (hal.17-38) dengan sedikit perubahan

Orang-orang ahli Tasawuf -khususnya yang ada di zaman sekarang- mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlusunnah wal Jamaah, dan menyimpang sangat jauh dari Al Quran dan As Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatan mereka di atas simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat kita simpulkan sebagai berikut.

Pertama, mereka membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah (kecintaan) saja dan mengenyampingkan aspek-aspek yang lainnya, seperti aspek Khauf (rasa takut) dan Raja’ (harapan), sebagaimana yang terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tasawuf, “Aku beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla bukan karena aku mengharapkan masuk surga dan juga bukan karena takut masuk neraka!?”. Memang benar bahwa aspek Mahabbah adalah landasan berdirinya ibadah, akan tetapi ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek Mahabbah saja -sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf-, karena ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek Mahabbah, seperti aspek khauf, raja’, dzull (penghinaan diri), khudhu’ (ketundukkan), doa dan aspek-aspek lain. Salah seorang ulama Salaf berkata: “Barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan semata maka dia adalah seorang zindiq, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah dengan pengharapan semata maka dia adalah seorang Murji’ah, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ketakutan semata maka dia adalah seorang Haruriyyah (Khawarij), dan barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar)”.Oleh karena itu Allah ‘azza wa jalla memuji sifat para Nabi dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan siksaan-Nya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Kebanyakan orang-orang yang menyimpang (dari jalan Allah), orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran bid’ah berupa sikap zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak dilandasi ilmu dan tidak sesuai dengan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, mereka terjerumus ke dalam kesesatan seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani yang mengaku-ngaku mencintai Allah, yang bersamaan dengan itu mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menjalankan agama-Nya, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya” (Kitab Al ‘Ubudiyyah, tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (hal. 90), cet. Darul Ifta’, Riyadh). Dari uraian di atas jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah saja tidaklah disebut ibadah, bahkan ajaran ini bisa menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan bahkan menyebabkan dia keluar dari agama islam.

Kedua, orang-orang ahli tasawuf umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah, tapi yang mereka jadikan pedoman adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka dan ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka, berupa Thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits yang palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka. Inilah landasan ibadah dan keyakinan ajaran Tasawuf.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang ahli Tasawuf dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nasrani, yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya, kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (Nabi/Rasul) yang terjaga dari kesalahan, maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli Tasawuf) mereka menjadikan para pemimpin dan guru mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka”.

Ketiga, termasuk doktrin ajaran Tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan menetapi zikir-zikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka, yang kemudian mereka menetapi dan mencukupkan diri dengan zikir-zikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan selalu membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca zikir-zikir tersebut lebih utama daripada membaca Al Quran, dan mereka menamakannya dengan “zikirnya orang-orang khusus”.

Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah mereka namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, maka kalimat (Laa Ilaha Illallah ) menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang umum”, adapun “zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal “Allah” dan “zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus” adalah kata (Huwa/ Dia).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang menyangka bahwa kalimat (Laa Ilaha Illallah) adalah zikirnya orang-orang umum, dan zikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal “Allah”, serta zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang berdalil untuk membenarkan hal ini, dengan firman Allah ‘azza wa jalla:

قُلِ اللّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ

“Katakan: Allah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya” (QS. Al An’aam: 91).

(Berdalil dengan cara seperti ini) adalah kesalahan yang paling nyata yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf, bahkan ini termasuk menyelewengkan ayat Al Quran dari maknanya yang sebenarnya, karena sesungguhnya kata “Allah” dalam ayat ini disebutkan dalam kalimat perintah untuk menjawab pertanyaan sebelumnya , yaitu yang Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:

وَمَا قَدَرُواْ اللّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُواْ مَا أَنزَلَ اللّهُ عَلَىبَشَرٍ مِّن شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاء بِهِ مُوسَى نُوراًوَهُدًى لِّلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيراًوَعُلِّمْتُم مَّا لَمْ تَعْلَمُواْ أَنتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ قُلِ اللّهُ

“Katakanlah: Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang terpisah-pisah, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu tidak mengetahuinya?, katakanlah: Allah (yang menurunkannya)” (QS. Al An’aam:91).

Jadi maknanya yang benar adalah: “Katakanlah: Allah, Dialah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa shallallahu ‘alaihi wa sallam”(Kitab Al ‘Ubudiyyah hal.117)

Keempat, sikap Ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrem) orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang-orang yang mereka anggap wali dan guru-guru thariqat mereka, yang bertentangan dengan aqidah Ahlusunnah wal Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah berwala (mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai Allah ‘azza wa jalla dan membenci musuh-musuh Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla berfirman:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

“Sesungguhnya wali (kekasih/penolongmu) hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al Maaidah: 55).

Dan Allah ‘azza wa jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءتُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1).

Wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah ‘azza wa jalla). Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Dan perlu ditegaskan di sini bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan pada orang-orang tertentu, bahkan setiap orang yang beriman dan bertakwa dia adalah wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla, akan tetapi kedudukan sebagai wali Allah ‘azza wa jalla tidaklah menjadikan seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah.

Adapun makna wali menurut orang-orang ahli Tasawuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah, karena orang-orang ahli Tasawuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah) dalam masalah ini, sehingga mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu tanpa dilandasi dalil dari syariat yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut. Bahkan tidak jarang mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, bahkan kepada orang yang dikenal punya penyimpangan dalam keimanannya, seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Dan terkadang mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali” melebihi kedudukan para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka:

Kedudukan para Nabi di alam Barzakh

Sedikit di atas kedudukan Rasul, dan di bawah kedudukan wali

Orang-orang ahli Tasawuf juga berkata, “Sesungguhnya para wali mengambil (agama mereka langsung) dari sumber tempat Malaikat Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!”. Dan mereka juga menganggap bahwa wali-wali mereka itu terjaga dari kesalahan?!.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli Tasawuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menunaikan kebutuhannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang gaib (tidak nampak), atau orang yang sakit dan yang semisalnya. Padahal kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘azza wa jalla. Bahkan orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? apakah orang tersebut selalu menaati perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? (Oleh karena itulah kita tidak pernah mendengar ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa Superman dan Gatotkaca adalah wali-wali Allah, padahal mereka ini (katanya) bisa terbang di udara?! -pen) …karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin, maka sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah”. (Majmu’ Al Fatwa, 11/215).

Kemudian ternyata kesesatan orang-orang ahli tasawuf tidak sampai di sini saja, karena sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menentukan kejadian-kejadian di alam semesta ini, mengetahui hal-hal yang gaib, memenuhi kebutuhan orang-orang yang meminta pertolongan kepada mereka dalam perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah ‘azza wa jalla dan sifat-sifat ketuhanan lainnya. Kemudian sikap berlebih-lebihan ini menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah ‘azza wa jalla, dengan membangun kuburan “para wali” tersebut, meyakini adanya keberkahan pada tanah kuburan tersebut, melakukan berbagai macam kegiatan ibadah padanya, seperti thawaf dengan mengelilingi kuburan tersebut, bernazar dengan maksud mendekatkan diri kepada penghuni kubur dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya.

Kelima, termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan, yang semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla. DR Shabir Tha’imah berkata dalam kitabnya Ash Shufiyyah, Mu’taqadan wa Masakan, “Saat ini tarian sufi modern telah dipraktekkan pada mayoritas thariqat-thariqat sufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka, di mana para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita, sedangkan para murid senior dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Ketahuilah bahwa perbuatan orang-orang ahli tasawuf ini sama sekali tidak pernah dilakukan di awal tiga generasi yang utama di semua negeri islam: Hijaz, Syam, Yaman, Mesir, Magrib, Irak, dan Khurasan. Orang-orang yang shalih, taat beragama dan rajin beribadah pada masa itu tidak pernah berkumpul untuk mendengarkan siulan (yang berisi lantunan musik), tepukan tangan, tabuhan rebana dan ketukan tongkat (seperti yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf), perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) yang muncul di penghujung abad kedua, dan ketika para Imam Ahlusunnah melihat perbuatan ini mereka langsung mengingkarinya, (sampai-sampai) Imam Asy Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku tinggalkan Baghdad, dan di sana ada suatu perbuatan yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq (munafik tulen) yang mereka namakan At Taghbir (At Taghbir adalah semacam Qasidah yang dilantunkan dan berisi ajakan untuk zuhud dalam urusan dunia, lihat kitab Igatsatul Lahfan tulisan Imam Ibnul Qayyim, maka silakan pembaca bandingkan At Taghbir ini dengan apa yang di zaman sekarang ini disebut sebagai Nasyid Islami (?), apakah ada perbedaan di antara keduanya? Jawabnya: keduanya serupa tapi tak beda! Kalau demikian berarti hukum nasyid islami adalah…., saya ingin mengajak pembaca sekalian membayangkan semisalnya ada seorang presiden yang hobi dengar nasyid islami, apa kita tidak khawatir kalau dalam upacara bendera sewaktu acara pengibaran bendera akan diiringi dengan nasyid islami!!? -pen), yang mereka jadikan senjata untuk menjauhkan kaum muslimin dari Al Quran”. Dan Imam Yazid bin Harun berkata: “orang yang mendendangkan At Taghbir tidak lain adalah orang fasik, kapan munculnya perbuatan ini?”

Imam Ahmad ketika ditanya (tentang perbuatan ini), beliau menjawab, “Aku tidak menyukainya (karena) perbuatan ini adalah bid’ah”, maka beliau ditanya lagi: apakah anda mau duduk bersama orang-orang yang melakukan perbuatan ini? Beliau menjawab, “Tidak”. Demikian pula Imam-Imam besar lainnya mereka semua tidak menyukai perbuatan ini. Dan para Syaikh (ulama) yang Shalih tidak ada yang mau menghadiri (menyaksikan) perbuatan ini, seperti: Ibrahim bin Adham, Fudhail bin ‘Iyadh, Ma’ruf Al Karkhi, Abu Sulaiman Ad Darani, Ahmad bin Abil Hawari, As Sariy As Saqti dan syaikh-syaikh lainnya” (Majmu’ Al Fatawa 11/569).

Maka orang-orang ahli Tasawuf yang mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan cara-cara seperti ini, adalah tepat jika dikatakan bahwa mereka itu seperti orang-orang (penghuni Neraka) yang dicela oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:

الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَهُمْ لَهْواً وَلَعِباً وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُالدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنسَاهُمْ كَمَا نَسُواْ لِقَاء يَوْمِهِمْ هَـذَا وَمَاكَانُواْ بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ

“(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami” (QS. Al A’raaf: 51).

Keenam, juga termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan yang jika seseorang telah mencapainya maka dia akan terlepas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran Tasawuf, karena asal mula ajaran Tasawuf -sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnul Jauzi- adalah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur.

Kemudian Ibnul Jauzi mengatakan: “Inilah asal mula ajaran Tasawuf yang dipraktekkan oleh pendahulu-pendahulu mereka, kemudian Iblis mulai memalingkan dan menyesatkan mereka dari generasi ke generasi berikutnya dengan berbagai macam syubhat (kerancuan) dan talbis (pencampuradukan), kemudian penyimpangan ini terus bertambah sehingga Iblis berhasil dengan baik menguasai generasi belakangan dari orang-orang ahli Tasawuf. Pada mulanya, dasar upaya penyesatan yang diterapkan oleh Iblis kepada mereka adalah memalingkan mereka dari (mempelajari) ilmu agama dan mengesankan kepada mereka bahwa tujuan utama adalah (semata-semata) beramal (tanpa perlu ilmu),dan ketika Iblis telah berhasil memadamkan cahaya ilmu dalam diri mereka, mulailah mereka berjalan tanpa petunjuk dalam kegelapan/kesesatan, maka di antara mereka ada yang dikesankan padanya bahwa tujuan utama (ibadah) adalah meninggalkan urusan dunia secara keseluruhan, sampai-sampai mereka meninggalkan apa-apa yang dibutuhkan oleh tubuh mereka, bahkan mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, dan mereka lupa bahwa Allah ‘azza wa jalla menjadikan harta bagi manusia untuk kemaslahatan mereka, kemudian mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyiksa diri-diri mereka, sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak pernah tidur (sama sekali). Meskipun niat mereka baik (sewaktu melakukan perbuatan ini), akan tetapi (perbuatan yang mereka lakukan) menyimpang dari jalan yang benar. Di antara mereka juga ada yang beramal berdasarkan hadits-hadits yang palsu tanpa disadarinya karena dangkalnya ilmu agama.

Kemudian datanglah generasi-generasi setelah mereka yang mulai membicarakan (keutamaan) lapar, miskin dan bisikan-bisikan jiwa, bahkan mereka menulis kitab-kitab (khusus) tentang masalah ini, seperti (tokoh sufi yang bernama) Al Harits Al Muhasibi. Lalu datang generasi selanjutnya yang mulai merangkum dan menghimpun mazhab/ajaran Tasawuf dan mengkhususkannya dengan sifat-sifat khusus, seperti Ma’rifah (mengenal Allah dengan sebenarnya)(??!), Sama’ (mendengarkan nyanyian dan lantunan musik), Wajd (bisikan jiwa), Raqsh (tari-tarian) dan Tashfiq (tepukan tangan), kemudian ajaran tasawuf terus berkembang dan para guru thariqat mulai membuat aturan-aturan khusus bagi mereka dan membicarakan (membangga-banggakan) kedudukan mereka (orang-orang ahli Tasawuf), sehingga (semakin lama mereka semakin jauh dari petunjuk) para ulama Ahlusunnah, dan mereka mulai memandang tinggi ajaran dan ilmu mereka (ilmu Tasawuf), sampai-sampai mereka namakan ilmu tersebut dengan ilmu batin dan mereka menganggap ilmu syari’at sebagai ilmu lahir??! Dan di antara mereka karena rasa lapar yang sangat hingga membawa mereka kepada khayalan-khayalan yang rusak dan mengaku-ngaku jatuh cinta dan kasmaran kepada Al Haq (Allah ‘azza wa jalla), (padahal yang) mereka lihat dalam khayalan mereka adalah seseorang yang rupanya menawan yang kemudian membuat mereka jatuh cinta berat (lalu mereka mengaku-ngaku bahwa yang mereka cintai itu adalah Allah ‘azza wa jalla).

Maka mereka ini (terombang-ambing) di antara kekufuran dan bid’ah, kemudian semakin banyak jalan-jalan sesat yang mereka ikuti sehingga menyebabkan rusaknya akidah mereka, maka di antara mereka ada yang menganut keyakinan Al Hulul, juga ada yang menganut keyakinan Wihdatul Wujud, dan terus-menerus Iblis menyesatkan mereka dengan berbagai bentuk bid’ah (penyimpangan) sehingga mereka menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri tata cara beribadah yang khusus (yang berbeda dengan tata cara beribadah yang Allah ‘azza wa jalla syari’atkan dalam agama islam)” (Kitab Talbis Iblis, tulisan Ibnul Jauzi hal. 157-158).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika beliau ditanya tentang sekelompok orang yang mengatakan bahwa diri mereka telah mencapai tingkatan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat, maka beliau menjawab: “Tidak diragukan lagi -menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman- bahwa ucapan ini adalah termasuk kekufuran yang paling besar, bahkan ucapan ini lebih buruk daripada ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya, dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya, dan mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla, meyakini janji dan ancaman-Nya…

Kesimpulannya: Bahwa Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama islam) dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah ‘azza wa jalla secara keseluruhan, karena dengan keyakinan tersebut berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama, mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla, bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang pada sebagian dari ajaran agama nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam… Dan di antara mereka ada yang berargumentasi (untuk membenarkan keyakinan tersebut) dengan firman Allah ‘azza wa jalla:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Hijr: 99).

Mereka berkata makna ayat di atas adalah, “sembahlah Rabbmu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu…”. (Pada Hakikatnya) ayat ini justru menyanggah (keyakinan) mereka dan tidak membenarkannya. Hasan Al Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian, kemudian Hasan Al Bashri membaca ayat tersebut di atas. Dan makna “Al Yaqin” dalam ayat tersebut adalah “Al Maut” (kematian) dan peristwa-peristiwa sesudahnya, (dan makna ini) berdasarkan kesepakatan semua ulama Islam, seperti yang juga Allah ‘azza wa jalla sebutkan dalam Firman-Nya:

مَاسَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَآئِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ

“Apa yang menyebabkan kamu (wahai orang-orang kafir) masuk ke dalam Saqar (neraka)?, mereka menjawab: Kami dahulu (di dunia) tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan kami ikut membicarakan yang bathil bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, hingga datanglah pada kami sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Muddatstsir: 42-47).

Maka (dalam ayat ini) mereka (orang-orang kafir) menyebutkan (bahwa telah sampai kepada mereka Al Yaqin/kematian) padahal mereka termasuk penghuni neraka, dan mereka ceritakan perbuatan-perbuatan mereka (yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka): meninggalkan shalat dan zakat, mendustakan hari kemudian, membicarakan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya, sampai datang pada mereka Al Yaqin (kematian)… yang maksudnya adalah: datang kepada mereka sesuatu yang telah dijanjikan, yaitu Al Yaqin (kematian)” (Majmu’ Al Fatawa 401-402 dan 417-418).

Maka ayat tersebut di atas jelas sekali menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal sampai ketika kematian datang menjemputnya, dan tidak ada sama sekali dalam ajaran islam apa yang dinamakan tingkatan/ keadaan yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli Tasawuf.

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.

Hakikat Tasawuf (3)

Sekte-Sekte Dalam Ajaran Tasawuf*

* Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali dalam kitabnya Haqiqat Ash Shufiyyah (hal.18-21), dengan sedikit perubahan.

Kita dapat membagi ajaran tasawuf yang ekstrem ke dalam tiga sekte:

Pertama, sekte Al Isyraqi, sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Yang dimaksud dengan Al Isyraqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan menyucikan ruh, yang ajaran ini sebenarnya ada pada semua sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada ajaran Al Hulul (menitisnya Allah ‘azza wa jalla ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul Wujud (bersatunya wujud Allah ‘azza wa jalla dengan wujud makhluk /Manunggaling Gusti ing kawulo – Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan), meskipun demikian ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran islam, karena ajaran ini diambil dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti agama Budha dan Hindu.

Kedua, sekte Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘azza wa jalla bisa bertempat/menitis dalam diri manusia -Maha Suci Allah ‘azza wa jalla dari sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang karenanya para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati, yang kemudian dia dibunuh dan disalib -Alhamdulillah- pada tahun 309 H. Di dalam Sya’ir yang dinisbatkan kepadanya dia berkata (kitab At Thawasiin, tulisan Al Hallaj hal.130):

Maha suci (Allah) yang Nasut (unsur/sifat kemanusiaan)-Nya telah menampakkan

rahasia cahaya Lahut (unsur/sifat ketuhanan)-Nya yang menembus

Lalu Tampaklah Dia dengan jelas pada (diri) makhluk-Nya

dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum

Hingga (sangat jelas) Dia terlihat oleh makhluk-Nya

seperti (jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata

Dalam sya’ir lain (kitab Al Washaaya, tulisan Ibnu ‘Arabi (hal.27), -Maha Suci Allah dari sifat-sifat kotor yang mereka sebutkan-) dia berkata:

Aku adalah yang mencintai dan yang mencintai adalah aku

kami adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad

Maka jika kamu melihatku (berarti) kamu melihat Dia

Dan jika kamu melihat Dia (berarti) kamu melihat kami

Memang Al Hallaj -seorang tokoh besar dan populer di kalangan orang-orang ahli Tasawuf ini- adalah penganut sekte Al Hulul, dia meyakini Dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan bahwa Al Ilah (Allah ‘azza wa jalla) memiliki dua tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut (unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian Al Lahut menitis ke dalam An Nasut, maka ruh manusia -menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An Nasut.

Kemudian meskipun bandit besar ini telah dihukum mati karena ke-zindiqan-nya sehingga sebagian orang-orang ahli Tasawuf menyatakan berlepas diri darinya-, tetap saja ada orang-orang ahli Tasawuf yang menganggapnya sebagai tokoh besar ahli tasawuf, bahkan mereka membenarkan keyakinan sesat dan perbuatannya, dan mengumpulkan serta membukukan ucapan-ucapan kotornya, mereka itu di antaranya adalah Abul ‘Abbas bin ‘Atha’ Al Baghdadi, Muhammad bin Khafif Asy Syirazi dan Ibrahim An Nashrabadzi, sebagaimana hal tersebut dinukil oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam kitab beliau Tarikh Al Baghdad (8/112).

Ketiga, sekte Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah ‘azza wa jalla) -maha suci Allah ‘azza wa jalla dari segala keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah wong elek yang bernama Ibnu ‘Arabi Al Hatimi Ath Thai (Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath Thai Al Hatimi Al Mursi Ibnu ‘Arabi, lihat Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz Dzahabi 16/354) yang binasa pada tahun 638 H dan dikuburkan di Damaskus.

Dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah (seperti yang dinukilkan oleh DR. Taqiyuddin Al Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah hal.43) dia menyatakan keyakinan kufur ini dengan ucapannya:

Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba

duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)?

Jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan

Atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?!

Dan dalam kitabnya yang lain Fushushul Hikam (hal.192) dia ngelindur: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka sembah kecuali Allah”.

Meskipun demikian, orang-orang ahli Tasawuf malah memberikan gelar-gelar kehormatan yang tinggi kepada Ibnu ‘Arabi, seperti gelar Al ‘Arif Billah (orang yang mengenal Allah ‘azza wa jalla dengan sebenarnya), Al Quthb Al Akbar (pemimpin para wali yang paling agung), Al Misk Al Adzfar (minyak kesturi yang paling harum), dan Al Kibrit Al Ahmar (Permata yang merah berkilau), padahal orang ini terang-terangan memproklamirkan keyakinan Wihdatul Wujud dan keyakinan-keyakinan kufur dan rusak lainnya, seperti pujian dia terhadap Firaun dan keyakinannya bahwa Firaun mati di atas keimanan, celaan dia terhadap Nabi Harun shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengingkari kaumnya yang menyembah anak sapi -yang semua ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Quran-, dan keyakinan dia bahwa kafirnya orang-orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam sebagai Tuhan, yang kalau seandainya mereka tidak mengkhususkannya maka mereka tidak dikafirkan.

Beberapa Contoh Penyimpangan dan Kesesatan Ajaran Tasawuf

Berikut kami akan nukilkan beberapa ucapan dan keyakinan sesat dan kufur dari tokoh-tokoh yang sangat diagungkan oleh orang-orang ahli Tasawuf, yang menunjukkan besarnya penyimpangan ajaran ini dan sangat jauhnya ajaran ini dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah.

Pertama, Ibnu Al Faridh yang binasa pada tahun 632 H, tokoh besar sufi yang menganut paham wihdatul wujud dan meyakini bahwa seorang hamba bisa menjadi Tuhan, bahkan -yang lebih kotor lagi- dia menggambarkan sifat-sifat Tuhannya seperti sifat-sifat wanita, sampai-sampai dia menganggap bahwa Tuhannya telah menampakkan diri di hadapan Nabi Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk Hawwa (istri Nabi Adam ‘alaihis salam)?! Untuk lebih jelas silakan merujuk pada kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah (hal. 24-33), tulisan Syaikh Abdurrahman al Wakil yang menukil ucapan-ucapan kufur Ibnu Al Faridh ini.

Kedua, Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya Fushushul Hikam yang berisi segudang kesesatan dan kekufuran. Dalam kitabnya ini dia mengatakan bahwa Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang memberikan padanya kitab ini, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Bawalah dan sebarkanlah kitab ini pada manusia agar mereka mengambil manfaat darinya”, kemudian Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka aku pun (segera) mewujudkan keinginan (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentukan padaku tidak lebih dan tidak kurang, kemudian Ibnu ‘Arabi berkata:

(Kitab ini) dari Allah, maka dengarkanlah!

dan kepada Allah kembalilah!

(Fushushul Hikam, dengan perantaraan kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah hal.19)

Ketiga, At Tilmisani, seorang tokoh besar Tasawuf, ketika dikatakan padanya bahwa kitab rujukan mereka Fushushul Hikam bertentangan dengan Al Quran, dia malah menjawab, “Seluruh isi Al Quran adalah kesyirikan, dan sesungguhnya Tauhid hanya ada pada ucapan kami”. Maka dikatakan lagi kepadanya, “Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh yang ada (di alam semesta) adalah satu (esa), mengapa seorang istri halal untuk disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram (disetubuhi)?” Maka dia menjawab, “Menurut kami semuanya (istri dan saudara wanita) halal (untuk disetubuhi), akan tetapi orang-orang yang terhalang dari penyaksian keesaan seluruh alam, mengatakan bahwa saudara wanita haram (disetubuhi), maka kami pun ikut-ikut mengatakan haram”. (Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, lihat Majmu’ul Fatawa 13/186)

Keempat, Abu Yazid Al Busthami, yang pernah berkata: Aku heran terhadap orang yang telah mengenal Allah, mengapa dia tetap beribadah kepada-Nya?! (Dinukil oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya’, 10/37). Dia juga berkata, “Sungguh aku telah menghimpun amalan ibadah seluruh penghuni tujuh langit dan tujuh bumi, kemudian aku masukkan ke dalam bantal dan aku letakkan di bawah pipiku” (Hilyatul Auliya’ 10/35-36).

Kelima, Abu Hamid Al Ghazali, seorang yang termasuk tokoh-tokoh ahli Tasawuf yang paling besar dan tenar, di dalam kitabnya Ihya ‘Ulumud Din ketika dia membicarakan tingkatan-tingkatan dalam tauhid, dia mengatakan, “Dalam Tauhid ada empat tingkatan: … Tingkatan yang kedua: Dengan membenarkan makna lafazh di dalam hati sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya kaum muslimin, dan ini adalah keyakinannya orang-orang awam?! Tingkatan yang ketiga: mempersaksikan makna tersebut dengan jalan Al Kasyf (penyingkapan tabir) melalui perantaraan cahaya Al Haq (Allah ‘azza wa jalla ) dan ini adalah tingkatan Al Muqarrabin, yaitu dengan seseorang melihat banyaknya makhluk (di alam semesta), akan tetapi dia melihat semuanya bersumber dari Zat Yang Maha Tunggal lagi Maha Perkasa, dan tingkatan yang keempat: dengan tidak menyaksikan di alam semesta ini kecuali satu zat yang esa, dan ini merupakan penyaksian para Shiddiqin, dan diistilahkan oleh orang ahli Tasawuf dengan sebutan: Al Fana’ Fit Tauhid (telah melebur dalam tauhid/pengesaan) karena dia tidak melihat kecuali satu, bahkan dia tidak melihat dirinya sendiri… Dan inilah puncak tertinggi dalam tauhid.

Jika anda bertanya bagaimana mungkin seseorang tidak melihat kecuali hanya satu saja, padahal dia melihat langit, bumi dan semua benda-benda yang benar-benar nyata, dan itu banyak sekali? dan bagaimana sesuatu yang banyak menjadi hanya satu? Ketahuilah bahwa ini adalah puncak ilmu Mukasyafat (tersingkapnya tabir) (maksudnya adalah cerita bohong orang-orang ahli Tasawuf yang bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang sama sekali tidak berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, -pen), dan rahasia-rahasia ilmu ini tidak boleh ditulis dalam sebuah kitab, karena orang-orang yang telah mencapai tingkatan Ma’rifah berkata, ‘membocorkan rahasia ketuhanan adalah kekafiran’. Sebagaimana seorang manusia dikatakan banyak bila anda melihat rohnya, jasad, sendi-sendi, urat-urat, tulang belulang dan isi perutnya, padahal dari sudut pandang lain dikatakan dia adalah satu manusia” (Lihat kitab Ihya ‘Ulumud Din 4/241-242).

Al Ghazali juga berkata, “Pandangan terhadap tauhid jenis pertama, yaitu pandangan tauhid yang murni, dengan pandangan ini, Anda pasti akan dikenalkan bahwa Dialah yang bersyukur dan disyukuri, dan Dialah yang mencintai dan dicintai, ini adalah pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah ada di alam semesta ini melainkan Dia (Allah ‘azza wa jalla)” (Ibid, 4/83).

Keenam, Asy Sya’rani, seorang tokoh besar Tashawuf yang telah menulis sebuah kitab yang berjudul Ath Thabaqat Al Kubra, yang memuat biografi tokoh-tokoh ahli Tasawuf dan kisah-kisah (kotor) yang dianggap oleh orang-orang ahli Tasawuf sebagai tanda kewalian. Di antaranya kisah seorang wali (?) yang bernama Ibrahim Al ‘Uryan, orang ini bila naik mimbar dan berceramah selalu dalam keadaan telanjang bulat!? (lihat At Thabaqat Al Kubra 2/124)

Kisah lainnya tentang seorang (wali Setan) yang bernama Syaikh Al Wuhaisyi yang bertempat tinggal di rumah pelacuran, yang mana setiap ada orang yang selesai berbuat zina, dan hendak meninggalkan tempat tersebut, dia berkata kepadanya: “Tunggulah sebentar hingga aku selesai memberikan syafaat untukmu sebelum engkau meninggalkan tempat ini!?” Dan di antara kisah tentang orang ini: bahwa setiap kali ada seorang pemuka agama setempat sedang menunggang keledai, dia memerintahkannya untuk segera turun, lalu berkata kepadanya: Peganglah kepala keledaimu, agar aku dapat melampiaskan birahiku padanya!? (lihat At Thabaqat Al Kubra 2/129-130)

Penutup

Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita semua bahwa ajaran Tasawuf adalah ajaran sesat yang menyimpang sangat jauh dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah, yang dengan mengamalkan ajaran ini -na’udzu billah min dzalik- seseorang bukannya makin dekat kepada Allah ‘azza wa jalla, tapi malah semakin jauh dari-Nya, dan hatinya bukannya makin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda. Kemudian jika timbul pertanyaan, “Kalau begitu usaha apa yang harus kita lakukan dalam upaya untuk menyucikan jiwa dan hati kita?”, Maka jawabannya adalah sederhana sekali, yaitu, Pelajari dan amalkan syariat islam ini lahir dan batin, maka dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih (untuk lebih jelasnya silakan pembaca menelaah kitab Manhajul Anbiya’ fii Tazkiyatin Nufus tulisan Syaikh Salim Al Hilali, yang ditulis khusus untuk menjelaskan masalah penting ini), karena di antara tugas utama yang dibawa para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman Allah:

لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْأَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُالْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali ‘Imran: 164).

Maka orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al Quran dan As Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah orang yang paling bersih dan suci hati dan jiwanya dan dialah orang yang paling bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, karena semua orang berilmu sepakat mengatakan bahwa: “Penghalang utama yang menghalangi seorang manusia untuk dekat kepada Allah ‘azza wa jalla adalah (kekotoran) jiwanya” (Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Igatsatul Lahafan dan Al Fawa’id). Oleh karena inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempermisalkan petunjuk dan ilmu yang Allah turunkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan air hujan yang Allah turunkan dari langit, karena sebagaimana fungsi air hujan adalah untuk menghidupkan, membersihkan dan menumbuhkan kembali tanah yang tandus dan gersang, maka demikian pula petunjuk dan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk menghidupkan, menyucikan dan menumbuhkan hati manusia, dalam hadits Abi Musa Al ‘Asy’ari radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضاً… الحديث

“Sesungguhnya permisalan dari petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…” (HR. Bukhari 1/175, Fathul Bari dan Muslim no. 2282).

Semoga tulisan ini Allah ‘azza wa jalla jadikan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua orang yang membacanya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا الحمد لله رب العالمين.

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.

“ HATI “

HATI merupakan unsur yang menjadi
penggerak segala aktiviti kehidupan yang
sempurna.Dari dorongan hati maka lahirlah sikap,ucapan,tindakan,penglihatan,pendengaran
dan perbuatan yang menggambarkan
keperibadian seseorang. di dalam hati tersimpan
seribu satu keinginan dan hasrat.Jika tidak
dipimpin dengan iman yang kukuh,
maka hati akan menggerak keinginan tersebut
menurut kehendak nafsu.
----------------------
Seandainya hati digilap bagaikan cermin
maka akan memancarlah biasan fitrah
kemurnian insan. Sesungguhnya dari hati yang sehat
akan tumbuh subur akhlak dan budi pekerti mulia
menghiasi diri seseorang. hanya insan yang
menghargai diri sendiri mampu mengarahkan
hatinya menuju kedamaian hidup.
----------------------
Kita memerlukan pedoman dalam membimbing hati
menuju ketenangan dan kedamaian.
akhlak yang baik adalah untuk menghalang cinta
kepada dunia dalam hati seseorang lalu memantapkan
cinta kepada Allah. Emosi dan keinginan akan
dapat dibendung dan dikawal serta digunakan hanya
untuk hal-hal yang akan mendekatkan diri kepada Allah
dengan kemudian syariat dan akal yang akan
mendatangkan rasa senang dan nikmat"
Hanya untuk mu wanita,,
Wanita.....Lembut mu tak berarti kau mudah di jual beli,
Kau mampu menyaingi lelaki dalam berbakti
Lembut bukan hiasan bukan jua kebangaan
Tapi kau sayap kiri pada suami yang sejati,
Di sebalik bersih wajah mu di sebalik tabir dirimu
Ada rahasia agung tersembunyi dalam dirimu,
Itulah sekeping hati yang takut pada ilahi
Berpegang pada janji mengabdi diri
Malu mu mahkota yang tidak diperlukan singahsana
Tapi ia berkuasa menjaga diri dan nama
Tak seorangpun yang bisa merampasnya
Melainkan kau sendiri yang pergi menyerah diri
Ketegasan mu umpama benteng negara dan agama
Dari dirobohkan dan jua dari di binasakan,
Wahai para wanita,kau bunga terpelihara
Mahligai syurga itulah tempatnya,, Insya Alloh
Assalamu'alaikum wr wb.
Ya Uchty kefa khluki?
"Umat islam sekarang sedang mengalami goncangan-goncangan dari segala penjuru (di luar dan di dalam islam itu sendiri) maka dengan ini mari kita bergandengan tangan menjaga / mengantisipasi gonangan-goncangan itu, dengan hal ini kita sebagai umat islam jangan sampai terlena oleh apa pun (Mari kita kuatkan tali persaudaraan kita 'n Uhuas islamiyah kita).
ok ya uhty kiranya dari ku sekian dulu.

Wassalamu'alaikum wr wb.

Al faqir M. Saiful Mujab el guruni.
Saiful_gondrong@yahoo.com

Inilah Pilar Agamamu: Rukun dan Makna Islam (1)

Inilah Pilar Agamamu: Rukun dan Makna Islam (1)
Kategori: Aqidah

Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita mengetahui dengan baik agama kita. Karena dengan Islamlah seseorang bisa meraih kebahagiaan yang hakiki dan sejati. Sebuah kebahagiaan yang tidak akan usang di telan waktu dan tidak akan pernah hilang di manapun kita berada. Sebuah kebahagiaan yang sangat mahal harganya yang tidak dapat diukur dengan materi dunia sebesar apapun. Oleh karena itu sudah selayaknya bagi kita untuk mempelajari Islam, terlebih lagi bagian inti dari Islam yang menjadi pilar agama ini sehingga kebahagiaan pun bisa kita raih.

Inilah Pilar Itu

Rosul kita yang mulia telah memberitahu kepada kita seluruh perkara yang bisa mengantarkan kita pada kebahagiaan yang hakiki dan abadi yaitu surga Allah subhanahu wa ta’ala dan beliau juga telah memperingatkan kita dari seluruh perkara yang dapat menjerumuskan kita pada kehancuran dan kebinasaan yang abadi yaitu azab neraka yang sangat pedih yang Allah sediakan bagi orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya. Demikianlah kasih sayang Rosul kita kepada umatnya bahkan melebihi kasih sayang seorang ibu pada anaknya.

لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Rosul kita telah memberi tahu pada kita tentang pilar agama Islam yang mulia ini. Beliau bersabda yang artinya, “Islam ini dibangun di atas lima perkara: (1) Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan sholat, (3) menunaikan zakat, (4) pergi haji ke baitullah, dan (5) berpuasa pada bulan Romadhon.” (HR. Bukhari Muslim)

Demikian pula ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril yang bertanya kepada beliau, “Wahai Muhammad! Beri tahukan kepadaku tentang Islam?” Kemudian beliau menjawab, “Islam adalah Engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kemudian Engkau mendirikan sholat, kemudian Engkau menunaikan zakat, kemudian Engkau berpuasa pada bulan Ramadhon, kemudian Engkau menunaikan haji jika mampu.” Kemudian ketika beliau kembali ditanya oleh malaikat Jibril, “Wahai Muhammad! Beri tahukan kepada ku tentang Iman?” Kemudian beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir dan Engkau beriman pada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim)

Demikianlah Rosul kita memberikan pengertian kepada umatnya tentang Islam, apa itu Islam yang seharusnya kita jalankan? Dan bagaimana seorang menjalankan Islam? Dalam hadits tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam adalah perkara-perkara agama yang lahiriah sedangkan iman adalah perkara-perkara yang terkait dengan hati. Sehingga jika digabungkan istilah Iman dan Islam maka hal ini menunjukkan hakikat agama Islam yaitu mengerjakan amalan-amalan lahir yang dilandasi keimanan. Jika ada orang yang mengerjakan amalan-amalan Islam namun perbuatan tersebut tidak dilandasi dengan keimanan, maka inilah yang disebut dengan munafik. Sedangkan jika ada orang yang mengaku beriman namun ia tidak mengamalkan perintah Allah dan Rasulnya maka inilah yang disebut dengan orang yang durhaka.

Berdasarkan hadits tersebut sekarang kita tahu bahwa agama Islam ini dibangun di atas lima pilar:

1. Persaksian tentang dua kalimat syahadat bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
2. Menegakkan sholat.
3. Menunaikan zakat.
4. Berpuasa pada bulan Romadhon.
5. Pergi haji ke tanah suci jika mampu.

Dan kelima hal inilah yang disebut dengan Rukun Islam yang merupakan pilar utama tegaknya agama Islam ini. Barang siapa yang mengerjakan kelima pilar ini, maka ia berhak mendapatkan janji Allah subhanahu wa ta’ala berupa surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.

Makna Islam

Jika kita mendengar kata Islam, maka ada dua pengertian yang dapat kita ambil. Pengertian islam yang pertama adalah Islam secara umum yang memiliki makna: Berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk serta patuh pada Allah dengan menjalankan ketaatan kepadanya dan berlepas diri dari perbuatan menyekutukan Allah (syirik) dan berlepas diri dari orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrik). Islam dengan makna yang umum ini adalah agama seluruh Nabi Rosul semenjak nabi Adam ‘alaihi salam. Sehingga jika ditanyakan, apa agama nabi Adam, Nuh, Musa, Isa nabi dan Rosul lainnya? Maka jawabannya bahwa agama mereka adalah Islam dengan makna Islam secara umum sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Demikian juga agama para pengikut Nabi dan Rasul sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Islam dengan pengertian di atas, pengikut para Nabi dan Rasul terdahulu berserah diri pada Alah dengan tauhid, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan mengerjakan amal ketaatan sesuai dengan syariat yang dibawa oleh nabi dan Rasul yang mereka ikuti serta berlepas diri dari kesyirikan dan orang-orang yang berbuat syirik. Agama pengikut nabi Nuh adalah Islam, agama pengikut nabi Musa pada zaman beliau adalah Islam, agama pengikut nabi Isa pada zaman beliau adalah Islam dan demikian pula agama pengikut nabi Muhammad pada zaman ini adalah Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيّاً وَلاَ نَصْرَانِيّاً وَلَكِن كَانَ حَنِيفاً مُّسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)

Allah juga berfirman,

هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمينَ مِن قَبْلُ

“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al Hajj: 78)

Sedangkan pengertian yang kedua adalah makna Islam secara khusus yaitu: Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mencakup di dalamnya syariat dan seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan inilah makna Islam secara mutlak, artinya jika disebutkan “Agama Islam” tanpa embel-embel macam-macam, maka yang dimaksud dengan “Agama Islam” tersebut adalah agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang-orang yang masih mengikuti ajaran nabi Nuh, nabi Musa atau ajaran nabi Isa setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka orang ini tidaklah disebut sebagai seorang muslim yang beragama Islam. Di samping itu, ada pengertian Islam secara bahasa yaitu Istislam yang berarti berserah diri.

Keikhlasan dalam Telaah Al-Qur`an

Keikhlasan dalam Telaah
Al-Qur`an





“Sesungguhnya, Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur`an)
dengan (membawa) kebenaran. Maka, sembahlah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepadanya. Ingatlah, hanya kepunyaan
Allahlah agama yang bersih (dari syirik)....”
(az-Zumar [39]: 2-3)







HARUN YAHYA








PERPUSTAKAAN NASIONAL RI: KATALOG DALAM TERBITAN (KDT)
Yahya., Harun

Keikhlasan dalam Paparan Al-Qur`an/Harun Yahya; penerjemah, Aminah Mustari, Irsan Hamdani; penyunting, Dadi M. Hasan Basri.—Jakarta : Senayan Abadi Publishing, 2003.

...., .... hlm. ; ... cm.
ISBN: 979-3471-03-4
1. Al-Qur`an I. Judul II. Mustari, Aminah III. Hamdani, Irsan.

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak sesuatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara dan/atau denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
UU RI No.7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta

Diterjemahkan dari buku: Sincerity Described in The Qur`an
Diterbitkan oleh: Abdul Naeem untuk Islamic Book Service
2241, Kucha Chelan, Darya Ganj, New Delhi – 110 002 (India)

Judul terjemah: Keikhlasan dalam Paparan Al-Qur`an
Penulis: Harun Yahya
Penerjemah: Aminah Mustari, Irsan Hamdani
Penyunting: Dadi M. Hasan Basri
Perwajahan isi: Basuki Rahmad
Desain Sampul: Eman Sutalingga
Penerbit
Senayan Abadi Publishing
Jl. Hang Lekir VII, No.25 Jakarta Selatan 12120
Telp. (021) 7236206 Fax. (021) 7236209
E-mail: infosa@indosat.net.id
senayanabadi@hotmail.com, senayan_abadi@yahoo.com
Cetakan pertama: Jumadil Akhir 1424/Agustus 2003
8All Rights Reserved (Hak Terjemahan Dilindungi)


Daftar Isi

Pengantar Penerbit

Untuk Pembaca

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan

Bab II Seperti Apakah Orang yang Benar itu?

Bab III Tipu Daya yang Dilakukan oleh Setan untuk Menghancurkan
Keikhlasan Orang-Orang yang Beriman

Bab IV Cara Memperoleh Keikhlasan

Bab V Menghindari Sikap-Sikap yang Mengurangi Keikhlasan

Bab VI Kesimpulan

Bab VII Kesalahan Konsep Teori Evolusi


Pengantar Penerbit


Segala puji bagi Allah, Rabb yang telah melimpahkan segala rezeki dan kasih sayang-Nya kepada semua makhluk-Nya di alam semesta ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada kekasih dan panutan kehidupan kita, Rasulullah Muhammad saw.. Dengan segala keikhlasannya, beliau telah memberikan bimbingan kepada umatnya dan mengarahkannya kepada jalan kehidupan yang lurus dan diridhai oleh Allah swt..
Dalam menempuh kehidupannya, setiap muslim harus senantiasa ikhlas menapakinya. Dia harus senantiasa ikhlas menerima segala takdir yang dialaminya, apa pun yang ia rasakan, baik menyakitkan maupun menyenangkan. Semua itu berasal dari Allah. Dialah yang mahatahu apa yang terbaik untuk makhluk-Nya.
Dengan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur`an, buku ini memberikan penjelasan kepada kita tentang keikhlasan yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang yang bertaqwa. Juga menjabarkan cara-cara memperoleh keikhlasan dan hal-hal yang akan merintangi kita untuk meraih keikhlasan.
Dengan penjelasan yang sangat mudah dimengerti dan pembahasan yang tidak melebar kepada hal-hal yang tidak diperlukan, buku ini memudahkan kita untuk memahami arti keikhlasan dan segala upaya untuk meraihnya.
Sebagai kajian untuk seterusnya kita amalkan, buku ini kami sajikan kepada khalayak pembaca. Butir-butir hikmah dan kilau ilmu dapat kita peroleh dari khazanah yang kaya ini. Untuk selanjutnya, kita jadikan modal dalam menapaki kehidupan ini di bawah naungan perlindungan Allah.

Jakarta, Jumadil Akhir 1424 H
Agustus 2003 M

Untuk Pembaca


Semenjak Dar¬win¬is¬me menolak fakta penciptaan dan hakikat keberadaan Allah, da¬lam kurun 140 tahun terakhir, banyak manusia meninggalkan ke¬imanan mereka atau terperosok ke dalam keragu-raguan. Teori inilah yang melandasi semua falsafah antiagama. Ka¬re¬¬na itulah, menunjukkan bahwa teori ini merupakan satu pe¬ni¬puan adalah satu tugas penting yang erat kaitannya de¬ngan agama. Dan, menyampaikan tugas penting ini kepada se¬ti¬ap orang merupakan keharusan. Sebagian pembaca mungkin ha¬nya sem¬pat membaca salah satu dari sekian buku kami. Ka¬re¬na itu, kami pikir sepantasnyalah untuk menyajikan satu bab yang merangkum subjek ini. Satu bab khusus untuk meruntuhkan teori evolusi
Di dalam semua buku karya Harun Yahya, hal-hal yang ber¬¬kaitan dengan keimanan dijelaskan dengan berpedomankan ca¬¬haya ayat-ayat Al-Qur`an. Para pembaca diimbau untuk mempe¬lajari dan hidup dengannya. Segala sesuatu yang berkaitan de¬ngan ayat-ayat Allah dijelaskan sebegitu rupa untuk me¬nu¬tup peluang timbulnya keragu-raguan atau dapat mencuatkan se¬¬jumlah pertanyaan dalam pikiran para pembaca. Ke¬se¬der¬ha¬na¬¬¬¬an, kelugasan, dan kemudahan gaya penulisannya dapat mem¬bu¬¬at semua orang—pada tingkat usia berapa pun dan kelompok so¬sial mana pun—dapat dengan mudah memahami buku-bukunya. Pen¬jabaran yang jelas dan efektif ini memungkinkan orang da¬pat memahaminya dalam waktu singkat. Bahkan, mereka yang me¬nolak spritualitas dengan keras, bakal tergugah oleh kenya¬ta¬an-kenyataan yang dipaparkan dalam buku ini dan tak mungkin dapat menyangkal kebenaran isinya.
Buku ini dan semua buku karya Harun Yahya lainnya dapat dibaca secara perorangan ataupun didiskusikan dalam per¬temuan kelompok. Para pembaca yang ingin meraih manfaat da¬ri buku-buku ini, akan merasakan bahwa diskusi tersebut sa¬ngat bermanfaat karena mereka dapat mengaitkan refleksi dan pengalaman masing-masing.
Di samping itu, merupakan sumbangan besar bagi agama bila Anda membaca dan turut menyebarluaskan buku-buku kami, yang ditulis semata-mata untuk mendapatkan keridhaan Allah. Semua buku karya Harun Yahya sungguh sangat meyakinkan. Dengan alasan ini, bagi mereka yang ingin mendakwahkan agama kepada orang lain, salah satu metode efektifnya adalah mendorong mereka untuk membaca buku-buku karya Harun Yah¬ya.
Pembaca diharapkan dapat meluangkan waktu untuk menelaah buku-buku Harun Yahya lainnya pada halaman-halaman terakhir, seraya mengapresiasi sumber materi yang kaya akan hal-hal yang berkaitan dengan keimanan, yang amat berguna dan menyenangkan untuk dibaca.
Di dalam buku-buku karya Harun Yahya, Anda tidak akan menemukan—sebagaimana pada sebagian buku-buku penulis lain—pan¬dangan-pandangan pribadi penulis, penjelasan-penjelasan yang berasal dari sumber-sumber yang diragukan, gaya pe¬ne¬li¬tian yang tidak cermat atas perkara-perkara yang suci, atau mengakibatkan putus asa, ragu-ragu, dan pandangan pesimis yang dapat mengakibatkan penyimpangan di dalam ha¬ti.

Bab I
Pendahuluan


Kita ambil contoh dua orang manusia. Asumsikanlah bahwa mereka berdua diberikan kesempatan yang cukup di dunia ini untuk merasakan kesenangan dari Allah dan bahwa mereka telah diberitahu mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka memenuhi tugas-tugas dan kewajiban agama hingga hari kematian mereka dan menghabiskan hidup mereka sebagai muslim yang taat. Mereka sukses dalam berbagai bidang. Memiliki pekerjaan yang bagus, keluarga yang harmonis, dan menjadi anggota masyarakat yang terhormat. Jika orang ditanya, siapakah yang paling sukses di antara kedua orang tersebut, mereka mungkin menjawab, “Orang yang bekerja lebih keras.” Akan tetapi, jika jawaban ini diperhatikan dengan saksama lagi, kita akan menyadari bahwa definisi-definisi sukses tersebut tidak berdasarkan Al-Qur`an, tetapi atas dasar kriteria duniawi.
Menurut Al-Qur`an, bukanlah kerja keras, bukan kelelahan, bukan pula mencapai penghormatan atau cinta dari orang lain yang disebut sebagai kriteria keunggulan, melainkan keyakinan mereka akan Islam, amal baik yang mereka kerjakan untuk mendapatkan keridhaan Allah, dan niat baik mereka yang terpelihara dalam hati. Itulah yang disebut kriteria yang unggul di hadapan Allah. Allah menyatakan hal ini di dalam Al-Qur`an,

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-Hajj [22]: 37)

Sebagaimana disebutkan di atas, amalan yang dilakukan seseorang dengan menyembelih seekor binatang karena Allah, akan dinilai-Nya bergantung pada ketaatan atau rasa takutnya kepada Allah. Daging atau darah bintang apa pun yang disembelih dengan menyebut nama Allah itu tidak ada nilainya di hadapan Allah jika amalan tersebut tidak dilakukan karena Allah. Di sinilah, faktor-faktor pentingnya adalah niat baik dan keikhlasan kepada Allah saat menjalankan suatu perbuatan atau peribadatan kepada Allah. Karena itu, seorang manusia tidak akan meningkat kemuliaannya di mata Allah hanya karena amal, ibadah, sikap, dan kata-kata baiknya. Tentu saja semua itu adalah perbuatan yang harus dilakukan seorang muslim sepanjang hidup mereka untuk mendapatkan balasan yang besar di hari pembalasan. Akan tetapi, faktor terpenting yang harus diperhatikan saat memenuhi semua perbuatan itu adalah tingkat kedekatan yang dirasakan seseorang dengan Allah. Yang penting bukanlah banyaknya perbuatan yang kita lakukan, melainkan bagaimana seseorang berpaling kepada Allah dengan kebersihan dan keikhlasan hati.
Keikhlasan berarti memenuhi perintah Allah tanpa mempertimbangkan keuntungan pribadi atau balasan apa pun. Seseorang yang ikhlas akan berpaling kepada Allah dengan hatinya dan hanya ingin mendapatkan ridha-Nya atas setiap perbuatan, langkah, kata-kata, dan do’anya. Jadi, ia benar-benar yakin kepada Allah dan mencari kebajikan semata. Menurut Al-Qur`an,

“... Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat [49]: 13)

Dalam banyak ayat Al-Qur`an, ditekankan agar perbuatan baik itu dilakukan hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah. Akan tetapi, beberapa orang berusaha untuk mengabaikan kenyataan ini. Mereka tidak pernah berkaca pada kebersihan niat di dalam hati mereka saat melakukan suatu pekerjaan, memberi nasihat, menolong orang, atau berkorban. Mereka percaya bahwa perbuatan mereka sudah cukup, dengan menganggap bahwa mereka telah menunaikan tugas agama. Di dalam Al-Qur`an, Allah mengatakan kepada kita tentang mereka yang berusaha sepanjang hidupnya, namun sia-sia. Jika demikian halnya, mereka akan dihadapkan pada situasi berikut ini di hari pembalasan.


“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan.” (al-Ghaasyiyah [88]: 2-3)

Karena itulah, manusia akan menghadapi satu dari dua situasi tersebut di hari akhir. Dua orang yang telah mengejar pekerjaan yang sama, mencurahkan usaha yang sama, dan bekerja dengan kebulatan hati yang sama sepanjang hidup mereka, bisa mendapatkan perlakuan yang berbeda di hari akhir. Mereka yang membersihkan dirinya akan dibalas dengan kebahagiaan surga yang memikat, sedangkan mereka yang meremehkan nilai keikhlasan saat berada di dunia ini akan mengalami penderitaan neraka yang tiada akhir.
Di dalam buku ini, kita akan mengacu pada dua aspek keyakinan yang mengubah perbuatan yang dilakukan seseorang menjadi berarti dan bernilai dalam pandangan Allah, yakni dengan pembersihan diri dan keikhlasan. Buku ini bertujuan untuk mengingatkan mereka yang gagal menjalani hidup mereka hanya untuk keridhaan Allah, mengingatkan bahwa semua usaha mereka sia-sia. Karena itu, buku ini mengajak mereka untuk membersihkan diri mereka sebelum datangnya hari pembalasan. Sebagai tambahan, kami juga ingin—sekali lagi—mengingatkan semua orang beriman bahwa pikiran, perkataan, atau perbuatan apa pun yang dapat mengurangi keikhlasan seseorang, memiliki konsekuensi yang besar karena konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul di hari akhir. Karena itulah, kami ingin menunjukkan semua jalan untuk menjaga keikhlasan mereka dengan cahaya yang ditebarkan oleh ayat-ayat Al-Qur`an.



Bab II
Seperti Apakah Orang yang Benar Itu?


Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk hidup sebagai orang yang teguh dan ikhlas kepada Allah dalam agama mereka.

“Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (an-Nisaa` [4]: 146)

Seorang manusia menjadi bersih hatinya jika ia teguh karena Allah, mengabdikan hidupnya untuk mendapatkan keridhaan-Nya dengan menyadari bahwa tidak ada penuhanan kecuali kepada Allah, dan tak pernah menyerah dalam keimanan kepada Allah, apa pun yang terjadi. Allah memerintahkan di dalam Al-Qur`an sebagai berikut.

“... Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali Imran [3]: 101)

Dalam agama, ikhlas kepada Allah berarti berusaha mendapatkan keridhaan Allah dan kepuasan-Nya tanpa mengharapkan keuntungan pribadi lainnya. Allah juga telah menekankan pentingnya hal ini di dalam ayat lainnya. Ia telah menunjukkan bahwa agama hanya dapat dijalankan dalam sikap berikut.

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah [98]: 5)

Dalam perbuatan dan ibadahnya, seorang mukmin sejati tidak pernah berusaha untuk mendapatkan cinta, kepuasan, penghargaan, perhatian, dan pujian dari siapa pun kecuali Allah. Adanya keinginan untuk mendapatkan semua itu dari manusia adalah tanda bahwa ia gagal menghadapkan wajahnya kepada Allah dengan keikhlasan dan kesucian. Dalam kenyataan, kita sering menemukan orang yang “melakukan perbuatan-perbuatan baik atau melakukan ibadah untuk tujuan-tujuan lain selain mendapatkan keridhaan Allah”. Sebagai contoh, ada orang yang menyombongkan diri karena menolong kaum miskin atau bermaksud mendapatkan kehormatan saat ia melakukan perintah agama yang penting, seperti shalat. Orang-orang yang mendirikan shalat, melakukan kebaikan supaya terlihat, disebutkan di dalam Al-Qur`an,

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah [2]: 264)

Siapa saja yang menginginkan supaya dirinya terlihat menonjol, sebenarnya ia mencari keridhaan orang lain, bukan Allah. Seorang mukmin sejati harus benar-benar cermat menghindarkan dirinya untuk pamer saat menolong orang lain, bertingkah laku baik, beribadah, ataupun berkorban. Satu-satunya tujuan orang yang ikhlas beriman kepada Allah hanyalah mendapatkan keridhaan Allah. Al-Qur`an juga menekankan bagaimana para nabi menjalankan ritual-ritual keagamaan demi keridhaan Allah dan tidak pernah mengharapkan balasan ataupun keuntungan pribadi. Kalimat berikut diucapkan oleh Nabi Hud a.s. kepada kaumnya untuk meyakinkan kebenaran ini.

“Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lan hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?” (Hud [11]: 51)

Seorang mukmin tidak pernah berusaha mendapatkan keridhaan siapa pun selain Allah. Ia tahu pasti bahwa Allahlah yang memiliki dan mengenggam semua hati dan bahwa semua manusia akan ridha hanya jika Dia ridha. Lebih jauh, tidak ada pujian apa pun di dunia ini yang akan menyelamatkan dirinya di akhirat. Pada hari pembalasan, setiap orang akan berdiri sendiri di hadapan Allah dan ditanyai atas setiap perbuatannya. Pada hari itu, keimanan, kesalehan, keikhlasan, dan kepatuhan akan memainkan peran yang penting. Nabi Muhammad saw. mengingatkan orang-orang beriman akan pentingnya keikhlasan,
“Allah menerima perbuatan yang dilakukan secara murni karena Allah dan bertujuan untuk mencari keridhaan-Nya.”

Berpaling kepada Allah dengan Penyesalan
dan Keikhlasan dalam Niat dan Perbuatan
Allah mengatakan kepada para mukmin sejati tentang keimanan yang murni,

“Dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertaqwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (ar-Ruum [30]: 31)

Allah meminta kita untuk memperhatikan ayat lain yang menyatakan bahwa jalan yang benar untuk diikuti adalah jalan yang dilalui oleh para nabi dan orang-orang yang saleh.

“... dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman [31]: 15)

Berpaling kepada Allah dengan pengabdian sepenuh hati berarti mencintai-Nya dengan sebenar-benar cinta, sehingga seseorang tidak dapat menjauh dari keimanan, pengabdian, dan kesetiaan dalam kondisi apa pun, dan memiliki rasa takut kepada-Nya dan hati-hati menjaga agar tidak kehilangan keridhaan-Nya. Dengan demikian, setiap orang yang beriman dan tunduk patuh kepada Allah akan mendirikan shalat dan mengerjakan amalan lainnya untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Sebagai kesimpulan dalam hal ini, yang merupakan dasar penyucian diri, seorang mukmin sejati adalah, “Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka....” (Hud [11]: 23)
Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menunaikan perintah-Nya dan melakukan ibadah yang telah diuraikan di dalam Al-Qur`an, dengan penuh kepatuhan, keikhlasan, dan hati yang dimurnikan hanya untuk-Nya. Dalam sebuah ayat dikisahkan bagaimana Allah mengingatkan Maryam a.s. untuk mematuhi-Nya dengan pengabdian sepenuh hati,

“Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (Ali Imran [3]: 43)

Hal ini juga dinyatakan oleh Nabi saw.,
“Kebaikan dan kenikmatan adalah bagi orang yang menyembah Tuhan-Nya dengan sebaik-baik kepatuhan dan melayani Tuhannya dengan tulus ikhlas.” (HR Imam Bukhari)
Allah juga memberikan kabar gembira bahwa mereka yang menaati-Nya dengan pengabdian sepenuh hati dan mematuhi perintah-Nya dengan ketundukan, akan diberi ganjaran yang berlipat ganda.
“Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-

Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia.” (al-Ahzab [33]: 31)

Karakter mukmin yang sejati—sebagaimana disebutkan dalam ayat di bawah ini—dicontohkan dengan sangat baik oleh para nabi untuk mengingatkan manusia,

“Orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (Ali Imran [3]: 17)

Al-Qur`an berisi banyak ayat yang menekankan fakta bahwa para nabi adalah orang yang berpaling kepada Allah dengan pengabdian yang tulus. Mereka adalah hamba-hamba-Nya yang suci. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut.

“Sesungguhnya, Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (an-Nahl [16]: 120)

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya, Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlaq yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (Shaad [38]: 45-46)

“Sesungguhnya, Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.” (Hud [11]: 75)

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al-Kitab (Al-Qur`an) ini. Sesungguhnya, ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi.” (Maryam [19]: 51)

“Dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.” (at-Tahrim [66]: 12)

Percaya kepada Allah dengan Menunjukkan Pengabdian yang Tinggi
Orang-orang yang beriman yang mencapai tingkat kesucian yang didefinisikan dalam Al-Qur`an, yakin kepada Allah “dengan menunjukkan rasa khidmat yang mendalam”. Ini berarti mereka mengerti akan kebesaran dan kekuatan Allah. Karenanya, ia merasakan cinta yang mendalam, pengabdian yang murni, dan rasa takut, dengan tidak pernah meninggalkan kesempatan untuk mendapatkan keridhaan-Nya demi keuntungan duniawi. Keikhlasan adalah mengetahui bahwa tidak ada keuntungan duniawi, kecil ataupun besar, yang dapat menjadi lebih penting daripada mendapatkan ridha dan menjalankan perintah-Nya. Di dalam Al-Qur`an, kualitas orang-orang yang benar itu dijelaskan sebagai berikut.

“... mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit....” (Ali Imran [3]: 199)

Sebagaimana didefinisikan di dalam Al-Qur`an, orang-orang yang benar tak pernah membuat perhitungan dalam menjalankan perintah Allah dan larangan-Nya, tak peduli apa pun kondisinya, sesuai dengan apa yang diminta ayat Al-Qur`an tersebut. Semua rasa takut yang penuh khidmat dan pengabdian mendalam yang dirasakan jauh di dalam hati seseorang, menjauhkan dirinya dari sikap dan perbuatan yang tidak disukai oleh Allah, dan juga mendorong seseorang untuk lebih bersemangat untuk menyerap keseluruhan moralitas yang diridhai oleh Allah. Di dalam Al-Qur`an, rasa takut yang ditunjukkan oleh orang-orang beriman kepada Allah disebutkan dalam ayat berikut.

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (ar-Ra’d [13]: 21)

Di dalam ayat lainnya, orang-orang beriman disebutkan sebagai orang yang memiliki pengabdian yang penuh khidmat kepada Allah dan semakin bertambah ketika mereka mendengar ayat-ayat Allah,

“Katakanlah, ‘Berimanlah kamu kepada-Nya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah).’ Sesungguhnya, orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Dan mereka berkata, ‘Mahasuci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.’ Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (al-Israa` [17]: 107-109)

Pengabdian penuh khidmat telah dideskripsikan di dalam Al-Qur`an sebagai sebuah contoh bagi orang-orang beriman,

“... Sesungguhnya, mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (al-Anbiyaa` [21]: 90)

Hal lain yang disebutkan dalam ayat yang sama adalah bahwa orang-orang beriman yang ikhlas itu berlomba-lomba dalam mengerjakan amal baik untuk mendapatkan keridhaan Allah. Orang-orang ini berjuang terus-menerus—hingga batas kekuatan dan yang mereka miliki—agar berhasil mendapatkan keridhaan, rahmat, kasih sayang, dan surga Allah.

Patuh Mengabdi kepada Allah
Allah menggarisbawahi pentingnya kualitas ketundukan bagi orang beriman,

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkannya kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’” (al-Baqarah [2]: 136)

Keikhlasan sejati membutuhkan ketundukan dengan penyerahan total kepada Allah. Akan tetapi, ketundukan ini haruslah tidak bersyarat. Seseorang yang ridha kepada ketentuan Allah, tetapi hanya bersyukur dan berserah diri kepada Allah dalam kondisi tertentu saja, tidak dapat dikatakan berserah diri jika ia menjadi pemberontak dan tidak patuh saat kondisinya berubah. Sebagai contoh, orang yang memiliki hubungan bisnis yang baik dan mendapatkan sejumlah uang. Ia sering kali mengatakan bahwa Allahlah yang mengizinkan kondisi kekayaan dan keberuntungannya. Tetapi saat segalanya memburuk, ia tiba-tiba berbalik dan melupakan kepatuhannya kepada Allah. Sifatnya tiba-tiba berubah dan ia mulai mengeluh terus-menerus dan mengatakan bahwa ia adalah orang yang baik, bahwa ia tidak seharusnya mendapat musibah, dan ia tidak mengerti sama sekali mengapa segalanya terjadi demikian buruk. Ia bahkan melewati batas dan mulai menyalahkan Allah dengan melupakan bahwa takdir selalu berjalan sesuai dengan apa yang terbaik. Ia mungkin saja bertanya-tanya pada dirinya akan pertanyaan yang tidak ada hubungannya, seperti: mengapa segala sesuatunya berjalan seperti ini? mengapa semua ini terjadi pada saya?
Memercayai Allah tanpa mempedulikan apakah yang terjadi pada diri kita itu baik atau buruk, atau apakah kejadian itu tampaknya menolong atau menjatuhkan, adalah sangat bernilai di mata Allah. Meskipun hanya dengan apa yang tampak dari luar, seseorang haruslah tunduk dengan menyadari bahwa segala sesuatu diciptakan dengan kebaikan dan kebijaksanaan.

“Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejadian dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Ali Imran [3]: 140)

Jadi, semua kesulitan dan masalah itu terjadi sebagai cobaan untuk menentukan siapa yang tetap teguh dalam kesucian diri dan ketundukan kepada Allah.
Mereka yang percaya dengan tulus ikhlas tidak pernah meragukan kebaikan yang tak terbatas atas apa yang terjadi dan selalu percaya kepada Allah dalam kepatuhan total. Mereka menyadari bahwa ini adalah semata-mata ujian. Keimanan mereka tidaklah bersyarat. Keimanan yang teguh dan kuatlah yang mengelilingi segala macam kesulitan yang dihadapi seseorang. Mereka menyerahkan diri kepada Allah tanpa mencari balasan duniawi. Di dalam Al-Qur`an, sikap yang telah ditetapkan atas mukmin sejati untuk kepasrahan total kepada Allah ini telah ditekankan sebagai berikut.

“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.’” (al-Baqarah [2]: 131)

Dalam ayat lainnya, Allah mengatakan bahwa agama yang paling mulia adalah agama yang diserap oleh mereka yang menyerahkan diri kepada Allah dan hanya percaya kepada-Nya. Allah menggarisbawahi pentingnya kepatuhan yang tidak bersyarat ini,

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangannya.” (an-Nisaa` [4]: 125)

Nabi saw. juga mengatakan hal yang sama,
“... Orang paling beruntung yang akan memiliki syafaatku di hari perhitungan adalah orang-orang yang mengatakan, ‘Tak ada sesuatu pun yang layak disembah selain Allah,’ tulus dari dalam hatinya.”

Berpaling kepada Allah Tak Hanya di Saat Sulit,
tetapi dalam Setiap Detik Kehidupan
Selama hidupnya, sebagian orang telah gagal merenungkan tentang Allah yang telah menciptakan mereka dan yang telah mencurahkan keberkahan dunia kepada mereka. Sebagaimana segala sesuatu terungkap dalam kehidupan, mereka cederung melupakan bahwa mereka sebenarnya merupakan makhluk yang lemah dan membutuhkan kasih sayang Allah. Allah adalah satu-satunya kekuatan yang dapat memastikan keberkahan-keberkahan itu dan mengatur segalanya.
Akan tetapi, kenyataan bahwa mereka begitu ceroboh bukanlah berdasar pada keingkaran mereka, melainkan lebih kepada kenyataan bahwa mereka benar-benar tidak bersyukur dan sombong kepada Allah. Bukti yang paling jelas adalah bahwa mereka selalu berpaling kepada Allah dan segera memohon bantuan-Nya saat mereka menghadapi penderitaan atau kesulitan. Mereka yang sebelumnya mengingkari Allah, tiba-tiba mulai beribadah kepada-Nya dan menjadi hambanya yang beriman dan penuh pengabdian.
Allah berkata benar dalam ayat,

“Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertobat kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat dari-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya, sehingga mereka mengingkari akan rahmat yang telah Kami berikan kepada mereka. Maka bersenang-senanglah kamu sekalian kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu).” (ar-Ruum [30]: 33-34)
Sebagaimana disebutkan dalam ayat ini, sesaat mereka membelakangi Allah bukan karena mereka tidak menyadari kekuasaan Allah atau karena tidak mampu memahami bahwa mereka harus menyembah Allah, tetapi karena mereka sombong. Mereka lupa bagaimana seharusnya mereka berlabuh kepada Allah serta memohon pertolongan-Nya dengan tulus dan penuh harap. Mereka kemudian segera kembali kepada keingkaran setelah Allah mencabut kesulitan mereka. Dengan kata lain, mereka berbuat dengan tulus ikhlas hanya saat menghadapi masalah, tetapi mereka tidak ikhlas ketika masalah itu dicabut oleh Allah. Al-Qur`an memberikan contoh orang-orang yang demikian,

“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdo’a kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), ‘Sesungguhnya, jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.’ Maka setelah Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kamilah kembalimu, lalu kami kebarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Yunus [10]: 22-23)

Sekali saja mereka dapat mengambil bentuk tingkah laku yang lebih tulus jika mereka mau berjanji bahwa mereka akan benar-benar menjadi mukmin sejati, Allah segera menolong mereka. Akan tetapi, setelah mereka mendapatkan pertolongan Allah, mereka berpaling dari-Nya. Allah menyatakan bahwa kedurhakaan ini akan menghancurkan mereka. Ia memberi peringatan kepada mereka akan nasib yang akan mereka terima.
Orang-orang yang suci hatinya, mereka berpaling kepada Allah dengan hati yang terbuka, tak ada perbedaan di dalam sikap dan tingkah laku mereka, baik di waktu sulit maupun lapang. Hal ini karena mereka menyadari sepenuhnya akan kekuatan absolut Allah. Mereka selalu hidup dengan rasa takut dan mengabdi kepada Allah dengan pengabdian sepenuh hati yang tak terbagi. Allah menyatakan bahwa di hari akhir nanti, tidaklah sama balasannya antara orang-orang yang berbuat sesuatu dengan tulus hanya saat mereka menghadapi kesulitan dan orang-orang menyucikan dirinya serta berjuang sepanjang hidup mereka. Mukmin sejati akan dibalas dengan surga, sedangkan yang lainnya akan dihukum dengan neraka. Ayat berikut terkait dengan hal ini.

“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah di akan kemudharatan yang pernah dia berdo’a (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah, “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.’ (Apakah kamu, hai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya, orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (az-Zumar [39]: 8-9)

Tidak Pernah Enggan dalam Mengabdi dan Beribadah kepada Allah
Allah berfirman,

“Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,’ padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (al-Baqarah [2]: 8-9)

Mereka adalah orang-orang yang memiliki keingkaran di hati, meskipun mereka berada di antara mukmin sejati, beribadah bersama mereka, serta menjalin hubungan dengan mereka. Salah satu ciri yang membedakan mereka dari orang-orang beriman kepada Allah adalah bahwa mereka enggan untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Orang-orang beriman adalah laki-laki dan perempuan yang tulus melabuhkan keimanan yang mendalam kepada Allah, yang berpaling kepada-Nya dengan tulus, dan yang menyembah-Nya dengan cinta dan kepatuhan. Dalam ayat lain, Allah menggambarkan balasan yang menanti di hari akhir atas sikap tersebut dan Dia menghadirkan para malaikat sebagai contoh bagi manusia,

“Almasih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.” (an-Nisaa` [4]: 172)

Sebagaimana disebutkan di dalam ayat ini, salah satu ciri keikhlasan dan kebajikan adalah dengan tidak pernah merasa enggan dalam mengabdi dan beribadah kepada Allah. Orang-orang beriman selalu ingin beribadah kepada Allah dalam situasi apa pun. Karena itulah, mereka tidak pernah kehilangan semangat, sekalipun mereka dipaksa untuk mengorbankan hidup dan kekayaan mereka atau menghadapi kesulitan dan kedukaan.
Nabi Muhammad saw. mengingatkan orang-orang beriman akan pentingnya keteguhan dalam menyembah Allah, “Kerjakanlah kebaikan dengan benar, tulus, dan utuh. Dan sembahlah Allah di waktu siang dan malam, dan selalu mengambil jalan pertengahan untuk mencapai tujuanmu (surga).”
Al-Qur`an memberikan banyak contoh tentang akhlaq mulia, yang mengungkapkan usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang beriman ini. Sebagai contoh, ada orang-orang yang berulang-ulang meminta Nabi saw. agar mereka dapat ikut serta berperang, tetapi akhirnya mereka tidak dapat ikut serta. Disebutkan juga tentang mereka yang kembali setelah gagal menemukan apa pun untuk dibelanjakan. Meski orang-orang ini pasti menyadari bahwa mereka akan menghadapi banyak kerugian dalam perang: risiko terbunuh, terluka, dan menderita, mereka tetap ingin ikut serta semata-mata karena keimanan yang tulus serta kesucian diri mereka. Al-Qur`an mengabadikan orang-orang seperti ini dalam ayat,

“Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu,’ lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (at-Taubah [9]: 92)

Al-Qur`an juga mengabarkan contoh-contoh mereka yang berada dalam situasi yang sama, tetapi segan melayani dan mengabdi kepada Allah, agar orang-orang beriman menyadari perbedaan antara dua macam orang. Ayat berikut ini menyatakan,

“Sesungguhnya, jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang yang kaya. Mereka rela berada bersama-sama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci mata hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka). Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan uzurnya kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah, ‘Janganlah kamu mengemukakan uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu, (karena) sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kami di antara perkabaran-perkabaran (rahasia-rahasia)mu. Dan Allah serta Rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu, kemudian kamu dikembalikan kepada Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’” (at-Taubah [9]: 93-94)

Kebalikan dari mukmin yang sejati, mereka adalah orang yang menyatakan dengan lidah mereka bahwa mereka menyembah Allah dan bahwa mereka mematuhi Nabi saw., tetapi mereka meminta untuk tidak dilibatkan dalam peperangan walaupun mereka berkecukupan dari segi harta dan kekayaan. Mereka yang menolak untuk ikut serta dalam peperangan saat kaum muslimin menghadapi kesulitan yang besar, menunjukkan keberanian yang memalukan di hadapan Allah. Kondisi yang sama juga dapat terjadi pada kasus yang lainnya. Haruslah diingat bahwa di dalam ayat-ayat Al-Qur`an, Tuhan kita menunjukkan bahwa hati orang-orang yang lebih memilih untuk menyimpan harta mereka daripada melakukan sesuatu yang dapat membawa mereka kepada keridhaan Allah dan menolong serta menyokong saudara mereka seislam, sudah terkunci.

Keikhlasan Perlu Dimurnikan
Salah satu ciri yang paling penting yang ada pada diri mukmin yang sejati dan ikhlas adalah bahwa ia dengan tulus ingin dan berusaha untuk menyucikan dirinya dari segala jenis tingkah laku dan akhlaq yang dilarang oleh Al-Qur`an demi memperoleh keridhaan Allah. Manusia diciptakan cenderung untuk berbuat salah, namun Allah menyatakan dalam ayat terpisah bahwa Dia telah melengkapi jiwa manusia tidak hanya terbatas dengan dosa dan kejahatan, tetapi juga dengan cara-cara untuk menghindarinya.

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams [91]: 7-10)

Dengan rasa takut kepada Allah, setiap mukmin sejati ingin selalu menyucikan diri dari sisi jahat jiwanya. Ia berusaha untuk mendapatkan keagungan ahklaq sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al-Qur`an, dengan menggunakan kesadaran dan kecerdasannya dengan sebenar-benarnya. Usaha serius apa pun yang dilakukan oleh seseorang yang tulus hati menginginkan kesucian diri, adalah tanda keimanan sejati dan kesuciannya.
Hanya orang yang memiliki keimanan yang mutlak pada Allah dan hari akhirlah yang akan berusaha menghilangkan sisi jahat jiwanya. Sebaliknya, orang yang tidak benar-benar percaya kepada Allah dan hari akhir akan menafikan adanya sisi jahat dalam jiwanya dan berusaha menutupinya dari orang lain. Ia berharap tak akan ada yang mengetahui perbuatan jahatnya. Akan tetapi, Allahlah yang paling tahu lahir dan batin setiap orang. Allah paling tahu rahasia yang paling rahasia. Pada hari pembalasan, semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap manusia akan terungkap. Mukmin yang ikhlas yang menyadari hal ini akan ditolong oleh usaha mereka melawan hawa nafsu. Di dalam Al-Qur`an, gambaran usaha mereka dipaparkan sebagai berikut.

“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya, masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (at-Taubah [9]: 108)

Berusaha Bersama-sama dan Melakukan
Perbuatan Baik Terus-menerus
Di dalam ayat berikut, Allah menyatakan bahwa perbuatan baik yang dilakukan terus-menerus adalah lebih baik ganjarannya di sisi Allah.

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi [18]: 46)

Perbuatan tersebut juga merupakan tanda keikhlasan dan kesucian seseorang. Sebagian orang dapat melakukan perbuatan baik, tetapi bukan karena mereka takut kepada Allah, melainkan ingin mendapatkan kehormatan dan pujian di mata manusia. Sebagai contoh, seseorang yang mengirimkan barang-barang dan pakaiannya untuk orang-orang yang kehilangan tempat tinggal karena gempa bumi. Ia mungkin saja membantu tetangganya, atau bersikap baik, sayang, dan baik budi. Ia mungkin juga ramah, lembut, dan memahami karyawannya. Ia mungkin hormat dan penuh toleransi kepada orang yang lebih tua. Jika perlu, ia bisa saja mengorbankan dirinya, ikut serta dalam kegiatan kemanusiaan. Semua itu adalah perbuatan yang baik. Bagaimanapun juga, apa yang benar-benar penting adalah keteguhan dan kesabaran yang ditunjukkan saat melakukan perbuatan tersebut. Sepanjang hidupnya, setiap muslim yang telah menyucikan dirinya harus membantu siapa pun yang membutuhkan, tanpa memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya. Usaha-usaha yang dilakukan hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah ini juga dilaksanakan untuk membuktikan tingkat keikhlasan mereka. Bagaimanapun juga, jika orang tersebut gagal membawa dirinya kepada ajaran moral yang disebutkan di atas dan untuk bersikap dalam sikap pengabdian dan pengorbanan diri yang sama, kesucian yang akan didapatnya saat melakukan perbuatan lain akan mudah hilang.
Demikian pula, ada sebagian orang dalam masyarakat jahil yang mampu melakukan perbuatan baik, bahkan meski mereka tidak percaya kepada Allah. Akan tetapi, mereka melakukan perbuatan tersebut bukan karena rasa takut mereka kepada Allah atau dalam harapan mereka akan hari akhirat. Mereka bertujuan untuk mendapatkan balasan dan keuntungan dunia, besar maupun kecil. Sebagai contoh, mereka mungkin membantu korban gempa bumi hanya untuk membuang barang-barang mereka yang sudah tak terpakai. Begitu pula, rasa hormat yang ditunjukkan terhadap orang yang lebih tua mungkin hanya semata-mata karena pengaruh tradisi budaya. Demikian pula, ia mungkin saja memperlakukan karyawannya begitu ramah hanya untuk membuat mereka lebih giat bekerja dan menghasilkan pendapatan yang lebih. Ia mungkin memberikan bantuannya untuk menolong organisasi kemanusiaan untuk mendapatkan kehormatan dan harga diri dalam masyarakat. Untuk dapat memastikan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan karena rasa takutnya kepada Allah dan ajaran akhlaq mulia yang diperintahkan Allah, orang tersebut harus menggunakan upaya yang sama dalam setiap detik kehidupannya dan terus-menerus bersikap sesuai dengan prinsip Al-Qur`an. Pentingnya berpaling kepada Allah setiap pagi dan petang, terus-menerus setiap hari, ditekankan dalam ayat,

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (al-Kahfi [18]: 28)

Jika seseorang dengan tulus meyakini keberadaan Allah dan hari akhir, ia tidak akan berbuat sebaliknya. Karena itu, ia tahu pasti bahwa ia bertanggung jawab akan setiap detik kehidupannya di dunia dan ia layak mendapatkan kehidupan yang abadi di surga-Nya hanya jika ia menjalani kehidupan dengan mengikuti keridhaan Allah. Ia bersegera melakukan perbuatan baik untuk mendapatkan ridha Allah dalam setiap perbuatan, perkataan, dan sikapnya. Dengan bertanya pada diri sendiri, “Apa yang dapat saya lakukan?”, “Bagaimana seharusnya saya bersikap agar Allah ridha dan sayang?’, “Sikap apa yang harus saya perbaiki agar tingkah laku saya lebih baik?”, dan ia berusaha dengan sungguh-sungguh. Demikian pula disebutkan di dalam Al-Qur`an bahwa tingkah laku mereka yang berusaha, sebagaimana mereka seharusnya berusaha, diberi ganjaran yang besar. Dinyatakan dalam ayat,

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (al-Israa` [17]: 18-19)

Mengabdi dan Terus Berusaha Menjadi Orang yang Benar
Allah menekankan dalam ayat-ayat Al-Qur`an bahwa akhlaq Ilahiyah harus diaplikasikan ke dalam setiap bagian hidup seorang mukmin sejati. Seseorang harus hidup sebagai orang mukmin, berbicara dan berpikir sebagai seorang muslim. Sejak saat ia membuka matanya di pagi hari hingga saat ia tidur di malam hari. Ia harus berusaha menuju kesucian, berniat untuk selalu berlaku ikhlas dan jujur kepada Allah, dan selalu menggunakan kesadaran dan kemauannya dengan sebaik-baiknya hingga akhir nanti.
Sebagian orang berusaha untuk membatasi agama pada ritual-ritual tertentu. Mereka yakin bahwa kehidupan spiritual mereka harus dipisahkan dari kehidupan dunia. Entah bagaimana, mereka melihat ide tersebut logis dan masuk akal. Mereka mengingat Allah dan hari akhir hanya saat mereka melakukan shalat, puasa, bersedekah, atau ketika melakukan haji. Di lain waktu, mereka terbawa pada kerumitan urusan dunia. Mereka melupakan Allah dan balasan yang akan diterimanya di hari pembalasan. Mereka tidak peduli pada usaha untuk menggapai ridha Allah dan gagal berjuang hingga akhirnya.
Mereka tidak menyadari bahwa mereka juga diharapkan untuk berpikir agamis pada saat berjalan, makan, bekerja di kantor, berolah raga, berbicara dengan orang lain, melakukan transaksi, menonton televisi, berbicara tentang politik, mendengarkan musik, dan sebagainya. Saat mereka mengira bahwa hal-hal tersebut hanyalah masalah duniawi, mereka cenderung percaya bahwa rencana-rencana mereka pun seharusnya bersifat keduniawian. Akan tetapi, seseorang dapat menyempurnakan akhlaq sesuai dengan Al-Qur`an dan mendapat keikhlasan saat berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas. Ia dapat menunjukkan perhatian dalam tugas-tugasnya dan penuh perhatian saat berbicara dengan orang lain, makan, berolah raga, bersekolah, bekerja, tengah membersihkan sesuatu, menonton TV, atau mendengarkan musik. Ia harus berusaha mendapatkan berkah Allah saat melakukan semua aktivitas tersebut.
Semua tingkah laku yang menjadikan Allah ridha dijelaskan secara rinci dalam banyak ayat Al-Qur`an. Banyak rincian tentang bagaimana berbuat adil dalam jual beli, tidak mengambil harta yang tidak halal, memberikan takaran dan timbangan yang tepat, dan sebagainya, telah dijelaskan di dalam Al-Qur`an. Ketika seseorang hidup dengan rasa takut kepada Allah dan melakukan perbuatan sesuai dengan ayat-ayat tersebut, ia melakukan jual beli untuk memenuhi keridhaan dan keikhlasan kepada Allah. Demikian pula, menahan diri dari perkataan kotor, tidak tinggal diam ketika orang lain menghina Al-Qur`an, dan berbicara dengan jujur dan bijaksana, semua itu adalah bagian dari akhlaq agung yang disebutkan di dalam Al-Qur`an. Karena itulah, seharusnya tidak ada seorang pun yang salah mengartikan bahwa agama hanyalah terdiri atas ritual-ritual agama dan bahwa keikhlasan hanya bisa didapatkan dengan melakukan ritual-ritual tersebut. Karena rumitnya kehidupan duniawi kita, manusia bertanggung jawab untuk terlibat dalam berbagai hal. Yang penting adalah bahwa seseorang harus selalu menempatkan Allah di dalam hatinya. Ia harus mencari keridhaan Allah di dalam setiap perbuatannya, tidak mengorbankan ajaran moral Al-Qur`an, serta menjaga kesuciannya.

Pandai Menguasai Diri, Ikhlas, dan Dapat Dipercaya
Seseorang yang secara konsisten berbuat ikhlas akan terlihat bersifat baik dan bersungguh-sungguh. Mereka yang hanya ingin mendapatkan keridhaan Allah dan tidak mencari balasan duniawi, tidak akan pernah menjadi orang yang palsu, penuh tipu daya, tidak ikhlas, dan tidak wajar. Ia bersikap baik, demikian pula perbuatan dan ucapannya. Hal ini karena ia tidak akan berusaha memengaruhi orang lain atau terlalu ambisius. Ia akan cepat disukai dan membuat orang lain merasa nyaman dengannya. Karena ia hanya ingin mendapatkan keridhaan Allah, ia menyadari sepenuhnya bahwa sifat-sifat menipu yang dilakukan untuk mendapatkan pengaruh pada orang lain akan merusak ketulusan hatinya. Ia akan merasa nyaman dan damai karena mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya teman baik dan satu-satunya pelindung.
Seseorang yang dengan teguh menjaga kesucian dan ketulusannya, berharap agar Allah akan menerima setiap perbuatannya sebagai orang yang saleh dan membalasnya dengan imbalan yang berlimpah, baik di dunia maupun di akhirat.


Bab III
Tipu Daya Setan untuk Menghancurkan Keikhlasan Orang-Orang yang Beriman


Hingga hari pembalasan, setan telah berjanji untuk menyesatkan manusia, untuk mengajak mereka ke dalam barisannya. Sebagaimana dinyatakan Allah, “Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi.” (al-Mujaadalah [58]: 19) Setan telah berhasil membujuk mereka yang menafikan keberadaan Allah. Ia telah menjebak manusia dari segala sisi, membuat mereka lupa kepada Allah, dan memperoleh penghambaan yang mutlak dari mereka. Karena itulah, orang-orang ini masuk ke dalam barisan setan, sebagai makhluk yang mengajak orang lain kepada keingkaran, dosa, dan kejahatan.
Bagi mereka yang dengan ikhlas percaya kepada Allah, tentu saja berbeda halnya. Setan dapat langsung memengaruhi mereka yang menafikan Allah. Akan tetapi, terhadap mukmin sejati yang dengan teguh meyakini Allah, setan gagal memengaruhi mereka. Sebagai contoh, setan dengan cara apa pun tidak dapat mencegah mereka dari berjuang di jalan Allah. Ia tidak dapat mencegah mereka untuk mengamalkan perintah agama mereka, melaksanakan shalat, melakukan kebaikan dan berlaku jujur, menyebut nama Allah, dan mengorbankan diri mereka untuk berjuang dengan harta dan jiwa.
Menyadari hal itu, setan terpaksa mencari tipu daya yang lebih sulit untuk memengaruhi para mukmin sejati. Karena ia tidak dapat secara langsung menghalangi amal baik yang dilakukan karena Allah, ia berusaha mencampuradukkan kejahatan dalam niat baik mereka saat melakukan suatu perbuatan. Ini dilakukan untuk mengalihkan pandangan mereka selain kepada keridhaan Allah dan untuk mencegah mereka berpaling kepada Allah dengan tulus ikhlas, dengan cara menyerang keikhlasan mereka. Di dalam Al-Qur`an, tujuan setan hingga detik ini ditegaskan dengan kata-katanya sendiri. Ayat yang berhubungan dengan perkataan setan disebutkan sebagai berikut.

“Dan saya benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan saya suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.’ Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (an-Nisaa` [4]: 119-120)

“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (al-A’raaf [7]: 16-17)

Sebagaimana ditunjukkan di dalam ayat tersebut, setan berusaha mengendalikan mereka dengan “membawa kepada kesesatan dan memenuhi mereka dengan harapan-harapan palsu”, dengan “menyerang mereka di jalan Allah yang lurus”, dan dengan “mendatangi mereka dari depan, belakang, dari kanan dan kiri mereka”.
Ia menggunakan tipuan agar manusia melihat kebenaran sebagai kesalahan, kebaikan sebagai kejahatan, yang bagus sebagai kejelekan, dan kejahatan sebagai kebaikan. Ia berusaha mencegah manusia dari perbuatan baik karena Allah dengan menanamkan keraguan dan keinginan yang sia-sia di dalam hati mereka. Setan berusaha keras memikat orang-orang beriman untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan akhlaq Al-Qur`an dengan memperindah dan menghiasinya agar terlihat lebih menarik.

Barisan Setan
Bila perlu, setan bergantung pada pertolongan mereka yang menjadi temannya dan menafikan Allah untuk mencapai tujuan yang disebutkan di atas. Ia menggunakan mulut mereka untuk berbicara dan perkataan mereka untuk mengungkapkan rencana-rencananya. Ini merupakan taktik yang lihai untuk menguasai orang-orang beriman.
Tentu saja setan tidak dengan terang-terang mengajak mereka untuk menafikan Allah dengan berbisik, “Jangan mengikuti Al-Qur`an, jangan memenuhi ridha Allah, patuhilah aku.” Sebaliknya, ia mencoba menipu mereka dengan tipu muslihat, kelicikan, dan kebohongan. Ia berusaha mencegah mereka untuk berbuat ikhlas dan menanamkan berbagai macam keinginan dan nafsu di dalam hati mereka, dan membuat mereka lebih mencari pujian daripada mencari keridhaan Allah.
Misalnya saja, ia berusaha untuk menyisipkan keinginan untuk mendapatkan kerelaan manusia dalam niat seorang mukmin yang berusaha untuk melakukan perbuatan baik karena Allah. Setan mendorongnya untuk memuji kebaikan dirinya dan melambungkan egonya.
Dengan berbangga diri ketika melakukan perbuatan baik, ia terhalang untuk ikhlas dalam perbuatannya itu. Seharusnya, jika ia benar-benar memilih untuk melakukan suatu perbuatan yang mengorbankan dirinya, ia harus melakukannya untuk mendapatkan keridhaan Allah. Karena itulah, tidak perlu ia mengumumkan perbuatannya. Dengan cara apa pun, Allah melihat dan mendengarnya. Akan tetapi, setan menghadirkan keinginan itu dalam bentuk yang terlihat tidak salah, seperti alasan-alasan, “Mereka akan percaya dan lebih mencintaimu jika mereka tahu betapa berahklaq dan lurusnya dirimu dan betapa patuhnya engkau pada Al-Qur`an. Bagaimanapun juga, ini adalah keinginan yang benar-benar sah.” Tentu saja ini adalah keinginan yang sah-sah saja dan dijalankan sesuai dengan Al-Qur`an jika ia mencari pengakuan Allah dan meninggalkan apa yang dikatakan masyarakat serta berpaling kepada Allah. Jika ia berbuat sebaliknya, ia akan berisiko untuk dikuasai oleh kesalahan yang ditolak oleh Al-Qur`an. Sikap-sikap tersebut menjadikan ibadah terlihat dan membuat seseorang merasa berbangga diri. Semua sikap tersebut berseberangan dengan keikhlasan dan kesucian. Sifat-sifat yang hanya dibutuhkan saat melakukan ibadah untuk semata-mata mencari keridhaan Allah.

Kelicikan Setan
Rencana setan untuk mengancam keikhlasan orang-orang beriman yang akan terus ada hingga hari pembalasan, dimulai sejak masa Adam a.s.. Ia mendekati Adam a.s. dengan strategi yang licik dan menipu serta mencoba membuatnya melihat kebaikan sebagai kejelekan dan kejelekan terlihat baik. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur`an, setan berhasil membujuk Adam a.s. dan pasangannya untuk tidak mengindahkan larangan Allah. Jadi, setan membuat mereka dikeluarkan dari surga. Peristiwa ini dijelaskan di dalam ayat-ayat Al-Qur`an sebagai berikut.

“Dan Kami berfirman, ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.’” (al-Baqarah [2]: 35)

“Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata, ‘Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?’” (Thaahaa [20]: 120)

“Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan setan berkata, ‘Tuhanmu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).’ Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya, saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua.’ Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka, ‘Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu, ‘Sesungguhnya, setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’” (al-A’raaf [7]: 20-22)

Setan tidak secara terang-terangan mengatakan kepada Adam dan Hawa untuk menentang perintah Allah. Bila dilakukan terang-terangan, tak ada satu pun mukmin yang mengikutinya. Jadi, ia merencanakan alasan lain yang lebih persuasif. Setan mengatakan kepada mereka bahwa mereka akan menjadi malaikat dan hidup abadi jika mereka memakan buah pohon terlarang itu. Agar kebohongannya lebih meyakinkan, ia bahkan berani bersumpah atas nama Allah. Al-Qur`an memperingatkan para mukmin sejati agar melawan kelicikan yang dilakukan oleh setan ini.

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari syurga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperhatikan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya, ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (al-A’raaf [7]: 27)

Mereka yang dibimbing oleh Al-Qur`an benar-benar dipersiapkan untuk melawan masalah-masalah yang tidak berdasar, keinginan yang semu, dan muslihat setan yang menipu. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat, “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thagut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah,” (an-Nisaa` [4]: 76) strategi yang dilancarkan setan sebenarnya lemah dan hanya terdiri atas tipuan yang palsu. Para mukmin sejati mamahami bahwa bisikan tersebut berasal dari setan. Mereka segera memohon perlindungan kepada Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,

“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya, orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa waswas dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (al-A’raaf [7]: 200-201)

Segera setelah mendapatkan perlindungan dari Allah, mereka dapat mengartikan peristiwa tersebut dengan cahaya Al-Qur`an. Mereka mendapatkan pemahaman yang menolong mereka untuk membedakan kebenaran dari kebatilan. Karena itulah, tuduhan setan yang sesat tergagalkan karena iman yang kuat dalam diri mukmin yang sejati.
Demikian pulalah, seperti yang digarisbawahi Al-Qur`an dalam ayat berikut, setan memainkan peranan kosong pada diri mukmin sejati yang meletakkan keyakinan dan iman mereka kepada Allah dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya Pelindung mereka.

“Sesungguhnya, hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhanmu sebagai penjaga.” (al-Israa` [17]: 65)

Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur`an, setan dapat memengaruhi mereka yang dikuasai olehnya dan mereka yang menjadikan hal lain sebagai tuhan selain Allah.

“Sesungguhnya, setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya.” (an-Nahl [16]: 99-100)

Dinyatakan bahwa setan tidak dapat memengaruhi hamba-hamba yang tulus dan suci,

“Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.’” (al-Hijr [15]: 39-40)

Karena alasan inilah, mukmin yang ikhlas dan benar tidak perlu takut menghadapi kelicikan dan tipu daya jebakan yang dibuat oleh setan, karena mereka tahu pasti bahwa setan tidak memiliki kekuatan atas mereka. Mereka hanya takut kepada Allah. Mereka yang takut kepada setan adalah mereka yang berteman dengannya dan terperosok ke dalam perangkapnya. Hal ini diungkapkan di dalam Al-Qur`an,
“Sesungguhnya, mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran [3]: 175)

Di dalam Al-Qur`an, Allah menyatakan bahwa setan akan meningkatkan usahanya untuk menanamkan keinginan-keinginan palsu dan penyimpangan di hati setiap manusia, termasuk hati para nabi. Ini adalah semacam cobaan yang diciptakan Allah untuk membedakan antara mereka yang memiliki penyakit di hatinya dan mereka yang beriman dengan tulus ikhlas. Mereka yang mendapatkan kesucian dan memiliki pengetahuan tidak dapat dipengaruhi oleh keinginan-keinginan palsu setan. Mereka benar-benar memahami bahwa setan tidak memiliki kekuatan sendiri. Ia sebenarnya diciptakan dan dikendalikan sepenuhnya oleh Allah. Setan tidaklah berkuasa untuk menyesatkan orang-orang beriman, menghalangi keikhlasan mereka, atau membawa mereka ke jalan yang sesat tanpa seizin Allah. Ketika setan berusaha untuk menempatkan keinginan-keinginan palsu di dalam hati mereka, seorang muslim percaya bahwa Al-Qu`an tidak diragukan lagi merupakan sebuah keberkahan yang nyata dari Allah sebagai penguat. Kebenaran ini ditunjukkan oleh ayat,

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al-Qur`an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (al-Hajj [22]: 52-54)


Bab IV
Cara Memperoleh Keikhlasan


Dalam bab-bab sebelumnya, kami menjelaskan pentingnya keikhlasan sebagai karakter orang-orang beriman yang tulus menurut cahaya suci Al-Qur`an. Setiap mukmin sejati yang berharap untuk mendapatkan keridhaan Allah dan dianugerahi berkah abadi surga, harus memberikan perhatian yang cermat sekali terhadap ayat-ayat tersebut sepanjang hidupnya. Ia harus hidup sesuai dengan ajaran moral Al-Qur`an, untuk menggapai keikhlasan. Hingga titik tersebut, ia harus berpaling kepada Allah dengan hati yang murni dan ia harus berjuang hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah. Ia harus sangat berhati-hati melawan segala jenis pengaruh negatif yang dapat merusak kemurniannya. Sebagaimana telah disebutkan dalam bab-bab sebelumnya, setan juga terus-menerus berusaha dan mencari berbagai cara untuk menyesatkan manusia dari jalan yang lurus.
Setiap orang harus selalu waspada bahwa ia dapat merusak keikhlasannya dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar kebiasaan atau bentuk-bentuk tingkah laku yang didapat dari komunitas di sekitarnya. Karena itulah, secara berkala, ia harus memeriksa niatnya dan membisikkan setiap kata, melakukan setiap tindakan murni hanya untuk Allah. Ia juga tidak boleh melupakan bahwa tingkatan moralitas ini tidak sulit untuk dijalankan, tetapi sebaliknya.
Kesucian, kejujuran, dan berpaling kepada Allah dalam sikap yang bersih dan murni, adalah sifat-sifat yang bisa didapat tanpa usaha yang besar. Tuhan kita yang telah memfasilitasi setiap langkah, bahkan telah membantu kita dengan para nabi-Nya dan mukmin yang saleh. Ia telah menunjukkan cara untuk mendapatkan keikhlasan di dalam ayat-ayat-Nya. Para cendekiawan muslim juga telah menunjukkan betapa besar dan pentingnya keikhlasan, dan mereka menjadikan karya mereka sebagai ajakan kepada para mukmin sejati untuk berpaling kepada Allah.
Karya-karya Badiuzzaman Said Nursi, seorang cendekiawan muslim ternama, memainkan peranan penting dalam membimbing orang-orang muslim yang ingin menggapai keikhlasan. Badiuzzaman menekankan perlunya penyucian diri secara khusus dan menyajikan saran-saran kritis kepada para mukmin sejati.
“Wahai saudara-saudaraku di hari akhir nanti! Wahai sahabatku dalam kepatuhan kepada Allah! Engkau mesti mengetahui—dan tahukah kalian—bahwa di dunia ini keikhlasan adalah prinsip yang paling penting dalam perbuatan-perbuatan yang berkaitan khususnya dengan hari akhir; ia merupakan kekuatan terbesar, perantara yang paling bisa diterima, dukungan yang paling kokoh, cara yang paling dekat menuju kesungguhan, dan yang paling diterima. Ia adalah alat yang paling menakjubkan untuk meraih tujuan, ia kualitas tertinggi dan ibadah yang paling murni.”
Sebagaimana ditekankan oleh Badiuzzaman sendiri, keikhlasan adalah salah satu karakter terpenting yang harus dimiliki seseorang untuk mengabdi kepada Allah sesempurna mungkin. Seperti yang diperintahkan di dalam ayat, “Sesungguhnya, Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur`an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya, Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan padanya. Sesungguhnya, Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar,” (az-Zumar [39]: 2-3) bahwa agama yang benar dapat dihidupkan hanya dengan mengabdi kepada Allah dan tulus ikhlas mematuhi-Nya. Badiuzzaman Said Nursi menyatakan bahwa seseorang harus mencapai keikhlasan untuk mendapatkan kebaikan dengan kebutuhannya.
“Karena di dalam keikhlasan terdapat banyak kekuatan dan cahaya... kami tentu saja memaksa siapa pun untuk bekerja dengan segenap kekuatan untuk mencapai keikhlasan. Kita perlu menanamkan keikhlasan di dalam diri kita. Jika tidak, apa yang kita capai selama ini dalam amal yang tersembunyi akan hilang sebagian dan tak akan kokoh; dan kita akan bertanggung jawab.”
Di dalam ayat-ayat Al-Qur`an, Allah menjelaskan bagaimana seseorang mencapai keimanan dan keikhlasan yang tak ternoda. Ditambah lagi, setiap manusia telah diciptakan dengan kemampuan untuk mengerti dan merasakan keikhlasan dan kemurnian. Karena itulah, untuk mencapai dan meningkatkan keikhlasan seseorang, sebenarnya sederhana. Bahkan jika seseorang benar-benar bodoh, ia dapat meraih keikhlasan dengan bersandar pada hati nuraninya. Ia dapat memahami mana yang ikhlas dan mana yang tidak. Ia dapat membebaskan dirinya dari segala tingkah laku yang menghalangi keikhlasan setelah berpaling kepada Allah dengan tulus hati. Karena itulah, seseorang harus menyadari bahwa hatinya adalah petunjuk dari Tuhan. Ia tidak boleh membodohi dirinya dengan alasan-alasan seperti, “Saya tidak tahu cara mana yang tulus,” “Saya tidak mengira bahwa sikap ini akan mengurangi keikhlasan,” “Saya kira saya orang yang ikhlas dan tulus,” dan sebagainya. Ia harus selalu ingat bahwa alasan-alasan tersebut tidaklah tulus, hanya dicari-cari untuk menenangkan hatinya. Jadi, mudah bagi seseorang yang menerima dengan hatinya untuk menggapai keikhlasan dan menjaganya hingga hari pembalasan.
Di dalam bab ini, kita akan membahas cara-cara mendapatkan keikhlasan sebagaimana yang telah dijelaskan Al-Qur`an dan juga yang telah bersemayam di dalam hati nurani kita. Kita akan mengambil contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah itu, kita akan membahas sikap-sikap atau perbuatan yang menghalangi keikhlasan. Kita akan melihat betapa sederhana cara mencapainya.

Keikhlasan yang Menguntungkan Mukmin Sejati
Untuk mendapatkan keikhlasan sejati, seseorang pertama-tama harus memahami mengapa keikhlasan itu penting. Ia harus memiliki keinginan untuk mendapatkan tingkat keikhlasan tersebut. Hal ini karena siapa pun yang gagal memahami keikhlasan, ia dapat selanjutnya mencari kekuatan dan kekuasaan dengan hal-hal yang bersifat keduniawian. Ia akan mengejar dunia untuk mendapatkan martabat sosial. Orang seperti itu mencari ketenaran, reputasi, kemuliaan, kekayaan, kecantikan, ijazah pendidikan, dan kehormatan lainnya. Akan tetapi, tak ada satu pun hal di atas yang dapat memberikan kekuatan dan kekuasaan yang sesungguhnya, tidak di dunia ini ataupun di hari akhir. Demikianlah, Badiuzzaman Said Nursi mengingatkan para mukmin sejati bahwa kekuatan di dunia dan di akhirat itu hanya didapatkan melalui keikhlasan. Ia menyatakan, “Engkau harus tahu bahwa semua kekuatanmu ada dalam keikhlasan dan kebenaran. Ya, kekuatan ada di dalam kebenaran dan keikhlasan. Bahkan, bagi mereka yang salah mendapatkan kekuatan dari keikhlasan dalam kesalahan mereka. Bukti bahwa kekuatan ada di dalam kebenaran dan keikhlasan adalah apa yang kita kerjakan untuk Allah ini. Sedikit keikhlasan di dalam karya kita membuktikan pernyataan ini dan bukti keikhlasan itu sendiri.” Karena itulah, siapa pun yang melupakan prinsip ini dan mengejar materi-materi yang disebutkan di atas, ia tidak murni mencari keridhaan Allah.
Sebagai cotoh, mari kita misalkan bahwa sebuah tugas yang disangka baik oleh muslim dikerjakan oleh empat atau lima orang. Mari juga kita bayangkan bahwa salah seorang di antara mereka dipercayai untuk merngerjakan sebuah tugas yang pasif, tidak penting, dan berada di balik layar, tetapi begitu sulit dikerjakan. Sementara itu, orang yang lainnya ditugaskan dalam tugas yang aktif, tampak di depan, yang langsung menarik perhatian dan pujian dari orang lain. Jika orang pertama menolak untuk mengerjakan tugas tersebut hanya karena ia akan berada di belakang dan tidak akan mendapatkan pujian, dan ia ingin menukar tugasnya dengan kesempatan yang lebih besar dan menjanjikan untuk mendapatkan pengakuan dan kehormatan, maka hal ini akan merusak keikhlasannya. Dalam kondisi demikian, orang tersebut akan terbawa pada pikiran-pikiran yang tidak tulus, seperti, “Walaupun saya berusaha keras, nama saya tidak akan disebutkan. Terlebih lagi, orang lain akan lebih banyak mendapatkan balasan kendati ia bekerja lebih sedikit dari saya.” Maka dari itu, cara yang paling mulia untuk diikuti dalam situasi seperti ini adalah bekerja hanya untuk mendapatkan pengakuan dan pujian Allah, untuk mencari keridhaan-Nya. Jika pekerjaan itu tampaknya memberikan manfaat, tidaklah penting siapa yang ikut serta di dalamnya. Bahkan, jika ia tampaknya tidak memperoleh pengakuan dari orang lain dan tetap tidak dikenal, ia tetap harus mengerjakan kesempatan tersebut dengan antusias untuk mendapatkan keridhaan Allah. Inilah yang dimaksud dengan ikhlas.
Seseorang yang selalu melakukan sesuatu dengan ikhlas, tidak hanya akan sukses dan menikmati kedamaian pikiran di dunia ini, tetapi juga mendapatkan balasan di hari akhir. Hal ini karena orang yang demikian tidak bergantung pada harta duniawi, kekuasaan, kepemilikan kekayaan, dan kehormatan sosial, tetapi hanya bergantung pada Allah, keimanan, hati nurani, dan keikhlasannya. Sebagaimana digambarkan di dalam ayat berikut, Allah selalu menolong mereka yang berpaling kepada-Nya dengan pengabdian yang murni.

“... Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya, Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (al-Hajj [22]: 40)

Karena itu, tidak ada suatu kekuatan pun yang dapat melawan keimanan dan keikhlasan. Melalui keikhlasan, seseorang dipastikan akan mendapatkan bantuan, dukungan, dan kekuatan dari Allah.

Menumbuhkan Rasa Takut kepada Allah
Takut kepada Allah adalah cara yang utama untuk menumbuhkan keikhlasan seseorang. Ia harus mendedikasikan dirinya kepada Allah dengan kecintaan yang mendalam setelah memahami kebesaran-Nya, bahwa tidak ada kekuatan lain selain Allah, bahwa hanya Allah yang menciptakan alam semesta dari tiadaan dan yang memelihara makhluk hidup dengan penuh kasih. Dengan demikian, ia menyadari bahwa teman sejatinya di dunia dan di akhirat hanyalah Allah. Karena itulah, keridhaan Allah adalah satu-satunya pengakuan yang harus kita cari. Selain rasa cinta yang mendalam, ia sangat takut kepada Allah, sebagaimana firman Allah kepada manusia di dalam ayat-Nya untuk takut dan mengindahkan-Nya,

“... Dan bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (al-Baqarah [2]: 203)

Rasa takut kepada Allah muncul dari pemahaman dan penghargaan akan kebesaran dan kekuatan-Nya. Seseorang yang memahami kebesaran kuasa Allah dan kekuatan abadi-Nya, akan mengetahui bahwa ia bisa saja menghadapi murka dan hukuman-Nya sebagai bagian dari keadilan Ilahi jika ia tidak mampu mengarahkan hidupnya sesuai dengan keinginan Allah. Kesengsaraan yang disiapkan oleh Allah dalam kehidupan duniawi dan akhirat untuk mereka yang menafikan-Nya, dirinci di dalam ayat-ayat Al-Qur`an. Semua manusia diperingatkan untuk mewaspadai hal itu. Setiap mukmin sejati selalu menyadari akan hal ini. Takut kepada Allah dilakukan agar ia selalu ingat bahwa kehidupan dunianya cepat atau lambat akan berakhir dan bahwa semua manusia pada akhirnya harus memperhitungkan perbuatan mereka di hadapan Allah. Jadi, ia akan selalu menyadari murka Allah. Kesadaran ini menyebabkan dirinya merasakan takut yang melekat saat menghadapi siksaan Allah dan karena itu ia berusaha menghindarinya.
Menahan diri berarti secara tegas menolak untuk melakukan hal-hal yang dilarang dan tidak diridhai Allah, dan ia tidak menyia-nyiakan kesempatan dalam memenuhi apa pun yang diperintahkan oleh Allah. Seorang mukmin yang ikhlas merasa takut dan berhati-hati akan murka Allah. Ia berhati-hati pada sikap apa pun yang tidak diridhai oleh-Nya dan berusaha menghindarinya. Sebagai contoh, ia akan menyadari jika sisi jahat jiwanya cenderung kepada keduniawian. Dalam kondisi demikian, ia akan memakai kekayaan dan kekuasaannya demi kepentingan Allah untuk mengendalikan kecenderungan batin tersebut. Ini adalah akhlaq sejati yang paling sesuai dengan keikhlasan. Seseorang yang ingin mendapatkan keikhlasan, harus segera mengingat perintah Allah untuk “memberikan segalanya di jalan Allah” dan “takut kepada Allah sebanyak mungkin” untuk menghindari dirinya dari semua tingkah laku yang tidak disukai Allah. Sebagaimana diperintahkan oleh Allah, ia harus berbuat untuk Allah, mengabaikan godaan sisi jahat jiwanya. Ayat berikut menyatakan,

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (al-Baqarah [2]: 177)
Allah memerintahkan manusia untuk takut kepada-Nya, “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah....” (at-Taghaabun [64]: 16) Untuk menjalankan ayat tersebut, seorang mukmin tidak pernah merasa bahwa iman dan rasa takutnya kepada Allah telah cukup. Ia mencoba untuk meningkatkan rasa takut dalam hatinya dan kekuatan untuk menahan diri hingga akhir hidupnya. Berikut ini ayat-ayat Al-Qur`an yang menunjukkan mereka “yang hidup di dalam pengabdian kepada Tuhan mereka”.

“Sesungguhnya, orang-orang yang takut kepada Tuhan-Nya Yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (al-Mulk [67]: 12)

“... dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (ar-Ra’d [13]: 21)

Rasa takut dan keikhlasan kepada Allah harus dipelihara kedua-duanya. Mukmin sejati berusaha takut kepada Allah sebanyak mungkin untuk mengikuti ayat yang disebutkan di atas. Usaha-usaha ini juga merupakan bagian dari keikhlasan. Jadi, orang-orang beriman dapat menjaga diri dan rasa takutnya kepada Allah, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat,

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran [3]: 102)

Kedalaman dan kepekaan seseorang yang muncul karena rasa takut kepada Allah menyebabkan orang tersebut menjadi lebih berhati-hati dan ikhlas. Ia akan dapat melihat apa saja yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah. Ia akan memakai kesempatan itu sebagai orang yang ikhlas. Ayat berikut menyatakan kebenaran itu.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya....” (al-Maa`idah [5]: 35)

Orang seperti itu memiliki rasa takut yang mendalam kepada Allah, tidak akan menyerah saat menjalankan akhlaq Al-Quran. Ia tidak akan pernah melewatkan kesempatan untuk beribadah kepada Allah. Ia tidak akan pernah lupa bahwa Allah mendengar dan melihatnya, selalu dan di mana pun, baik sendiri maupun saat dikelilingi oleh banyak orang. Ia melakukan sesuatu dengan memahami bahwa ia bisa saja berhadapan dengan siksaan Allah jika ia tidak berhasil mengadopsi perbuatan dan sikap yang baik. Ketika rasa takut kepada Allah yang dirasakan oleh seseorang meningkat, pemahamannya terus-menerus diperkuat. Jadi, ia tidak pernah mengorbankan keikhlasannya karena ia selalu ingat akan ancaman api neraka sepanjang hidupnya.

Tidak Takut kepada Siapa Pun kecuali Allah
Salah satu tanggung jawab setiap mukmin adalah menyadari kebenaran yang ada di dalam ayat berikut. Selain itu, mereka bertanggung jawab untuk mencapai tingkatan iman yang cukup untuk “takut kepada Allah dengan rasa takut yang patut kepada-Nya”.

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Tuhan dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (az-Zumar [39]: 67)

Allah dapat dimuliakan jika seluruh sifat-Nya diketahui dengan baik dan wahyu-wahyu dari sifat-sifat tersebut tampak dan dipahami dalam setiap detik yang diberikan-Nya. Seseorang dapat merasa takut kepada Allah dan menahan dirinya, dan dengan demikian ia mendapatkan keimanan yang tulus, jika ia benar-benar memahami keluasan kebesaran-Nya.
Seseorang harus menyadari kebenaran bahwa tidak ada kekuatan yang lebih besar dari Allah, agar ia dapat memuliakan-Nya dengan sepatutnya. Mereka yang gagal menghargai Allah dengan sepatutnya, telah tertipu oleh kulit luar kehidupan dunia dan mendasarkan kehidupan mereka di atas tipuan ini. Mereka cenderung menghargainya dengan uang, kehormatan, dan kekuasaan yang mereka kira penting menurut nilai-nilai duniawi. Mereka cenderung untuk menegaskan nilai diri mereka dan salah mengartikannya sebagai manusia yang memiliki kekuatan dan status, dengan kemampuan untuk mengendalikan orang lain dan kehidupan. Karena itulah, mereka berusaha untuk mendapatkan cinta dan penghargaan dari orang lain. Mereka menghindari kegusaraan diri mereka dan takut menjadi sasaran dari bahaya yang mungkin mengenai mereka.
Jika Anda bertanya kepada mereka tentang iman mereka, sebagian mereka mengatakan bahwa mereka memiliki keimanan kepada Allah. Akan tetapi, orang-orang tersebut yang mengklaim bahwa mereka mengetahui dan mengakui Allah, cenderung menuhankan apa-apa yang mereka takuti sebagai sesuatu yang terlepas dari Allah. Pemikiran yang demikian menimpa keikhlasan ibadah mereka. Bahkan, membawa mereka untuk bersikap demikian demi untuk mendapatkan ridha orang lain tersebut bahwa mereka begitu terhormat dan dipuja-puja.
Walaupun demikian, tidak ada kekuatan lain yang dapat memberikan kebaikan atau keburukan kepada manusia tanpa seizing Allah. Di dalam ayat-ayat Al-Qur`an, Allah mengatakan hal ini,

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka menjawab, ‘Allah.’ Katakanlah, ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?’ Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku.’ Kepada-Nyalah bertawakal orang-orang yang berserah diri.” (az-Zumar [39]: 38)

“... Katakanlah, ‘Maka sipakah (gerangan) yang dapat menghalang-menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’” (al-Fat-h [48]: 11)

Untuk menguatkan kebenaran ini, Allah mengingatkan manusia untuk tidak takut kepada apa pun selain Dia,

“... Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.” (al-Baqarah [2]: 150)

Tingkatan ajaran moral yang membantu seseorang untuk mendapatkan keimanan dan keikhlasan yang murni ini dapat dipelajari dari diri para nabi. Dalam Al-Qur`an telah ditekankan bahwa para nabi tidak takut kepada apa pun kecuali Allah. Ayat berikut menggarisbawahi fakta ini.

“Yaitu orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.” (al-Ahzab [33]: 39)

Setiap manusia yang berhasil memberikan hak Allah akan mengetahui bahwa tidak ada kekuatan lain selain Allah dan ia tidak pernah takut kepada siapa pun kecuali Dia. Ia juga mengetahui bahwa tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi tanpa seizin-Nya. Pemahaman ini membuat ia terus-menerus menyembah Allah dengan cara yang murni, tulus, dan bersih. Jika ia melakukan perbuatan baik, ia melakukannya bukan karena takut akan reaksi orang lain, melainkan karena ia akan gagal memenuhi perintah Allah jika ia tidak tulus. Demikian pula, ia melakukan perbuatan atau bersikap apa pun, bukan karena ia akan dihadapkan pada kemarahan orang lain, melainkan karena ia ingin mendapatkan kasih sayang Allah dan menghindari hukuman-Nya.
Sebagai contoh, ketika orang yang bekerja pada sebuah kantor diminta menyumbang untuk sebuah yayasan amal, sebagian orang akan melihat kesempatan tersebut sebagai kewajiban moral Al-Qur`an dan mereka menyumbang secara murni karena takut kepada Allah. Sementara itu, orang lain yang akan menyumbangkan uang berpikir bahwa teman-temannya mungkin akan berkata, “Betapa pelitnya dia!”, atau jika ia tidak menyumbang, “ia satu-satunya orang yang tidak menyumbang!,” atau, “ia mungkin tidak punya uang.” Mereka merasa terpaksa melakukannya karena mereka tidak ingin disangka negatif oleh orang lain. Sudah pasti, balasan terhadap amal orang tersebut di hadapan Allah akan sangat jauh dari balasan terhadap amal orang-orang yang ikhlas. Mereka telah menodai keikhlasan mereka dan telah menyimpang dari ajaran moral Al-Qur`an. Bagaimanapun juga, mereka yang berbuat sesuatu karena takut kepada Allah, berharap untuk dibalas hanya oleh-Nya.
Perbedaan antara mereka yang takut kepada Allah dan mereka yang takut kepada selain-Nya dapat dilihat pada saat kondisi yang tidak menguntungkan. Sebagai contoh, mari kita perhatikan seseorang yang biasa memanfaatkan keuntungan yang tidak adil di kantornya. Orang tersebut tetap tidak menggubris ketika diingatkan bahwa perbuatannya tidak akan diterima oleh Allah, tetapi ia akan segera berhenti berbuat demikian jika ia diingatkan bahwa perbuatan amoralnya itu akan terlihat oleh rekan dan kerabatnya. Walaupun demikian, ia selalu memiliki kesempatan untuk dapat membuat perubahan terhadap apa yang dilakukannya. Jika ia menyesali dengan tulus dan mengoreksi cara berpikirnya, ia mungkin bisa ikhlas melakukan sesuatu. Penting bagi setiap orang yang ingin berbuat ikhlas untuk memperhatikan cara yang benar sebagaimana contoh-contoh ini. Kami telah memberikan macam-macam kondisi yang biasanya kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, ia harus memantau dirinya sendiri. Jika ia takut kepada makhluk selain Allah, ia harus membersihkan dirinya dari rasa takut tersebut jika ia ingin mencapai keikhlasan.

Berjuang Sekuat-kuatnya Demi Keridhaan Allah
Seseorang yang ingin bersikap ikhlas dalam situasi apa pun, dihadapkan pada keharusan berjuang untuk mendapatkan keridhaan Allah. Perintah Allah tentang hal ini disebutkan di dalam ayat,

“... maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (al-Maa`idah [5]: 48)

Ayat lainnya menyatakan,

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Faathir [35]: 32)

Sebagaimana disebutkan dalam ayat ini, ada orang-orang yang “ambivalen” meski mereka percaya kepada Allah dan ada pula orang-orang “yang saling mengalahkan dalam kebaikan”. Seorang muslim yang ikhlas akan berusaha untuk bersegera dalam perbuatan baik. Dalam setiap detik hidupnya, ia berjuang untuk melakukan apa-apa yang membuat Allah ridha dan senang. Ia menggunakan semua yang ia miliki untuk menjadi salah satu hambanya yang saleh.
Perbedaan antara mereka yang ambilaven dan mereka yang berlomba satu sama lain dalam kebaikan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Seseorang dihadapkan pada banyak peristiwa sepanjang hidupnya. Ia selalu dihadapkan pada banyak pilihan. Ia harus memutuskan bagaimana berhadapan dengan masalah tersebut, apa yang harus dilakukan, dan sikap moral apa yang harus diterapkan? Pilihannya bergantung sepenuhnya pada kesadaran hatinya. Seorang mukmin sejati sangat berhati-hati dan waspada terhadap pilihan-pilihan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama tersebut. Jadi, ia menolak pilihan itu tanpa syarat dan akan mengambil yang paling dekat dengan Allah serta mendapatkan balasan yang paling besar di dalam surga. Kemampuannya untuk mematuhi kesadaran hatinya saat membuat keputusan adalah apa yang membuatnya mendapatkan keikhlasan. Di dalam Al-Qur`an, orang-orang beriman yang paling utama dalam perbuatan baik diabadikan dalam ayat,

“Sesungguhnya, orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apa pun), dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (al-Mu`minuun [23]: 57-61)

Terlebih lagi, jika seseorang dihadapkan pada ribuan pilihan, mudah baginya untuk mengenal pilihan mana yang membuat Allah ridha dan senang. Pilihan ini jelas dan menjadi bukti bagi orang yang mencari cara mendekati Allah dan melihat apa yang terjadi padanya dengan kacamata keimanan. Sebagai contoh, ketika seseorang dipaksa untuk memilih sebuah cara untuk menghabiskan waktunya, ia akan dihadapkan pada sejumlah alternatif. Ia dapat menghabiskan seluruh waktunya untuk kegiatan olah raga atau menonton televisi di rumah. Ia bisa mengatakan bahwa aktivitas-aktivitas tersebut menyenangkan Allah karena olah raga penting untuk kesehatan, sedangkan menonton televisi itu menambah pengetahuannya. Tentu saja, berolah raga dan menonton televisi itu bermanfaat dan penting. Akan tetapi, menghabiskan satu hari untuk berolah raga atau menonton televisi tidak dapat dinilai berhati-hati bagi seorang mukmin sejati jika ia menyadari bagaimana pola hidup-pola hidup yang tidak religius menjadi semakin lazim setiap hari; sementara perempuan, orang tua-orang tua, dan anak-anak sedang berada di bawah bayang-bayang pembunuhan di wilayah-wilayah muslim hanya karena mereka mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah,” peperangan, pertempuran, dan degenerasi moral terjadi di mana-mana. Tak diragukan lagi, menyebarkan kesempurnaan ajaran moral Al-Qur`an kepada orang lain dan berusaha menjadi alat supaya mereka bisa mendapatkan balasan di hari akhir, menjadi aktivitas yang selalu diinginkan olehnya. Ini adalah tanggung jawab yang harus dipikirkan oleh setiap muslim. Semua yang memilih alternatif ini akan melakukan amal saleh dan pengabdian agama demi kehidupannya di hari kemudian. Tetapi selain itu, ia juga akan mendapatkan balasan yang amat menyenangkan karena menjalankan agama sesuai dengan ketetapan ayat-ayat Al-Qur`an, seperti yang menjadi alat penyelamat bagi orang lain.
Allah menawarkan contoh berikut.

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (at-Taubah [9]: 19-20)

Seperti yang dinyatakan dalam ayat ini, memberi air untuk orang-orang yang sedang berhaji atau menjaga Masjidil Haram juga merupakan perbuatan baik yang tepat untuk mendapatkan keridhaan Allah. Bagaimanapun juga, harus ditekankan bahwa orang-orang beriman yang membatasi tugas-tugas agama pada tugas-tugas tertentu saja—meski memiliki tanggung jawab lainnya—tidak boleh berpikir bahwa perbuatan itu cukup. Perbuatan ini tidak cukup jika dibandingkan dengan perbuatan orang lain yang berjuang dengan mengorbankan harta milik mereka dan hidup karena Allah. Bukanlah merupakan keikhlasan, memilih perbuatan yang kurang patut dihargai saat orang lain berpikir bahwa ada yang lebih sesuai dengan nilai moral Al-Qur`an. Ini menunjukkan bahwa ia semata-mata hanya peduli pada kenyamanan dan keamanan dirinya saja. Bagaimanapun juga, memilih kesempatan untuk mendapatkan keridhaan Allah atas hal-hal yang ada di dunia ini, merupakan pilihan yang sesuai dengan ajaran Al-Qur`an. Kesulitan tingkat amalan yang berseberangan dengan keinginan seseorang tidaklah penting. Pemahaman yang demikian memberikan keikhlasan kepada seorang mukmin sejati. Demikian pula amalan-amalan saleh, semua itu membawanya menuju keridhaan Allah, kasih sayang, dan balasan-Nya di dalam surga.

Mengharapkan Balasan Hanya dari Allah
Siapa pun yang ingin mendapatkan keikhlasan harus waspada terhadap hal berikut. Ia harus mengharapkan balasan atas amalan duniawinya hanya dari Allah. Perbuatan apa pun yang dilakukan dengan mengharapkan balasan lain selain ridha Allah, kasih sayang dan balasan akhirat-Nya, akan mengurangi keikhlasannya. Perbuatan baik yang dilakukannya hanya untuk mendapatkan keuntungan materi dan sosial daripada balasan dari Allah, hanya akan mendatangkan kerugian, bukan keuntungan. Bahkan, jika seseorang bertahun-tahun mengabdi kepada Allah dengan pola pikir demikian, ia tidak pernah dapat berharap untuk mendapatkan keikhlasan sejati sampai ia berusaha hanya untuk mendapatkan ridha-Nya. Bagaimanapun juga, ibadah apa pun bila dilakukan hanya untuk mencari keridhaan Allah, pasti akan membuahkan balasan surgawi.
Dalam ayat berikut, Allah menyatakan bahwa orang-orang beriman yang melakukan kebaikan akan diberi balasan yang besar.

“Sesungguhnya, Al-Qur`an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (al-Israa` [17]: 9)

Allah mengabarkan kepada kita dalam ayat lain bahwa amal kebaikan akan diganjar berlipat ganda.

“Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia.” (al-Ahzab [33]: 31)

Dalam bukunya, Badiuzzaman Said Nursi menyatakan bahwa manusia bisa berhasil hanya dengan mengingat keridhaan Allah,
“... Dengan kata lain, satu-satunya alat keselamatan dan pembebasan adalah keikhlasan. Ini adalah yang paling penting untuk mendapatkan keikhlasan. Perbuatan kecil yang dilakukan dengan keikhlasan adalah lebih baik daripada perbuatan besar yang dilakukan tanpa keikhlasan. Seseorang harus berpikir bahwa yang membuat ikhlas dalam perbuatannya adalah melakukannya dengan murni dan tulus karena perintah Allah, dan bahwa tujuan mereka adalah keridhaan Allah....”
Badiuzzaman menggarisbawahi fakta bahwa rasa kasih sayang kepada seseorang akan menjadi ikhlas hanya jika kita tidak mengharapkan balasan, tetapi semata-mata karena Allah.
“Keikhlasan ada di mana pun. Bahkan, sebuah catatan cinta menjadi mulia dengan keikhlasan, begitu juga dengan berton-ton cinta yang deminya balasan diharapkan. Seseorang mendeskripsikan cinta yang tulus ini sebagai berikut. ‘Saya tidak menginginkan sogokan, jasa, atau balasan untuk cinta, karena cinta yang meminta balasan adalah lemah dan pendek usianya.”
Siapa pun yang ingin mendapatkan keikhlasan harus memahami kenyataan ini dengan jelas. Jadi, usaha-usahanya akan menjadi amal saleh dan ia kemudian dapat berharap mendapatkan keridhaan Allah, kasih sayang, dan balasan surgawi dari-Nya.
Bagaimanapun, setan terus-menerus berusaha untuk menyesatkan manusia dari jalan yang lurus dan membuat mereka mencari manfaat selain dari Allah. Alasan-alasan seperti, “saya sudah berusaha mendapatkan keridhaan Allah, apa ruginya jika saya mengharapkan keuntungan pribadi juga?”, “Saya akan mendapatkan keridhaan Allah dan kehormatan di masyrakat,” “Saya akan melakukan perbuatan yang baik, tetapi saya harus mendapatkan balasan,” atau “Saya akan berkorban, tetapi saya harap segalanya akan kembali kepada saya,” dan sebagainya. Semua bisikan tersebut berasal dari setan. Setiap pikiran yang memaksa seseorang untuk mencari balasan selain ridha Allah ini mencegahnya melakukan amal-amal saleh dan juga menghalangi keikhlasan.
Said Nursi mengatakan bahwa keikhlasan hanya dapat dicapai jika seseorang merasa senang dan puas terhadap apa yang Allah berikan kepadanya. Poin penting yang ditekankan oleh Badiuzzaman di sini adalah bahwa seseorang seharusnya tidak hanya mengungkapkan kepuasannya dalam kata-kata, tetapi jauh di dalam hatinya juga harus menikmati kepatuhan untuk merasa senang dan bahagia dengan apa yang diberikan Allah untuknya. Hal ini karena ia pada akhirnya bertanggung jawab di hadapan Allah terhadap niat di dalam hatinya.
“Seseorang juga harus mengambil pedoman sifat melebihkan orang lain daripada dirinya sendiri, sifat yang sama dengan para sahabat yang dipuji di dalam Al-Qur`an. Sebagai contoh, saat memberi hadiah atau berinfaq, seseorang harus selalu mendahulukan penerimanya daripada dirinya sendiri dan tanpa meminta atau dalam hati menginginkan balasaan materi apa pun atas perintah agama ini, karena jika tidak, keikhlasan akan sirna. Manusia memiliki banyak hak dan tuntutan, dan bahkan mungkin berhak mendapatkan zakat. Akan tetapi, semua itu tidak dapat diminta. Ketika seseorang menerima sesuatu, tidak bisa dikatakan bahwa ini adalah balasan atas perbuatan yang dilakukan, tetapi ia harus selalu mendahulukan yang lain yang lebih berhak. Jadi, dengan menerapkan arti dari, ‘Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan,’ (al-Hasyr [59]: 9) seseorang dapat terselamatkan dari bahaya yang parah itu dan mendapatkan keikhlasan”.
Dalam karya-karyanya yang lain, Badiuzzaman menekankan pentingnya menerima semua balasan di hari akhir dengan mengatakan,
“Dunia ini diciptakan untuk penghambaan, bukan untuk menerima upah. Pemberian upah, buah, dan cahaya amal saleh ada di hari kemudian. Membawa buah abadi tersebut ke dunia ini dan berharap untuk mendapatkannya di sini berarti membuat hari kemudian bergantung pada kehidupan dunia. Jadi, keikhlasan dari amal saleh tersebut menjadi kerugian dan cahayanya terpadamkan. Buah tersebut tidak diinginkan dan tidak diharapkan. Apa pun yang diberikan, manusia harus bersyukur kepada Allah dengan berpikir bahwa semua itu diberikan sebagai dorongan.”
Sungguh, semua balasan selain ridha Allah yang diharapkan manusia adalah milik dunia ini dan menggambarkan pilihan antara dunia ini dan hari akhir. Orang yang demikian, yang menikmati keuntungan duniawi ini, dapat dicabut kesenangannya di akhirat. Sementara itu, orang yang melakukan amal saleh hanya untuk mendapatkan ridha Allah dan mereka yang menjaga kebersihan niat, akan dianugerahi keberkahan oleh Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Allah memberikan berita gembira bagi orang-orang beriman,

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasa kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl [16]: 97)

Di dalam Al-Qur`an, ada banyak contoh yang menekankan akhlaq mulia para nabi tentang hal ini. Dalam ayat-ayat Al-Qur`an, juga dikatakan bahwa mereka tidak meminta balasan apa pun kecuali ridha Allah atas penghambaan mereka.

“(Hud berkata), ‘Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidaklah kamu memikirkan(nya)?’” (Hud [11]: 51)

“(Nuh berkata), ‘Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya, mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui.’” (Hud [11]: 29)

Badiuzzaman Said Nursi juga mengingatkan bahwa seseorang hanya dapat berharap untuk mendapatkan keikhlasan dengan keinginannya untuk meneladani akhlaq mulia para nabi:
“Banyak orang dapat menjadi kandidat untuk posisi yang sama; banyak tangan dapat mencoret setiap balasan moral dan material yang ditawarkan. Karenanya, konflik dan perseteruan muncul; kerukunan berubah menjadi perselisihan; dan kesepakatan menjadi percekcokan. Kini, obat bagi penyakit yang mengerikan ini adalah keikhlasan. Keikhlasan bisa didapatkan dengan memilih untuk menyembah Allah daripada menyembah jiwa seseorang, dengan sebab keridhaan Allah untuk menaklukkan jiwa dan ego, dan dengan demikian memanifestasikan arti ayat, ‘Upahku hanyalah dari Allah,’ (Hud [11]: 29) dengan melepaskan balasan moral dan material dari manusia, dan memanifestasikan arti dari ayat, ‘Kewajiban rasul tidak lain hanyalah menyampaikan;’ (al-Maa’idah [5]: 99) dan dengan mengetahui hal tersebut sebagai penerimaan yang baik, dan membuat kesan yang menyenangkan, dan mendapatkan perhatian manusia adalah urusan Allah dan pertolongan dari-Nya, dan bahwa mereka tidak berperan dalam membawa risalah yang menjadi tugas setiap orang itu. Mereka juga tidak merasa penting dan tidak juga seseorang dituntut untuk memperolehnya. Dengan memahami semua itu, seseorang akan berhasil dalam mendapatkan keikhlasan. Jika tidak, semua itu akan sirna.”

Membebaskan Diri dari Perkataan Orang Lain
dan Hanya Mencari Ridha Allah
Dalam sebuah karyanya tentang keikhlasan, Badiuzzaman Said Nursi menggarisbawahi pentingnya membersihkan diri dari kebutuhan untuk menerima dari orang lain dan berpaling hanya untuk mendapatkan ridha Allah, “Engkau harus mencari keridhaan Ilahiah dalam setiap tindakan. Jika Allah Yang Mahakuasa merasa ridha, tidak ada pentingnya seluruh dunia ini disenangkan. Jika Allah menerima sebuah perbuatan dan manusia menolak, tak ada pengaruh baginya. Sekali keridhaan Allah diraih dan Dia menerima perbuatan kita—bahkan tanpa kita minta kepada-Nya—Allah dan kebijaksanaan-Nya akan menginginkannya. Allah akan membuat orang lain juga menerimanya. Ia akan membuat mereka ridha terhadap perbuatan tersebut. Karena itulah, tujuan satu-satunya dalam penghambaan ini adalah untuk mencari keridhaan Tuhan.” Contoh ini adalah konsekuensi dalam memahami arti keikhlasan. Ditekankan bahwa sekali Allah ridha, tidak ada sesuatu pun di seluruh dunia ini yang akan berpaling darimu. Selain itu, Allah juga mengendalikan hati-hati mereka. Jika Allah berkenan, Dia akan membuat mereka semua ridha kepadamu.
Di sisi lain, jika Allah tidak memberikan ridha-Nya, tidak penting apakah seluruh isi bumi in memberikan segala milik mereka. Setiap mukmin sejati memahami dengan pasti bahwa jika ia hanya mendapatkan ridha manusia, tiadalah artinya semua itu di hadapan Allah dan ia tidak akan mendapatkan apa-apa untuk bekalnya di hari kemudian kecuali Allah menginginkan sebaliknya. Mereka yang telah meridhai mungkin banyak jumlahnya, kekayaannya, ataupun kekuasaannya. Akan tetapi, semua itu lemah dan hanya didapatkan dengan seizin Allah. Suatu saat, semua itu akan kehilangan kekuatannya setelah membusuk di perut bumi. Karena itulah, dukungan jumlah yang besar tidak akan berarti di hari akhir. Hanya Allah yang abadi dan patut kita mintai keridhaan-Nya. Hanya dengan memahami kebenaran ini, seseorang bisa mendapatkan pemahaman keikhlasan yang abadi. Ia harus menuju keridhaan Allah dengan membebaskan dirinya dari persepsi orang lain. Di dalam Al-Qur`an, Allah menjelaskan hal ini dengan perumpamaan,

“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laku-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. Sesungguhnya, kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (az-Zumar [39]: 29-30)

Di dalam Al-Qur`an, mencari keridhaan selain kepada Allah disebut syirik atau mempersekutukan Allah. Dalam ayat yang disebutkan di atas, Allah membandingkan orang yang mencari ridha manusia dan mempersekutukan Allah sebagai budak yang dimiliki oleh beberapa sekutu dalam perselisihan satu sama lain. Ia pun membandingkan keimanan seseorang yang teguh mengabdi kepada-Nya sebagai budak yang sepenuhnya dikuasai oleh seseorang. Allah mengingatkan kita bahwa semua makhluk selain Allah pasti akan mati pada akhirnya. Jadi, Dia mengajak manusia untuk memikirkan pentingnya mencari hanya keridhaan-Nya.
Karena itu, seseorang harus mengevaluasi dirinya dengan tulus ihklas tanpa membiarkan nafsu rendahnya menipu dirinya. Salah satu kecenderungan yang paling kuat dari nafsu rendahnya adalah keinginan untuk mendapatkan ridha dari orang lain, sebagaimana bertentangan dengan ajaran moral Al-Qur`an. Jika tidak, banyak orang yang melakukan sesuatu bukan karena mereka menyukainya atau karena kebutuhan, melainkan supaya mereka dihargai oleh kelompoknya. Dengan kata lain, mereka berusaha untuk meningkatkan status mereka di masyarakat. Karena itu, tujuan hidup utama mereka adalah ingin mendapat keridhaan orang lain.
Sebagian dari Anda pasti sering mendengar perkataan orang-orang, “Apa kata orang nanti?”, “Bagaimana kita menjelaskannya kepada orang lain nanti?”, “Kita bisa menjadi bahan tertawaan di masyarakat,” atau “Kita tidak akan bisa pergi ke tempat umum lagi karena malu.”
Secara umum, reaksi-reaksi ini terlalu mementingkan apa yang dikatakan dan dipikirkan orang lain. Terkadang orang merasakan kepedihan dalam hati nuraninya, bukan karena mereka melakukan kesalahan, tetapi karena orang lain mengetahui hal itu. Bagaimanapun juga, jika suatu kesalahan dilakukan dan pada kenyataannya Allah mengetahui hal tersebut, barulah menjadi masalah yang besar. Sekali lagi, seseorang harus berpaling hanya kepada Allah untuk bertobat ketika ia tidak merasa bertanggung jawab kepada Allah atas sebuah kesalahan, tetapi merasa malu di depan orang lain. Jelaslah, ia lebih mementingkan ridha manusia daripada ridha Allah. Ketika berada di luar, sebagian orang gagal melaksanakan tugas agama seperti saat berada di rumah. Terlalu berlebihan terhadap anggapan orang lain membuatnya memilih untuk mendapatkan keridhaan orang lain daripada keridhaan Allah.
Tingkah laku mereka berbeda saat mendatangi daerah tepi pantai atau lingkungan tempat tinggal orang yang lebih kaya. Akhlaq mereka juga berbeda saat mereka bersama-sama dengan sesama muslim dan saat mereka mengunjungi kota-kota atau orang-orang lain (nonmuslim). Dari waktu ke waktu, terbawa oleh pola pikir demikian, mereka bahkan menolak untuk memperhatikan ibadahnya kepada Allah. Bagaimanapun juga, seseorang yang ikhlas tidak pernah bersikap demikian. Ke mana pun ia pergi atau siapa pun yang ia lihat, ia tetap berkomitmen dalam pengabdiaannya karena rasa takut kepada Allah. Al-Qur`an menyatakan bahwa tidak ada kondisi atau situasi yang dapat memengaruhi pemikiran para mukmin sejati,

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (an-Nuur [24]: 37)

Jadi, setiap orang beriman yang berharap untuk mendapatkan keikhlasan, harus membebaskan dirinya dengan sempurna dari kekhawatiran terhadap apa yang akan dikatakan orang lain. Kekhawatiran ini mengakar dalam komunitas masyarakat yang bodoh. Jadi, seseorang tidak akan pernah dapat berbuat ikhlas dengan murni selama ia membutuhkan pengakuan dari orang lain.
Seseorang harus selalu ikhlas dalam niatnya dan dengan murni mencari keridhaan Allah untuk mendapatkan keikhlasan. Kenyataan bahwa orang lain memberikan kerelaan padanya, tidaklah bermanfat baginya kecuali Allah merelakannya juga. Adapun orang yang mendapatkan keridhaan, bantuan, cinta, dan pengakuan Allah, ia telah mendapatkan bantuan yang bisa didapatkan oleh semua orang. Jika ia berlaku ikhlas, Allah akan membuatnya mampu menjalani keidupan yang paling baik di dunia dan di akhirat. Allah memberikan fasilitas-fasilitas yang mendukung, yang tidak didapatkan dari manusia, serta menganugerahinya persahabatan yang tidak dapat dibandingkan dengan persahabatan dengan manusia. Dalam salah satu karyanya, Badiuzzaman Said Nursi juga menegaskan,
“... Keridhaan Allah sudahlah cukup. Jika Dia menjadi kekasihmu, semuanya akan menjadi kekasihmu. Jika Dia bukan kekasihmu, pujian dari seluruh bumi tidaklah berarti. Kerelaan dan keridhaan manusia jika dicari melalui perbuatan duniawi lainnya, akan menggagalkan perbuatan tersebut. Jika mereka tergoda, kemurnian itu akan hilang.”
“Hai jiwa yang rendah, jika engkau mendapatkan ridha Tuhanmu dengan kasih dan pengabdianmu, cukuplah hal itu bagimu dan tidak perlu lagi mencari ridha manusia. Jika manusia setuju dan menerima kepentingan Allah, hal itu adalah baik. Jika mereka melakukan sesuatu untuk mendapatkan keberkahan dunia, hal itu sama sekali tak ada nilainya. Karena mereka adalah hamba-hamba yang lemah, sepertimu. Memilih pilihan kedua di atas berarti kemusyrikan. Jika seseorang melakukan suatu pekerjaan untuk sultan, hal itu harus diselesaikan. Jika tidak, akan muncul banyak masalah dan situasi yang sulit. Dalam hal ini, izin sultan adalah kewajiban. Dan izin ini bergantung pada keridhaannya.”

Menguatkan Hati Nurani
Kata hati adalah kekuatan yang dipercayakan oleh Allah kepada manusia untuk menunjukkan jalan yang benar kepada mereka. Kata hati mengingatkan manusia akan setan yang ada di dalam jiwa mereka dan segala macam sikap serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan Al-Qur`an. Kata hati mengilhami seseorang cara untuk menyenangkan Allah dan berbuat sesuai dengan ajaran Al-Qur`an. Apa pun kondisinya, seseorang yang mendengarkan suara hatinya akan dapat mencapai keikhlasan. Keikhlasan berarti kemampuan untuk memakai hati nurani seseorang seefektif mungkin. Ini juga berarti seseorang tidak boleh mengabaikan kata hatinya, bahkan di bawah pertentangan pengaruh luar atau nafsu rendahnya.
Karena alasan inilah, seseorang yang berharap untuk mendapatkan keikhlasan, pertama-tama ia harus menentukan apakah ia memakai hati nuraninya dengan baik atau tidak. Jika ia menekan kata hatinya terus-menerus, tidak mendengarkan suaranya, dan secara sengaja menuruti nafsu rendahnya, ia tidak memakai hati nuraninya sesuai dengan Al-Qur`an. Yang lebih penting lagi, seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur`an, “Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun ia mengemukakan alasan-alasannya,” (al-Qiyaamah [75]: 14-15) setiap manusia secara naluri mengetahui bahwa bisikan yang terdengar di telinganya adalah suara hati nuraninya dan juga alasan-alasan yang ia ajukan untuk mengabaikan suara tersebut.
Hati nurani adalah berkah dan karunia bagi kemanusiaan. Sebagaimana diungkapkan oleh Badiuzzaman Said Nursi, “Bahkan, jika pikiran terlena dan menolak hal itu, hati nurani tidak akan pernah melupakan Penciptanya. Bahkan, jika ia menafikan kesadarannya, hati nurani melihat-Nya, memikirkan-Nya, dan berjalan menuju Dia,” atau “... Sang Pencipta yang memiliki dua jendela dalam setiap hati nurani akan menyebabkan kecerdasan-Nya selalu dimanifestasikan dalam hati manusia.” Hati nurani tidak pernah berada dalam ketidaksadaran, bahkan sewaktu orang tersebut tidak sadar. Hati nurani seseorang selalu tulus dan jujur, dan tidak pernah menuruti setan, bahkan bila orang tersebut mengikuti setan sekalipun. Singkatnya, seseorang secara disengaja ataupun tidak dapat melakukan kesalahan, tetapi hati nuraninya tidak pernah tersesat dari jalan yang lurus dan tidak pernah melakukan kesalahan.
Bagaimanapun juga, kemampuan seseorang untuk mendengarkan hati nuraninya bisa saja berkurang. Jika seseorang tidak memperhatikan suara hati nurani yang mengajaknya kepada jalan yang lurus dan ia terbiasa menekan suara itu, ia akan melemahkan pengaruh kata hatinya dan akan menyebabkan kemampuannya untuk mendengarkan kata hati itu menjadi tumpul. Meskipun kata hatinya memperingatkan akan seseorang dan mengajaknya untuk melakukan kebenaran, ia tidak lagi akan terpengaruh oleh kata hatinya. Orang yang demikian tidak lagi merasakan kepedihan hati nuraninya saat ia menghancurkan hukum-hukum Al-Qur`an. Ia bisa melakukan hal-hal yang bertentangan dengan keridhaan Allah dan mengikuti setan. Ia melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan Al-Qur`an tanpa perhatian sedikit pun. Sebagai contoh, selama masa perang, banyak orang merasakan ketidaknyamanan dan kesulitan yang luar biasa saat mereka melihat perempuan dan anak-anak tak berdaya mati begitu saja. Mereka ingin berbuat sesuatu untuk menolong mereka. Akan tetapi, hari-hari selanjutnya, mereka membaca artikel-artikel yang sama dan melihat pemandangan yang demikian lagi di surah kabar. Hal ini cenderung menumpulkan hati nurani mereka. Sejak dari itu, berita kematian atau kekejaman tidak lagi memengaruhinya. Ia tidak lagi merasa khawatir dan tidak lagi memperhatikan tanggung jawab apa pun. Perubahan ini jelas menandai tumpulnya hati nuraninya. Meski dalam beberapa hal, ia mungkin saja membicarakan keikhlasan yang murni.
Untuk mendapatkan keikhlasan, yang pertama dan paling utama, seseorang harus memastikan bahwa ia peka terhadap hati nuraninya, sebagaimana yang dituntun oleh Al-Qur`an. Ini hanya mungkin dapat dilakukan melalui rasa takut kepada Allah yang terus ditingkatkan. Seseorang harus menyadari sedalam mungkin bahwa Allah mendengar dan melihatnya, di mana pun dan kapan pun. Ia terus menjaga perbuatannya; dan suatu hari, ia akan mengingat-ingat dan memperhitungkan perbuatan itu. Ia harus berusaha untuk memahami dengan jelas bahwa kematian mungkin datang padanya dalam hitungan waktu. Selanjutnya, ia melihat dirinya menghitung amalannya di hadapan Allah. Ia mungkin dihadapkan pada pedihya siksa neraka jika ia gagal meningkatkan tingkat akhlaqnya yang ditunjukkan oleh Allah dan gagal menggunakan hati nuraninya dengan sebaik-baiknya. Jika ia berhasil membuat hal-hal penting yang diperintahkan Al-Qur`an ini merasuk ke dalam hatinya, ketumpulan hati nuraninya akan digantikan dengan kepekaan yang penuh kehati-hatian. Hal ini karena kepekaan bisa saja membuatnya berlaku ikhlas dengan mendengarkan suara hati nuraninya, bagaimanapun kondisinya.

Memahami bahwa Kehidupan Dunia Ini Adalah Sementara
Di seluruh dunia, setiap manusia tanpa terkecuali, membicarakan atau paling tidak memikirkan satu tema pada satu titik dalam kehidupan mereka: berumur panjang dan menghindari kematian sebisa mungkin. Hingga saat ini, para ilmuwan telah melakukan usaha-usaha yang serius selama berabad-abad dan telah berusaha menemukan formula-formula untuk membuat manusia hidup lebih lama. Bagaimanapun juga, hingga saat ini, tak ada kemajuan apa pun yang dicapai. Karena itu, dengan ayat, “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jika kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan,” (al-Anbiyaa` [21]: 34-35) Allah mengatakan kepada kita bahwa setiap manusia diciptakan tidak abadi (akan mati). Sebuah kenyataan yang setiap kita pasti akan hadapi pada waktu yang telah ditentukan.
Tanpa mengabaikan kenyataan bahwa manusia enggan memikirkan atau menerima realitas kematian, kenyataan bahwa manusia akan mati adalah sebuah kebenaran mutlak. Dalam hal apa pun, kehidupan dunia ini sangatlah singkat dan sementara sifatnya. Setiap orang diturunkan ke dunia ini untuk diuji dalam rentang waktu berkisar antara tujuh belas sampai tujuh puluh tahun. Karena itulah, akan menjadi sebuah kesalahan yang besar bagi seseorang untuk mendasarkan rencana hidupnya hanya untuk dunia, untuk menerima persinggahan yang sebentar ini sebagai kehidupan sejatinya, dan untuk melupakan akhirat di mana ia akan hidup selamanya.
Kenyataan ini terlihat begitu jelas dan mudah hingga semua kita bisa memahaminya dengan cepat. Akan tetapi, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat, “Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun,” (al-Mulk [67]: 2) Allah memperindah dunia ini untuk menciptakan kondisi di mana di dalamnya manusia akan diuji. Manusia seharusnya tidak tertipu oleh kenyataan bahwa sebagian orang berlomba-lomba satu sama lain untuk memaksimalkan kesenangan hidup di dunia ini. Hal ini karena--seperti yang ditunjukkan oleh Al-Qur`an--mereka yang hidup dalam kelalaian, tidak dapat menganggap sebuah kelompok kecuali bila mereka memiliki sifat-sifat yang dikehendakinya. Mereka yang berusaha untuk mengumpulkan dan menimbun harta kekayaan, mengorbankan kepercayaan mereka untuk mendapatkan kekuasaan.
Mereka yang memainkan peran sebagai orang yang ingin mendapatkan penghargaan atau penerimaan dari orang lain, sebenarnya mencari cita-cita yang khayali. Menganggap bahwa kehidupan dunia ini adalah nyata dan mengejar keuntungan serta balasan duniawi tanpa harapan, adalah ketidaklogisan, kelucuan, dan kehinaan, seperti menyalahkan adegan dari sebuah sandiwara nyata.
Bagaimanapun juga, haruslah diingat bahwa yang tertipu itu bukan hanya mereka yang mengabdikan dirinya pada kehidupan dunia ini, melainkan juga mereka yang berusaha mendapatkan dunia dan akhirat. Kehidupan dunia ini diciptakan sebagai berkah bagi manusia. Sementara mereka di dunia, manusia harus memakainya sebaik mungkin atas segala pesonanya dan menikmati anugerahnya yang berlimpah. Akan tetapi, kita tidak boleh mengidealkan dan tidak juga mengejar anugerah ini dengan keinginan atau ambisi yang berlebihan. Ia harus menjadikannya alat untuk hidup sesuai dengan agama dalam sikap sebaik mungkin, untuk menghargai Allah, dan bersyukur setelah menyadari bahwa semua itu dilimpahkan Allah kepadanya. Berbuat sesuai dengan alasan-alasan seperti, “Saya dapat membawa hidup saya dalam keridhaan Allah dan menggunakan keuntungan-keuntungan duniawi ini sebaik-baiknya,” akan menjadi pola pikir yang merusak keikhlasan seseorang.
Di dalam ayat berikut, mengacu pada para nabi-Nya, Allah mengingatkan umat manusia bahwa tingkah laku mereka yang hanya mengingat hari akhir saja adalah yang terbaik dalam kebaikan bersama Allah.
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya, Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlaq yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (Shaad [38]: 45-47)

Meskipun demikian, Allah melimpahkan anugerah duniawi yang luar biasa atas mereka yang dengan ikhlas berpaling kepada-Nya dan menginginkan hari akhirat. Jadi, seseorang yang mengambil jarak dengan keikhlasan dengan mengatakan, “Biarkan aku memiliki dunia ini dan akhirat,” pada akhirnya akan kehilangan kedua-duanya. Orang yang selalu hanya mencari akhirat akan mendapatkan keberkahan dunia dan akhirat.
Demikian pula, Badiuzzaman Said Nursi berkata, “Rahasianya adalah keikhlasan. Kesenangan dunia yang sementara ini menjadi tujuan akhir bagi mereka yang tidak berhasil mendapatkan kemurnian spiritual. Jadi, perbuatan yang dilakukan oleh mereka untuk hari akhirat dipengaruhi oleh kesenangan-kesenangan tersebut, dan keikhlasan mereka ternodai. Karena hal-hal yang bersifat duniawiah, kesenangan tidak dapat dicari bersama dengan perbuatan untuk mendapatkan balasan duniawi lainnya. Jika demikian, keikhlasan akan terancam.” Ia menggarisbawahi bahwa tujuan untuk mendapatkan dua keuntungan dunia dan akhirat muncul dari jiwa yang kurang terdidik. Pemikiran demikian mengurangi keikhlasan dan mencegah seseorang dari melakukan amal saleh untuk hari akhirat.
Dalam karyanya yang lain, Said Nursi mencatat bahwa hanya mereka “yang menganggap bahwa dunia adalah rumah persinggahan” yang dapat berharap untuk mendapatkan kehidupan terbaik dan paling berbahagia. Karena itu, pola pikir demikian membawa seseorang pada keridhaan Allah dan untuk berbuat ikhlas.
“Saya melihat bahwa orang yang paling beruntung di dunia ini adalah dia yang melihat dunia ini sebagai rumah persinggahan militer, menyerahkan dirinya, dan bersikap sebaik mungkin. Dengan berpikir demikian, ia dapat meningkat cepat pada tingkatan keridhaan Allah, tingkatan tertinggi. Karena, orang tidak akan memberikan harga intan untuk sesuatu yang senilai dengan kaca yang bisa pecah. Ia akan menjalani hidupnya dengan lurus dan penuh kebahagiaan. Benar, materi yang ada di dunia ini adalah seperti serpihan kaca yang hancur, sedangkan materi yang abadi di akhirat memiliki nilai intan yang sempurna. Keingintahuan yang besar, rasa cinta yang hebat, keserakahan yang parah, keinginan yang keras, dan emosi-emosi lainnya yang kuat dalam naluri manusia diberikan untuk mendapatkan hal-hal yang ada di akhirat. Menjadikan emosi-emosi yang kuat terhadap hal-hal duniawi yang bersifat sementara ini sebagai tujuan, berarti memberikan harga intan yang abadi untuk serpihan kaca yang hancur.”
Dalam istilah ini, Badiuzzaman membandingkan kehidupan dunia ini sebagai sebuah botol yang mudah pecah, sedangkan hari akhirat sebagai intan. Siapa pun yang berbuat tidak ikhlas, dengan larut dalam kehidupan dunia ini, akan kehilangan balasan yang amat menyenangkan, seperti orang yang mengorbankan intan untuk sebuah botol kaca yang tak bernilai. Di sisi lain, orang yang memahami bahwa dunia ini adalah rumah persinggahan, ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama dan akan mendesak dirinya untuk berusaha sekuatnya di dunia ini untuk akhirat.

Memikirkan Kematian dan Hari Pembalasan
Sebagian orang salah menilai arti kematian. Mereka mengira kematian adalah terminal akhir, merupakan akhir dari karunia kehidupan dunia ini, dan membuat mereka mengucapkan kata perpisahan kepada kehidupan. Ia mengira dirinya tidak akan pernah kembali dan sirna ditelan bumi. Pemikiran-pemikiran seperti ini berawal dari kegagalannya memahami keberadaan Allah dengan sebenar-benarnya, seperti alasan penciptaan diri mereka sendiri dan penciptaan kehidupan dunia ini. Mereka tidak menyadari bahwa kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah ujian untuk menentukan tujuan kehidupan sebenarnya setelah mereka mati. Mereka menganggap dunia ini sebagai kenyataan dan hari akhir sebagai khayalan. Karena alasan ini, mereka mengira kematianlah yang mengakhiri kehidupan dunia dan memulai kehidupan dunia yang lain sebagai terminal akhir.
Karena anggapan tersebut, “kematian” atau bahkan “memikirkan kematian” adalah hal yang menakutkan dan mengganggu. Mereka percaya bahwa mereka tidak akan menemukan kesenangan apa pun dalam kehidupan duniawi ini dan semua keceriaan akan hilang jika mereka memikirkan kematian. Maka dari itu, mereka ingin mendapatkan kesenangan yang paling besar atas karunia kehidupan di bumi ini dan mereka ingin lebih menikmati kehidupan ini dengan mengabaikan kematian.
Akan tetapi, apakah seseorang berpikir tentang kematian ataupun tidak, pada akhirnya hasilnya tidak berubah. Sebagaima disebutkan di dalam ayat yang dikutip di bawah ini, setiap manusia pasti akan bertemu dengan kematian,

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya, kematian yang kamu lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’” (al-Jumu’ah [62]: 8)

Karena itulah, cara yang bijaksana adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi hal yang tak dapat dielakkan ini, bukan mengabaikannya dalam keingkaran dan kelalaian. Jika seseorang mengarahkan hidupnya untuk mendapatkan keridhaan Allah, kematian tidak akan merugikan dan mengancam dirinya. Sebaliknya, kematian akan menjadi jalan baginya untuk memulai kehidupan abadi yang lebih mulia. Jika orang ini berpaling kepada Allah dengan hati yang ikhlas, kematian tidak akan menyakitkan, tanpa menghiraukan artinya. Di dalam Al-Qur`an, Allah menujukkan malaikat yang, “... mencabut (nyawa) dengan keras, dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut.” (an-Naazi’aat [79]: 1-2) Karena itulah, jika seseorang beriman dan ikhlas, kematian tidak akan menjadi akhir yang menyakitkan baginya.
Di sisi lain, berpikir tentang kematian adalah cara penting yang memungkinkan seseorang menemukan kesenangan dan kebahagiaan yang besar dari berkah kehidupan ini. Menurut yang disalahartikan oleh orang banyak, kematian itu menghapus kesenangan dunia ini, padahal seseorang dapat menikmati berkah kehidupan dengan baik hanya jika ia memahami bahwa semua itu semata hanyalah sementara. Dalam salah satu haditsnya, Nabi saw. telah menandai pentingnya berpikir tentang kematian,
“Banyaklah mengingat kematian karena ia membersihkan seseorang dari dunia dan membebaskannya dari dosa.”
Selain itu, kematian bukanlah akhir kehidupan, bukan akhir karunia ataupun kesenangan, seperti yang cenderung diyakini orang awam. Sebaliknya, kematian adalah awal dari kehidupan sebenarnya; merupakan transisi menuju dunia yang sebenarnya, di mana manusia akan hidup abadi sesuai dengan pilihan-pilihan yang mereka buat selama mereka hidup di dunia. Jika seseorang menghargai kebesaran Allah dan hidup dengan pengetahuan akan hal ini, ia akan menghabiskan kehidupan abadinya di surga. Bagaimanapun juga, jika ia telah membenamkan dirinya dalam kehidupan dunia ini dan melupakan kematian dan hari pembalasan, tempat tinggal abadinya adalah neraka. Mereka tidak ingin memikirkan kematian sementara di bumi ini, tetapi ia pasti bertemu dengan takdirnya.

Seseorang Dapat Menghadapi Kematian di Mana Pun dan Kapan Pun
Memikirkan kematian dan mendefinisikan kebenaran ini adalah hal penting yang perlu dipertimbangkan jika seseorang ingin selalu berlaku ikhlas dan penuh kesadaran. Seseorang yang ikhlas beriman pada keberadaan Allah dan hari akhir, ia mengetahui dengan jelas bahwa Allah tidak hanya mengendalikan kehidupannya, tetapi juga kematiannya. Tak ada satu pun yang dapat menunda ataupun mempercepat kematiannya. Kematian akan datang saat Allah mengizinkan dan dalam kondisi yang Ia ridhai. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat, “Tiap-tiap umat mempuyai batas waktunya; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sedikit pun dan tidak dapat (pula) memajukannya,” (al-A’raaf [7]: 34) seseorang yang menyadari kebenaran ini, bersikap atas dasar pikiran yang jernih, karena ia tahu bahwa ia dapat berhadapan dengan kematian kapan saja. Sebagaimana telah disebutkan, kematian tentu saja akan datang dengan izin Allah. Kematian tidak bergantung pada umur dan usia seseorang ataupun apakah ia melakukan perbuatan yang berbahaya atau tidak. Dengan izin Allah, kecelakaan yang tiba-tiba, penyakit yang tidak terantisipasi, atau bahkan penyebab yang sangat kecil sekalipun dapat membawa seseorang pada akhir kehidupannya.
Siapa pun yang mampu memahami arti kematian dalam berbagai seginya, ia menyadari bahwa dirinya dapat bertemu dengan kematian di mana pun dan kapan pun. Kehidupannya dapat berakhir dengan tiba-tiba. Karena memahami hal tersebut, ia selalu berbuat ikhlas dan berusaha sebaik mungkin menggunakan kebijaksanaan, hati nurani, dan kemampuannya. Ia bertindak dengan penuh kesadaran bahwa bahkan dalam waktu selanjutnya, ia dapat menemukan dirinya harus menghitung amalannya di hadapan Allah. Jadi, kapan pun, ia bisa saja menempati surga ataupun neraka. Ia menghabiskan hidupnya di dunia ini dengan iman dan keikhlasan, seperti ia pernah melihat surga atau neraka saja. Ia juga memastikan bahwa semua itu adalah nyata dan dekat. Ia melewati setiap waktu dengan rasa takut yang mendalam kepada Allah, seperti pernah bertemu malaikat maut yang datang untuk mengambil nyawanya. Ia merasa buku yang berisi amalannya terbuka dan ia merasa seperti saat menanti keputusan apakah ia akan dikirim ke surga atau ke neraka. Ia menuntun sikapnya dengan selalu mengingat akan dekat dan pedihnya siksaan api neraka. Ia selalu memelihara rasa takut akan jatuh ke dalam derita itu selamanya. Di sisi lain, ia juga berharap terbebas dari neraka dan hidup abadi si surga sebagai hamba yang ditemani oleh Allah. Ia bertindak dengan mengetahui pasti bahwa alasan-alasan yang sia-sia seperti, “saya tidak tahu”, “saya tidak mengerti”, “saya tidak sadar”, “saya lupa”, “saya bingung seperti orang-orang yang tidak sadar”, “saya tidak bertanggung jawab”, “saya mengikuti setan”, atau “saya kira Allah pasti memaafkan saya”, “saya melakukan tugas-tugas agama saya dan saya kira itu cukup”, semua itu sia-sia jika diucapkan di hadapan Allah di hari pembalasan.
Sungguh, kesadaran muncul dalam hati nurani yang kuat, pemahaman yang kokoh, kebijaksanaan yang unggul, dan keikhlasan yang konsisten. Karena seseorang mengetahui bahwa datangnya kematian hanyalah masalah waktu, ia tidak pernah berhenti melakukan perbuatan baik apa pun. Ia tidak pernah menangguhkannya, bermalas-malasan, dan selalu antusias dalam kondisi apa pun. Ia menyadari bahwa kehidupannya tidak cukup panjang untuk melakukan perbuatan yang ia coba realisasikan dalam waktu dekat, beberapa jam atau hari ke depan. Ia menyadari bahwa ia bisa saja menyesal di hari akhir karena perbuatan-perbuatan yang belum terselesaikan dan tertunda itu.
Ia tahu bahwa ia hars berbuat sesuai dengan pemahaman seperti para nabi. Ia berusaha untuk tidak menyesal di hari akhir dan mengatakan, “Saya telah melakukan amal saleh, menolong banyak orang, bersikap dengan akhlaq yang mulia, dan memimpin orang-orang saleh dan orang-orang muslim. Saya harus mengabdikan diri saya lebih kokoh kepada Allah, berusaha lebih gigih untuk mengabarkan manusia akan akhlaq Islam, mengajak manusia untuk melakukan kebaikan dan mencegah mereka dari kesalahan dan dosa, tidak menunda kesiapan untuk hari akhir daripada terbawa oleh kehidupan duniawi, saat saya memiliki kesempatan untuk menjadi salah satu dari mereka yang telah sukses.”
Karena ia bisa saja menghadapi kematian begitu cepat, semakin baik perbuatan yang dilakukannya dengan ikhlas, semakin menguntungkan apa yang ia dapat. Ia menyadari bahwa bersikap ragu-ragu, malas untuk melakukan sesuatu, atau memilih alternatif yang kurang baik akan menyebabkan dirinya sangat menyesal di hari akhir. Kesadaran dan keikhlasannya yang mendalam bersinar dalam kondisi apa pun. Ia mengadopsi sikap yang tulus dalam pendekatannya kepada Allah dan dalam rasa hormat, kasih sayang dan ketulusannya kepada orang-orang muslim, akhlaq yang baik, pengorbanan diri, kerja keras, pengabdian dan do’anya yang ia berikan dengan kekayaan, kata-kata, antusiasme, dan tenaganya.
Seseorang hanya dapat berharap untuk mendapatkan pemahaman keikhlasan yang mulia jika ia hidup dengan terus memikirkan kematian. Dalam risalahnya, Badiuzzaman Said Nursi menekankan perlunya memikirkan kematian.
“Hai sahabatku dalam pelayanan Al-Qu`an! Salah satu cara yang paling efektif untuk mendapatkan dan memelihara keikhlasan adalah memikirkan kematian. Benar, karena ambisi duniawi yang merusak keikhlasan dan membawa seseorang pada kemunafikan dan dunia, maka perenungan akan kematian yang menyebabkan kemuakan pada kemunafikan dan hal itu akan mengantarkan kita pada keikhlasan. Yaitu, untuk memikirkan kematian dan menyadari bahwa dunia ini adalah sementara, dan dengan demikian, kita terselamatkan dari tipuan-tipuan jiwa. Benar, melalui petunjuk ayat Al-Qur`an dan orang-orang yang benar, ‘Setiap jiwa akan mati,’ (Ali Imran [3]: 185) mereka membuat perenungan akan kematian menjadi penting bagi perjalanan spiritual dan menghilangkan ilusi keabadian dan sumber ambisi duniawi. Mereka membayangkan dirinya sebagai orang mati dan ditempatkan di dalam kubur. Melalui pemikiran yang panjang, jiwa yang diperintah oleh kejahatan disedihkan dan dipengaruhi oleh khayalan yang demikian dan sampai pada tingkat memberikan semua ambisi dan harapan jiwanya. Ada sejumlah keuntungan dalam perenungan ini. Hadits, “Sering-seringlah mengingat kematian yang menghilangkan kesenangan dan membuatnya begitu pahit,” mengajarkan perenungan ini.
Bagaimanapun juga, karena jalan kita bukanlah jalan sufi, melainkan jalan realitas, kita tidak mendorong untuk melakukan perenungan dalam khayalan dan hipotesis seperti yang dilakukan kaum sufi. Jalan yang demikian, bagaimanapun, tidak sesuai dengan realitas (kenyataan). Jalan kita bukanlah untuk membawa masa depan ke masa kini dengan memikirkan akhir hidup kita, melainkan memikirkan masa depan dari masa kini dalam penghormatan akan realitas dan menatap masa depan. Benar, dengan tidak membutuhkan khayalan atau gambaran, seseorang dapat melihat jenazahnya, buah pohon kehidupannya yang singkat. Dengan cara seperti ini, seseorang dapat melihat pada kematiannya, dan jika ia lihat lebih jauh, ia akan melihat kematian abad ini, dan jika ia lihat lebih jauh lagi dengan mengamati kematian dunia ini, ia akan membuka jalan menuju keikhlasan yang sempurna.”
Dengan kalimat di atas, Badiuzzaman menyarankan kepada kita untuk mengevaluasi kematian dengan kejernihan dan kematangan pikiran, layaknya kita telah dimasukkan ke dalam kubur, melihat kematian dan penguburan diri sendiri, serta mengamati kematian dunia dari akhirat. Ia juga menekankan kenyataan bahwa memikirkan kematian dapat menjadi cara yang penting untuk memurnikan seseorang dari segala macam kelemahan moral dan bertingkah laku tepat dalam kehidupan dunia ini.



Bab V
Menghindari Sikap–Sikap yang
Mengurangi Keikhlasan


Pada bab sebelumnya, kita telah menggarisbawahi sifat–sifat dari orang-orang yang berharap untuk memperoleh keikhlasan. Sampai poin ini, yang merupakan persoalan penting yang kedua adalah menyucikan diri dari segala sikap yang muncul dari pemikiran “menghalangi keikhlasan” atau “sama sekali mengaburkan makna keikhlasan”. Sebagaimana yang ditegaskan Badiuzzaman Said Nursi, “Saudaraku! Ada banyak rintangan sebelum amalan-amalan saleh dikerjakan. Iblis akan berusaha sekuat tenaga menggoda setiap insan yang melakukan amal kebaikan tersebut. Setiap insan seharusnya menyandarkan diri pada kekuatan ikhlas untuk menghadapi rintangan–rintangan dan godaan setan. Anda harus menjauhkan diri dari perbuatan yang mengurangi nilai keikhlasan, sama halnya seperti Anda menghindari ular dan kalajengking. Sebagaimana perkataan Yusuf as., “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku,” (Yusuf [12]: 53) bisikan jahat dalam jiwa seharusnya tidak dipercaya. Jangan biarkan keegoisan dan nafsu menipumu!” Setan adalah musuh utama kita dalam memperoleh keikhlasan dan mencapai kesucian yang sejati. Iblis hanya ingin menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan dan mengacaubalaukan niat ikhlas dengan cara menumbuhkan dorongan hati yang jahat dari nafsu mereka. Untuk melawan segala daya dan upaya iblis, setiap mukmin sejati seharusnya mencontoh akhlaq Nabi Yusuf sebagai suri teladan. Ia tidak tunduk pada hawa nafsunya dan dengan penuh semangat berusaha menjauhkan diri dari segala rayuan setan. Pada bab–bab berikutnya, kita akan lebih mendalami makna mukmin sejati dengan membahas perilaku-perilaku yang merusak keikhlasan dan cara untuk membersihkan diri dari sifat–sifat tersebut.

Menghilangkan Kejahatan Hawa Nafsu
Sebagai ujian yang meliputi kehidupan--kecuali sebaliknya yang merupakan kehendak Allah--hawa nafsu diciptakan dengan terus-menerus mengajak manusia untuk berbuat kejahatan. Salah satu di antara amalan buruk tersebut adalah beramal dengan niat tidak ikhlas. Untuk mematikan keikhlasan, hawa nafsu cenderung mengarahkan dirinya sendiri melalui cara yang akan menumbuhkan segala macam pikiran buruk. Seperti dinyatakan dalam kutipan ayat di bawah ini, sisi buruk jiwa adalah terdiri atas “dosa yang tak terputus dan kejahatan”.

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.” (asy–Syams [91]: 7–8)

Selain itu, Allah juga mengilhami manusia cara–cara menjauhkan diri dari kejahatan yang tiada hentinya ini serta cara untuk membersihkan serta menyucikan jiwanya.
Ayat berikutnya menerangkan bahwa orang–orang yang mengotori jiwanya akan merugi dan orang–orang yang menyucikan jiwanya akan termasuk di antara orang–orang yang beruntung, sebagaimana firman Allah,

“Sesungguhnya, beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy–Syams [91]: 9-10)

Tentu saja, seseorang yang ingin memperoleh keikhlasan dan menjadi di antara hamba–hamba Allah yang taat, harus membuat semacam pilihan. Allah meminta perhatian atas usaha-usaha suci yang dilakukan oleh orang–orang beriman sebagaimana firman-Nya,

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba–hamba-Nya.” (al-Baqarah [2]: 207)

Namun demikian, yang penting adalah setiap insan harus membimbing dirinya sendiri dengan kejujuran dan keikhlasan, dan seharusnya tidak mengasihani atau tidak menopang sisi jahat dari jiwanya. Jadi, pada hakikatnya, ia harus melatih dirinya sendiri untuk menyucikan jiwanya dari keburukan dan menyatakan ketundukannya. Maka dari itu, ia tidak akan pernah merasa bingung dan mendukung sisi buruk jiwanya. Ia harus tahu bahwa sisi jahat jiwanya tidak pernah benar, bertentangan dengan Al– Qur`an, dan berlaku seperti seruan iblis. Setiap orang hendaknya mengevaluasi dan menilai segala sesuatu yang diterima dengan pemahaman seperti ini.
Sama halnya seperti orang yang merasa tidak kasihan terhadap hawa nafsu orang lain atau merasa diwajibkan untuk mempertahankan atau membuktikan bahwa hawa nafsu tersebut berada dalam posisi yang benar, ia pun akan bertindak demikian dalam menghormati dirinya sendiri. Ia akan memperlakukan sisi jahat jiwanya seperti sesuatu yang asing dan menentangnya. Ia akan mengingatkan jiwanya ketika nafsu tersebut tumbuh menjadi jahat. Ia harus mendengarkan suara dari dalam batinnya, tanpa harus patuh kepada rayuan setan. Hanya dengan cara inilah, ia mampu mendeteksi segala cara yang digunakan hawa nafsunya untuk menipu dirinya sendiri. Ia menilainya berdasarkan kenyataan dan menarik dalil berdasarkan Al–Qur`an. Hanya dengan begitu, ia mampu memperoleh keikhlasan dan menggapai ridha Allah. Allah menerangkan kepada kita tentang kebenaran ini dalam ayat,

“Dan adapun orang–orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (an-Naazi’aat [79]: 40–41)

Lebih Menyukai Jiwa Mukmin Lainnya daripada Jiwanya Sendiri
Salah satu dari sekian sifat yang mengurangi keikhlasan adalah kekikiran dan keegoisan yang ada dalam tiap diri manusia. Allah menerangkan kecenderungan ini dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesulitan, ia akan berkeluh kesah, dan apabila kebaikan datang kepadanya, ia amat kikir.” (al-Ma’aarij [70]: 19–21)

Untuk mendapatkan nilai keikhlasan, seseorang harus mampu melawan segala sisi negatif jiwanya, kemudian menggantikannya dengan pengorbanan dan penafian diri. Untuk mendapatkan keberuntungan, seseorang harus mampu menyucikan dirinya sendiri dari kekikiran jiwanya, sebagaimana Allah jelaskan kepada kita dalam ayat,

“... Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang–orang yang beruntung.” (ath-Thaghaabun [64]: 16)

Ini merupakan langkah mudah bagi seseorang untuk melatih jiwanya, untuk tidak memercayai dirinya sebagai pribadi yang berkecukupan. Selalu merasa curiga pada sisi jahat jiwa manusia adalah bagian terpenting, namun keburukan dari sifat egois dan kikir seharusnya tidak disalahartikan. Di dalam masyarakat awam, di mana masyarakatnya tidak memiliki rasa takut dan tidak yakin kepada Allah serta hari kiamat, ego dan kekikiran adalah sebuah falsafah hidupnya. Orang–orang seperti ini memahaminya sebagai suatu kewaspadaan dalam menempatkan kebutuhan–kebutuhannya di atas kebutuhan orang lain dan hanya membela keinginan dan harapan–harapan diri sendiri serta menganggap ini sebagai sebuah perbuatan yang baik. Karena itu, mereka tidak pernah mempertimbangkan apa yang akan mereka pertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Diterangkan oleh ayat–ayat suci Al–Qur`an bahwa ini adalah suatu kekeliruan, menghubungkan nafsu kikir dan ego hanya kepada orang–orang seperti ini serta membatasi perkara ini kepada orang–orang jahil (bodoh) saja. Mereka mempraktikkan ajaran moral tersebut dalam tingkat yang ekstrem. Akan tetapi, bagi sebagian orang yang tidak biasa berpikir tentang kekikiran dan egois, bisa secara sembunyi ataupun terang–terangan melabuhkan kecenderungan ini dalam diri mereka. Seperti halnya kecenderungan mencegah diri dari amalan yang dilakukan dengan ikhlas dalam setiap situasi, dan berbuat ikhlas. Sesungguhnya, merupakan hal yang sederhana bagi seseorang untuk menyucikan jiwanya dari kejahatan. Untuk mencapai tujuan ini, ia hanya harus mempraktikkan nilai ajaran moral Al-Qur`an sepenuhnya dalam tingkatan yang paling sempurna.
Badiuzzaman Said Nursi meminta kita memperhatikan pemecahan masalah yang diungkapkan ayat Al-Qur`an,
“Mencapai keikhlasan yang serasi dengan ayat, ‘... dan mereka mengutamakan (orang–orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)....” (al-Hasyr [59]: 9)
Dalam ayat-Nya, Allah menegaskan bahwa orang–orang beriman mengutamakan saudara mereka daripada diri mereka sendiri, walaupun mereka sendiri lapar dan menderita, dan mereka selalu berada di dekat saudaranya, melawan diri mereka sendiri, ketika saatnya harus membuat sebuah pilihan. Umat Islam yang menetap di Madinah tidak merasa keberatan menolong saudaranya dari Mekah. Mereka menyediakan perlindungan dan makanan untuk saudara mereka tanpa menghiraukan keterbatasan harta milik mereka. Malah sebaliknya, mereka berbahagia dan senang mampu mengalahkan dorongan sifat egois dan kikir yang muncul dari dalam jiwa. Mereka mengutamakan saudara mereka demi kepentingan Allah. Berdasarkan keadaan itu, secara gamblang, mereka menyadari bahwa perbuatan tersebut adalah yang paling mulia, sungguh-sungguh dan ikhlas, serta sejalan dengan tuntunan Al–Qur`an. Maka dari itu, Allah berkehendak meningkatkan ganjaran dan pahala mereka karena pengorbanan diri yang mereka lakukan kapan pun, baik itu balasan di dunia maupun di akhirat. Allah menyebutkan pahala yang akan diberikan untuk orang–orang yang melaksanakan ajaran moral yang demikian dalam firman-Nya,

“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan (ganjarannya) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (at-Thaghaabun [64]: 17)

Tidak Tertipu oleh Godaan Hawa Nafsu
Jika seseorang memikirkan hal tersebut dengan jujur, sepanjang harinya, ia akan melihat bahwa ia sedang dihadapkan pada dorongan hawa nafsu yang kuat. Dorongan–dorongan hawa nafsu inilah yang mendorongnya untuk tidak mengenyahkan kecondongan pada dunia. Sebagai suatu perumpamaan, Allah telah menyatakan dalam salah satu firman-Nya bahwa menafkahkan harta yang dicintai merupakan amalan yang terbaik. Hanya dengan cara inilah, dapat dilihat apakah seseorang itu benar-benar bisa menjadi bertaqwa,

“Kamu sekali–kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran [3]: 92)

Walaupun dapat mengorbankan segala sesuatu yang ia miliki, seseorang mungkin masih memiliki hasrat yang melekat terhadap harta yang dimiliknya, sehingga masih ada keengganan untuk menafkahkan harta tersebut. Atau, ketika ia membagikan hartanya kepada saudara muslimnya, bisa jadi ia lebih mengutamakan dirinya sendiri daripada saudaranya. Ia menyimpan harta yang paling berharga untuk dirinya sendiri dan memberikan yang tersisa bagi saudaranya. Meskipun demikian, hati kecilnya mengingatkannya bahwa dengan menafkahkan apa–apa yang dicintainya adalah jauh lebih berharga dan lebih baik. Akan tetapi, hasrat seperti ini yang ada dalam dirinya, akan menghambat perilaku yang sesuai dengan kebaikan akhlaqnya dan menghambatnya untuk beramal dengan ikhlas dan tulus.
Meski demikian, kebaikan yang sejati adalah dengan segera menyedekahkan hartanya yang paling berharga ketika ia melihat orang lain lebih membutuhkan. Jika hartanya itu begitu berharga baginya, orang lain pun dapat menikmati dan bersukacita dengan harta tersebut sama seperti dirinya. Karena itu, menyimpan harta yang paling berharga untuk diri sendiri dan memberikan harta yang kurang berharga kepada orang menunjukkan bahwa jiwanya belum benar–benar bersih dari egoisme. Karena itu, Allah telah meminta kita untuk memperhatikan kenyataan bahwa sikap inilah yang lebih dulu harus dibangun sebelum seseorang berharap memperoleh kebaikan.
Jika seseorang mengutamakan kebaikan orang lain melebihi kebaikan yang ia miliki serta selalu tanggap terhadap perbaikan, kesehatan, dan kebahagiaan orang lain, ia dikatakan sudah ikhlas. Misalnya, jika ada sebuah tugas yang sulit dan membutuhkan tenaga untuk menyelesaikannya, ia akan maju ke depan dan dengan sukarela menyelesaikannya. Adapun menghindari sebuah tugas yang sulit dan berharap orang lain yang akan menyelesaikannya adalah buah dari ketidaktulusan hati. Yang selayaknya dilakukan seorang muslim adalah menyelesaikan tugas tersebut diam-diam tanpa seorang pun berterima kasih kepadanya. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ayat, “berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan,” yang sesungguhnya mewakili keikhlasan adalah segera melaksanakan tugas dan menyelesaikannya sebaik mungkin. Perbuatan seperti itu juga menjadi sebuah tanda bahwa orang tersebut mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri. Ia lebih memilih kesulitan daripada kenyamanan dan kemudahan karena berpikir untuk mengorbankan diri, seperti: “biarkan aku yang lelah sebagai pengganti saudara muslimku”, “biarkan aku terbebani dengan kesukaran tugas ini, sementara ia beristirahat”, atau “biarkan diriku, bukan dia, yang menghabiskan waktu melakukan tugas ini”. Dengan cara ini, ia berharap dapat menggapai ridha Allah dengan ikhlas beramal.
Dalam salah satu karyanya, Badiuzzaman Said Nursi menggarisbawahi kebaikan dalam memberikan keistimewaan kepada saudara muslim lainnya sehingga ia tidak melakukan kesalahan dan berubah menjadi manfaat yang tidak merugikan. Hal ini dilakukan agar jiwa kita terbebas dari sifat mementingkan diri sendiri. Ia mengatakan, “Pilihlah saudara–saudaramu yang menjiwai jiwamu dalam kemuliaan, derajat, dan sambutan, pada hal-hal yang jiwamu menikmati manfaat jasmaninya. Bahkan, dalam keuntungan yang paling bersih dan tidak merugikan, seperti memberitahu seorang mukmin yang miskin tentang salah satu yang tidak diketahuinya, kebenaran iman yang baik. Jika memungkinkan, menyemangati salah seorang sahabatmu yang tidak ingin memberitahukan, untuk memberitahukan muslim yang miskin itu apa-apa yang tidak dia ketahui. Dengan demikian, jiwamu tidak menjadi angkuh. Jika kamu memiliki keinginan seperti ‘Biarkan aku mengatakan kepadanya tentang hal yang menyenangkan hatinya saja, dengan begitu aku akan memperoleh hadiah’, sebenarnya hal ini bukanlah sebuah perbuatan dosa dan tak ada yang merugikan di dalamnya, namun maksud dan arti dari keikhlasan dalam dirimu mungkin akan ternoda.” Jadi, Badiuzzaman Said Nursi mengingatkan setiap muslim bahwa mengorbankan hal-hal yang menyenangkan jiwa seseorang, seperti kemuliaan, reputasi, kekuasaan, harta benda, dan kasih sayang, akan menjadi sebuah cara dalam memperoleh keikhlasan. Sebagai contoh, seseorang yang beriman dapat berperan di belakang layar dengan membiarkan salah seorang saudaranya menjadi pusat perhatian jika saudaranya itu dapat memberikan nasihat yang baik atau menyampaikan sesuatu yang penting.
Setiap manusia yang berusaha menjauhkan diri dari hasutan–hasutan jiwanya dan berjuang untuk mendapatkan nilai keikhlasan dan ridha Allah, akan disambut dan menjadi orang yang sukses dalam usahanya. Allah memberikan kabar gembira kepada orang–orang beriman dalam firman-Nya,

“Dan adapun orang–orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, aka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (an–Naazi’aat [79]: 40-41)

Menghalau Kekikiran dan Kecemburuan
Allah memberitahukan kita dalam ayat berikut ini bahwa jiwa manusia dikuasai oleh sifat kikir.

“... manusia itu menurut tabiatnya kikir dan jika kamu menggauli istrimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh) maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (an-Nisaa` [4]: 128)

Jadi, sama halnya dengan sifat jahat lainnya, kita semua menurut tabiatnya selalu bergelut dengan perasaan-perasaan kecemburuan dan kekikiran yang berasal dari dalam diri kita sendiri. Orang akan berjuang menyucikan dirinya dari perasaan tersebut. Namun sebaliknya, ia tidak akan pernah mampu mengamalkan nilai ajaran moral yang ada di dalam Al-Qur`an dengan sepenuhnya dan tidak akan pernah mampu sepenuhnya meraih ridha Allah. Demikian pula halnya pada ayat Al-Qur`an lainnya, yang menyatakan bahwa manusia berselisih antara satu sama lainnya dan tersesat dari jalan yang lurus hanya kerena rasa iri. Mereka merasa bertentangan satu sama lainnya, meskipun mereka telah menerima Kitab yang membimbing mereka ke jalan yang lurus.

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (al-Baqarah [2]: 213)

Perumpamaan yang digambarkan dalam Al–Qur`an ini memiliki pengaruh yang besar dalam membantu manusia untuk memahami betapa besarnya bahaya yang disebabkan oleh iri hati. Walaupun sadar dan melihat dari jalan yang benar, seseorang dapat saja mengambil keputusan yang salah, hanya karena iri hati. Iri hati dan kikir mencegah seseorang untuk berpikir rasional dan mengevaluasi setiap peristiwa dengan benar. Ketika dihadapkan pada situasi tertentu, seseorang yang tengah mengatasi rasa tersebut, mungkin tidak bisa bersikap sesuai dengan nilai-nilai ajaran Al-Qur`an. Ia tidak dapat berbicara tentang apa yang diperkenankan Allah atau berlaku ikhlas dan tulus. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak akan bisa diatur oleh pikiran dan hati nuraninya, tetapi diatur oleh hawa nafsunya, mendengarkan bujukan dan rayuan setan. Hawa nafsu mengarahkan dirinya kepada tingkah laku setan.
Agar tersucikan dari kekotoran ini, seseorang seharusnya lebih dulu dan lebih utama untuk dapat memahami bahwa iri hati dan kikir itu bertentangan dengan agama. Ia harus menyadari bahwa perasaan ini muncul dari nilai–nilai duniawi. Manusia menjadi iri hati atas harta dan kebaikan akhlaq orang lain, yang kemudian menjadikannya bersaing melawannya. Padahal, seorang mukmin sejati adalah mereka yang mampu menahan diri dari keterikatan pada harta benda duniawi yang terlalu berlebihan. Pada intinya, mereka hanya menginginkan akhirat. Seorang mukmin sejati mengetahui pasti bahwa kenikmatan duniawi itu adalah titipan dari Allah dan akan diambil kembali oleh-Nya ketika saatnya tiba. Walaupun ia dapat memperoleh kesenangan tersebut dengan cara yang diridhai Allah, ia tidak bernafsu mencurahkan seluruh tenaga untuk mendapatkannya dan tidak menjadi orang yang terlalu berambisi. Ia bersyukur kepada Allah atas segala yang telah dianugerahkan kepada dirinya dan dia mengetahui cara menjadi bagian dari apa yang telah ia miliki. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut, apabila Allah menganugerahkan lebih banyak berkah-Nya atas orang lain, ia tahu bahwa ini memiliki maksud.

“Kepunyaan-Nyalah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan(nya). Sesungguhnya, Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (asy-Syuura [42]: 12)

Berpikir tentang Akhirat Dapat Melenyapkan Iri Hati Dan Kikir
Setiap orang sedang diuji melalui karunia dari Allah berupa kecukupan dan kebaikan untuknya. Dengan demikian, dapat terlihat perbedaan antara mereka yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh syukur dan kerendahan hati dan mereka yang tidak memiliki rasa terima kasih dengan meninggalkan ajaran moral Al–Qur`an. Karena itu, seseorang tampaknya tidak mungkin menjadi kikir atau iri hati atas keberkahan dunia yang dimiliki orang lain jika ia memahami bahwa kehidupan duniawi hanyalah tempat sementara yang semata-mata diciptakan Allah untuk menguji manusia. Misalnya, iri hati terhadap orang lain hanya karena kekayaan, ketampanan, atau dikaruniai kekuasaan. Sifat ini bertentangan dengan akhlaq yang terkandung dalam Al-Qur`an. Seseorang yang hidup dalam tingkatan akhlaq Al-Qur`an yang tinggi akan mengetahui dengan jelas bahwa Allah akan menganugerahkan keberkahan atas dirinya di akhirat kelak. Jadi, ia hidup dengan ketenangan pikiran dari kesadaran atas kebenaran yang dibawa Al–Qur`an. Akan tetapi, mereka yang gagal memahami takdir, kenyataan alamiah dari kehidupan dunia ini, kenyataan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan memerintahkan mereka agar beriman kepada-Nya, terbawa oleh sifat iri hati dan kikir. Mukmin mana pun yang sadar akan kebenaran itu, menahan dirinya untuk melakukan perbuatan yang salah.
Walaupun ini adalah sifat yang mencerminkan kemuliaan akhlaq Al–Qur`an, orang yang beriman akan berhati-hati dalam menjauhkan diri dari rasa iri hati. Sebagai gantinya, ia ingin bisa mencontoh kebaikan akhlaq dari saudara muslimnya. Harapannya untuk selalu “terpelihara” tidak membawanya kepada kekikiran. Dalam kaitannya dengan ayat Al–Qur`an yang menyatakan “Berlomba–lombalah satu sama lainnya menuju kebaikan”, ia berjuang dengan ikhlas untuk menjadi salah satu di antara hamba–hamba yang dicintai oleh Allah, serta melaksanakan kebaikan yang terkandung dalam Al–Qur`an dengan sikap yang sangat ideal. Sekalipun demikian, perlombaan ini tidak dilandaskan atas perasaan iri hati atau persaingan. Perlombaan ini ditujukan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah daripada mendekatkan diri kepada manusia. Sama halnya seperti seseorang yang juga berdo’a demi mukmin yang lain agar menjadi salah satu di antara hamba–hamba yang paling dicintai oleh Allah, dan ia pun berdo’a untuk dirinya sendiri. Ia tidak hanya berdo’a dengan ikhlas, namun juga berjuang untuk mendapatkan apa yang dimintanya itu.
Orang–orang mukmin sadar akan hal itu, sebagaimana semua makhluk lainnya, mereka lemah. Mereka takut kepada Allah dan mengakui kelemahan–kelemahan diri ketika berhadapan dengan Tuhannya. Pada salah satu ayat Al-Qur`an dijelaskan tentang kebenaran ini,

“Katakanlah, ‘Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (al-A’raaf [7]: 188)

Seseorang yang lebih mengutamakan kepentingan akhirat daripada hal–hal yang bersifat duniawi, tidak pernah mengambil contoh akhlaq yang berdasarkan pendapat orang lain. Ia hanya berusaha mencapai ridha Allah. Jadi, ia tidak pernah mencoba agar menjadi lebih baik daripada orang lain (dalam hal keduniawian), mencari penghargaan atau untuk mengamankan posisi mereka, serta menginginkan pengaruh penting dalam pergaulan. Sebagaimana dipahami dari masalah yang telah disebutkan di atas pada bagian ini, jika seseorang mengetahui kecenderungan dan penurunan yang ada pada dirinya, ia seharusnya sadar bahwa ia sedang melakukan perbuatan moral yang pada akhirnya akan membahayakan keikhlasannya dan mencegahnya untuk mendapatkan ridha Allah.
Dalam karyanya, Badiuzzaman Said Nursi membahas secara mendalam tentang persoalan ini dan lebih menekankan pada beberapa bagian penting, agar dapat memandu orang–orang yang beriman. Dalam komentarnya tentang keikhlasan, ia menggambarkan persaingan yang terjadi di antara orang-orang beriman,
“Dalam masalah yang berkaitan dengan agama dan akhirat, seharusnya tidak ada persaingan, iri hati, atau kecemburuan. Semua itu tidak benar. Alasan untuk merasa iri hati dan cemburu adalah ketika kita mencoba meraih suatu tujuan, ketika beberapa pasang mata terpaku pada satu posisi tertentu, ketika ada perut-perut lapar akan satu kerat roti saja. Pada awalnya, iri hati muncul sebagai akibat dari adanya konflik, perselisihan, dan persaingan yang kemudian berkembang menjadi kecemburuan. Ketika banyak orang memiliki keinginan yang sama di dunia ini, dan karena dunia ini sempit dan merupakan tempat sementara yang tidak dapat memuaskan keinginan manusia yang tak kunjung habis, manusia kemudian menjadi pesaing satu sama lain. Namun sudah jelas, tak ada hal yang dapat menyebabkan terjadinya persaingan di akhirat atau memang tidak ada persaingan di sana. Dalam hal ini, tak ada persaingan untuk mendapatkan pahala di akhirat. Tak ada tempat untuk cemburu. Seseorang yang cemburu salah satunya mungkin adalah orang munafik yang mencari keuntungan dunia dengan bepura-pura melakukan amal saleh atau pura–pura ikhlas, namun sebenarnya ia adalah orang awam yang tidak mengetahui tujuan amal saleh yang ia lakukan. Ia tidak memahami bahwa keikhlasan merupakan semangat dan dasar dari segala amal saleh. Dengan melakukan persaingan dan permusuhan terhadap kesucian Allah, ia sebenarnya ragu akan keluasan kasih sayang Allah.
Wahai orang–orang yang berada di jalan yang lurus! Melaksanakan kebenaran adalah seperti memikul dan memelihara sebuah harta benda yang berat dan besar. Orang–orang yang memikul kepercayaan tersebut pada pundaknya akan merasa bahagia dan bersyukur bilamana tangan–tangan kuat datang menawarkan bantuan. Jauh dari rasa cemburu, seseorang seharusnya dengan bangga menghargai kekuatan, kedayagunaan, dan kemampuan orang yang unggul, yakni mereka yang dengan kasih sayang yang tulus datang untuk menawarkan bantuan. Lalu, mengapa mencari saudara–saudara dan penolong yang mengorbankan dirinya dalam semangat persaingan hingga kita kehilangan keikhlasan.”
Di sini, Badiuzzaman telah memperingatkan orang–orang beriman bahwa rasa cemburu dan persaingan tidak memiliki tempat di surga. Demikian pula halnya dengan perilaku amal saleh yang bertujuan untuk mendapatkan surga, ia tidak akan pernah bisa dinodai oleh rasa cemburu atau persaingan. Orang–orang beriman adalah sahabat, pelindung, dan saudara satu sama lainnya, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Setiap kali ada yang melakukan amal kebaikan dengan tujuan yang sama, saat itu pula yang lainnya mendukung. Dengan demikian, hal ini akan membuat Allah senang. Untuk alasan inilah, apa yang pantas dilakukan oleh orang–orang beriman adalah membantu dan saling membanggakan satu sama lain. Ini lebih baik daripada cemburu akan kemuliaan amal saleh yang dikerjakannya dan kemudian bersaing dengannya. Dalam semua kondisi, inilah bagian terbaik yang mencerminkan nilai keikhlasan. Rasulullah memberitahukan kepada kita akan pentingnya persatuan, kasih sayang satu sama lain, dan persahabatan di antara orang–orang beriman,
“Kamu akan melihat bahwa orang–orang beriman itu seperti bagian tubuh yang berhubungan satu sama lainnya, dalam urusan kebaikan hati, cinta, dan kasih sayang. Ketika satu bagian dari tubuh tersebut ditimpa kesulitan, seluruh bagian tubuh tersebut akan ikut merasakannya; ia akan sulit tidur dan demam di sekujur tubuhya.”
Pada salah satu karyanya yang lain, Badiuzzaman Said Nursi mengingatkan kepada setiap muslim bahwa seorang mukmin sejati harus mampu mengatasi rasa cemburu dan persaingan, dengan cara membanggakan sifat–sifat orang yang lebih unggul daripada dirinya. Ia juga menekankan bahwa setiap orang yang mengamalkan akhlaq tersebut akan mampu merendahkan kepribadiannya untuk kemudian ikut larut dalam kepribadian seluruh umat muslim. Jadi, setiap amal mulia yang dikerjakan akan disifatkan kepada setiap diri mereka.
“Ini merupakan cara untuk membayangkan kebaikan dan jasa saudaramu di dalam dirimu sendiri, dan dengan penuh terima kasih serta bangga akan kemuliaan mereka. Para sufi memiliki istilah yang mereka gunakan di kalangan mereka sendiri, yakni ‘penghapusan shekh, penghapusan Rasulullah’. Saya bukan seorang sufi, namun prinsip-prinsip yang mereka gunakan memberikan kebiasaan baru bagi kita, yakni dalam bentuk ‘penghapusan saudara muslim’. Di antara saudara muslim, hal ini disebut ‘tafani’ atau dengan kata lain disebut ‘penghapusan satu sama lainnya’. Ungkapan tersebut bermakna bahwa untuk melupakan perasaan dari nafsu seseorang adalah hidup dalam pikiran seseorang dengan kebaikan dan jasanya. Pada peristiwa apa pun, dasar yang kita gunakan adalah persaudaraan. Persaudaraan ini bukan berarti persaudaraan antara ayah dan anak atau pemimpin dan pengikutnya, namun persaudaraan ini memiliki arti persaudaraan yang sejati. Yang paling sering adalah campur tangan seorang guru (ustadz). Cara kita adalah persahabatan yang paling erat. Persahabatan ini memaksa kita untuk menjadi sahabat karib, teman yang paling banyak berkorban, saudara yang paling mulia. Intisari dari persahabatan ini adalah keikhlasan yang sejati. Seseorang yang menodai nilai keikhlasan sejati ini akan jatuh dari puncak persahabatan. Ia mungkin akan terjerumus ke dasar ketertekanan batin yang dalam, tidak ada tempat pegangan untuk bersandar.”

Kecemburuan dan Persaingan akan Menghancurkan
Kekuatan Orang Mukmin
Badiuzzaman juga menekankan tentang bahaya yang ditimbulkan dari perselisihpahaman yang berkembang di antara orang-orang beriman. Ia juga mengungkapkan bahwa sama halnya dengan perselisinpahaman dan persaingan yang mengakibatkan kehancuran orang–orang beriman, kesepahaman dan kesatuan akan memberikan mereka kekuatan.
“... Bagi orang-orang yang ingkar dan sesat, agar mereka tidak kehilangan keuntungan yang kepadanya mereka tergila-gila, dan agar tidak menghina para pemimpin dan sahabat yang mereka puja demi keuntungan sendiri--dalam rasa malu, penghinaan, dan kurangnya keberanian--mereka bersekutu denga cara apa pun dengan teman-temannya dalam apa pun yang mungkin diperintahkan oleh keinginan mereka bersama. Sebagai hasil dari kesungguhan ini, mereka benar-benar mendapatkann keuntungan yang diinginkan.”
Sebagaimana dipahami dari ungkapan Said Nursi tersebut, mereka yang ingkar kepada Allah atau pada hari akhirat, dapat melupakan persaingan yang terjadi di antara mereka dan membangun kesatuan satu sama lainnya hanya untuk tujuan mendapatkan kekuatan, kenikmatan, dan manfaat duniawi. Kegandrungan mereka yang tiada tara terhadap kenikmatan-kenikmatan ini dapat melenyapkan kecemburuan dan persaingan di antara mereka, dan mereka dengan segera menjadi sahabat karib. Mereka mengharapkan keuntungan yang dapat diperoleh dari persekutuan mereka tersebut sehingga mereka dapat memperoleh hasilnya.
Walaupun orang–orang yang ingkar kepada Allah dapat membentuk persekutuan yang hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dan penghargaan itu, sangatlah tidak mungkin bagi mukmin sejati yang semata–semata bertujuan menggapai ridha Allah itu, mengalami kegagalan dalam membuang rasa cemburu dan persaingan serta kemudian membangun persekutuan seperti itu. Kegembiraan mereka untuk meraih ridha Allah dapat dengan mudah mengatasi rasa cemburu dan persaingan yang dibisikkan oleh hawa nafsu dalam diri mereka. Masalah yang terpenting adalah mereka memahami bahwa perselisihpahaman tersebut dapat membahayakan diri dan keyakinan mereka. Mereka diingatkan bahwa pertengkaran dan perselisihpahaman menjadi penyebab lemahnya kekuatan yang mereka miliki.
Rasulullah juga telah mengungkapkan bahwa umat Islam seharusnya mampu saling melengkapi kekurangan yang mereka miliki dan menutupi kekeliruan yang pernah mereka lakukan, sebagaimana haditsnya, “Jika seseorang berusaha menutupi aib (dosa) saudaranya di dunia, Allah akan menutupi aib (dosa)nya di akhirat kelak.” Namun jika yang terjadi sebaliknya, kesatuan dan persatuan di antara mereka akan sirna dan kekuatan mereka akan menjadi lemah. Ketika kekuatan umat muslim melemah, kekuatan orang yang kafir kepada Allah akan menjadi kuat. Tak ada seorang muslim pun bersedia bertanggung jawab terhadap hal tersebut, hanya karena ia memenuhi keinginan hawa nafsunya. Sesungguhnya, umat Islam diharapkan mampu mengamalkan kebenaran yang terkandung di dalam Al–Qur`an dengan segala kemampuan terbaik yang mereka miliki. Ia harus menjadi contoh bagi umat muslim lainnya dan mendorong semangat agar mereka hidup sesuai dengan tuntunan Islam. Ini membuktikan bahwa seseorang yang belum berhasil mengatasi kecemburuan dan persaingan yang ada pada dirinya, ia tidak akan mampu memenuhi tanggung jawab ini dengan sebenar-benarnya. Karena itu, ia berbuat sesuatu yang melemahkan kekuatan orang–orang beriman dan menguatkan orang yang ingkar kepada Allah. Sebagai akibatnya, orang seperti ini tidak hanya menjadi contoh buruk bagi teman dan keluarganya, tetapi ia juga memikul kesalahan dan dosa besar. Karena itu, ia seharusnya dengan segera berhenti melakukan kebiasaan seperti itu dan mencontoh akhlaq yang lebih mulia. Hanya dengan begitu, ia mampu mendapatkan keikhlasan dan mencapai tingkatan akhlaq yang diridhai Allah. Sebagaimana yang diungkapkan Badiuzzaman, apa yang pantas bagi seorang muslim adalah “membangun kesatuan yang murni dengan sesama muslim” sesuai dengan ayat yang menyatakan, “Tolong-menolonglah satu sama lainnya dalam kebaikan dan amal saleh,” dan memelihara semangat keikhlasan agar tetap hidup.
“Obat yang dibutuhkan untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh pertengkaran yang terjadi di antara orang yang beriman adalah untuk membuat seseorang patuh terhadap larangan-larangan Allah. Seperti yang terkandung dalam firman-Nya, ‘... dan janganlah kamu berbantah–bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu...,’ (al-Anfaal [8]: 46) dan perintah Allah tentang kehidupan sosial terkandung dalam firman-Nya, ‘... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketaqwaan....” (al–Maa`idah [5]: 2) Seseorang seharusnya menyadari lebih jauh betapa berbahayanya perselisihan di dalam Islam dan alangkah bermanfaatnya perselisihan tersebut bagi orang-orang yang sesat atas orang–orang beriman. Seseorang seharusnya dengan sepenuh hati dan dengan pengorbanan diri bergabung dengan barisan orang–orang beriman, dengan perasaan akan kelemahan dan ketidakmampuan dirinya. Pada akhirnya, seseorang harus melupakan dirinya sendiri, menyingkirkan kemunafikan dan kepura–puraan, serta berpegang teguh pada keikhlasan.”

Menyingkirkan Kesombongan
Pada bab ini, kita akan membicarakan sifat–sifat yang mengurangi keikhlasan seorang mukmin dan melihat kecenderungan yang dimiliki nafsu jiwa, seperti persaingan, ambisi, dan mengutamakan diri sendiri daripada orang lain. Seluruh ciri pada hawa nafsu yang terdapat pada diri seseorang ini didasarkan pada besarnya godaan setan berupa kesombongan.
Kesombongan dapat ditemukan pada diri orang yang meremehkan ibadah kepada Allah, dengan melupakan kelemahan–kelemahannya, memandang rendah orang lain, dan bangga akan dirinya sendiri. Akan tetapi, manusia adalah makhluk yang lemah. Ia bergantung pada kekuasaan Allah untuk dapat hidup dan menyokong kehidupannya. Allah adalah Zat Yang Mahakuasa yang telah menciptakan manusia dari ketiadaan. Zat yang telah meniupkan ruh ke dalam tubuhnya, menaungi, dan memberi rezeki kepadanya, yang menyebabkannya dapat bernafas. Ia adalah Zat yang memberikan berkah yang tak terhitung atas diri manusia. Allah adalah Tuhan semesta alam. Kedengkian atas kemurnian kebenaran ini adalah ketika seseorang berpikir bahwa dirinya adalah orang yang tidak bergantung kepada Allah dan percaya akan kemampuan serta kecakapan yang muncul dari dalam dirinya, namun sesungguhnya ia adalah orang yang menderita karena khayalan dirinya.
Seseorang tidak berhak untuk sombong. Sesungguhnya, Allah dapat menarik kembali seluruh rahmat dan berkah yang dianugerahkan atas dirinya ketika telah datang bukti dan keterangan yang cukup kepadanya. Dari waktu ke waktu, kita telah mengetahui bahaya yang disebabkan sikap sombong atas kecantikan atau ketampanan fisik, pengetahuan, kecerdasan, harta atau status sosial yang dimiliki. Kita juga dapat melihat hal–hal yang terjadi pada manusia ketika mereka kehilangan segala kelebihan yang pernah dimilikinya untuk alasan apa pun. Jika hal ini terjadi dikarenakan tingkah laku yang diperbuatnya, tidak alasan baginya untuk bersedih karena kehilangan kelebihan tersebut. Allah menciptakan kemalangan dan kesulitan dalam hidup di dunia agar membantu manusia memahami kenyataan hidup. Allah menguji umat manusia dengan memberikan banyak kelemahan, seperti ketuaan dan penyakit.
Orang yang menyadari bahwa Allah telah melimpahkan rahmat atas segala yang ia miliki dan juga menyadari bahwa ia tidak memiliki kekuasaan tanpa bantuan serta pertolongan Allah, ia senantiasa berpulang kepada kebijaksanaan Allah dalam penciptaan-Nya, dan dengan segala kerendahan hati, ia mengakui kelemahan yang dimiliki. Menurut Badiuzzaman, langkah terpenting yang harus diambil untuk memperoleh keikhlasan hati adalah dengan menyingkirkan sifat sombong.
“Dengan menjaga kebenaran dari kebohongan, dengan menyingkirkan sifat mementingkan diri sendiri dan pasrah pada kesalahpahaman dari keangkuhan, serta menahan diri dari segala perasaan tidak berarti yang timbul akibat persaingan (jika pemahaman ini melekat pada dirinya), maka keikhlasan akan terpelihara dan manfaatnya akan diwujudkan dengan sempurna.”
Ini merupakan hal terpenting agar kita taat pada ajaran moral tersebut dalam rangka memperoleh keikhlasan. Keangkuhan menyebabkan seseorang bertingkah laku sesuai kehendaknya sendiri daripada bertindak sesuai dengan kehendak Allah. Keangkuhan berarti lebih mencintai dan menganggap dirinya lebih baik daripada orang lain, lebih mendengarkan dirinya daripada mendengarkan nasihat orang lain, dan melindungi apa–apa yang dimilikinya dengan segala daya dan upaya. Karena itu, seseorang yang terhanyut dan lalai dari kesombongannya, nuraninya akan tertutupi dari segala peringatan. Karena ia tidak dapat mendengarkan bisikan suara hatinya, ia tidak akan mampu beramal dengan hati ikhlas.
Dalam kitab suci Al–Qur`an, Allah menegaskan pengaruh dan akibat yang ditimbulkan oleh kesombongan,

“Dan apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertaqwalah kepada Allah,’ bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk–buruknya.” (al-Baqarah [2]: 206)

Apa yang sesungguhnya pantas bagi seorang mukmin adalah membuang kesombongan dan menundukkan hawa nafsunya serta melakukan amalan–amalan yang membuat Allah ridha.

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba–hamba-Nya.” (al-Baqarah [2]: 207)

Dalam surah al-Qashash, Allah menjelaskan kepada kita tentang pertemuan terakhir oleh umat-umat yang bersikap takabur terhadap rasul Allah,

“Qarun berkata, ‘Sesungguhnya, aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.’ Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidak perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (al-Qashash [28]: 78)

Menyadari akan Kerugian yang Ditimbulkan oleh Kesombongan
Kita mungkin dapat melihat lebih jauh tentang kerugian yang disebabkan oleh kesombongan atas keikhlasan seseorang dalam setiap fase kehidupan yang dialaminya. Seseorang yang menyatakan dirinya lebih unggul daripada orang lain, ia akan menolak segala macam kritikan, peringatan, atau nasihat yang datang dari mereka. Meski ada orang lain yang mengingatkan dirinya akan hal yang belum ia pertimbangkan, ia akan sangat terpengaruh oleh perasaan unggul dalam dirinya. Ia akan tetap mempertahankan pendapatnya daripada tunduk pada kebenaran tersebut, walaupun ia tahu bahwa ia berada dalam posisi yang salah. Dengan begitu, ia menjadi tidak ikhlas dan diatur oleh hawa nasunya. Meski demikian, apa yang menjadi contoh keikhlasan adalah menuruti apa yang dikatakan orang lain (bila ia salah, sedangkan orang lain benar, Ed.) serta berserah diri tanpa perlu merasa lebih unggul dari orang lain.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, yang pertama dan terpenting adalah keharusmampuan meninggalkan perasaan egois yang menjadi penyebab timbulnya kesombongan serta menahan diri dari sifat keras kepala dalam diri kita. Hanya dengan demikian, kita diharapkan mampu memenuhi ruh Al–Qur`an dan beramal dengan ikhlas. Badiuzzaman Said Nursi juga mengingatkan mukmin sejati bahwa penangkal yang tepat melawan ambisi untuk merasa lebih unggul dan paling benar dari orang lain adalah dengan melawan kesombongan dan mengakui bahwa mukmin sejati tidak selalu menuruti pikirannya sendiri.
“Satu–satunya obat penyakit ini adalah dengan menyalahkan jiwamu sendiri sebelum orang lain menyalahkannya dan tuntutlah dirimu. Dan dengarkan nasihat sahabatmu, bukan hanya nasihat dari dirimu sendiri. Aturan dari kebenaran dan kewajaran ini dikuatkan oleh sarjana ahli debat, yang berisi, ‘Barangsiapa yang ingin berdebat tentang masalah apa pun, menginginkan kata–benar, siapa saja yang ingin benar dan lawannya salah dan keliru, orang yang demikian telah berlaku tidak adil.’ Tidak hanya itu, orang yang demikian, ketika ia memunculkan kemenangan dalam perdebatan tersebut, ia belum mempelajari segala sesuatu yang sebelumnya tidak ia ketahui dan kemungkinan rasa kebanggaanya akan menyebabkan dirinya kalah. Akan tetapi, apabila lawan bicaranya benar, ia akan belajar sesuatu yang sebelumnya tidak ia ketahui dan dengan demikian ia mndapatkan sesuatu tanpa sedikit pun merasa kalah. Itu sama baiknya seperti terpelihara dari kesombongan. Seseorang yang adil sehubungan dengan kegemarannya pada kebenaran, akan mempersoalkan keinginan jiwanya untuk menuntut sesuatu dari kebenaran tersebut. Jika ia melihat lawannya berada pada posisi yang benar, ia dengan rela akan menerima kekalahannya dan mendukungnya dengan sukacita.”
Keberhasilan seseorang hanya dapat dicapai bila ia mampu melawan kesombongan yang merusak keikhlasan. Allah adalah Zat yang telah menganugerahkan atas diri umat manusia pikiran dan kemampuan. Sebagaimana dinyatakan pada ayat di bawah ini, manusia tidak mengetahui apa–apa kecuali yang telah Allah hidayahkan kepadanya,

“Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang dapat kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya, Engkaulah Yang Maha Mengetahui dan lagi Mahabijaksana.’” (al–Baqarah [2]: 32)

Manusia adalah makhluk lemah yang telah diciptakan Allah dari ketiadaan menjadi ada. Segala kemampuan manusia merupakan hasil pemberian, kemurahan, dan kebaikan Allah. Ketika dibawa ke dalam kebijaksanaan tiada akhir, kekuasaan yang tiada batas, dan pengetahuan yang dimiliki Allah, jelaslah bahwa orang yang beranggapan telah mendapatkan kemampuan tersebut dengan sendirinya, sesungguhnya ia berada pada jurang kesalahan. Ia terbuai oleh kesombongannya kemudian lalai akan kenyataan ini dan berpikir bahwa keberhasilan yang diperolehnya berasal dari prestasi yang dimilikinya. Hal ini lantas membuatnya sombong dan tidak ikhlas. Apa yang pantas bagi seorang mukmin sejati adalah tidak pernah menganggap bahwa keberhasilan yang didapatnya adalah karena kemampuan yang dimilikinya, meski sesungguhnya ia adalah seseorang yang sangat mampu, cerdas, dan merupakan manusia yang paling sempurna yang pernah ada di bumi. Kesombongan tidak akan pernah menguasai dirinya kalau saja ia bersikap santun untuk mengakui kelemahan diri yang menghalanginya dari semua keberkahan tersebut, bahkan kemudian Allah akan melimpahkan kemurahan, bahkan lebih, atas dirinya. Allah akan membawa dirinya menggapai ridha, kasih sayang, serta masuk ke dalam surga-Nya sebagai balasan atas keikhlasan serta ketulusan hatinya. Sekalipun begitu, banyak orang yang lalai dan lupa bahwa kehidupan dunia adalah fana dan hanya merupakan sebuah ujian bagi orang–orang beriman. Mereka akan ingat kepada Allah tatkala ditimpa kemalangan. Akan tetapi, mereka tidak bersyukur ketika keberuntungan serta kenikmatan datang kepadanya. Mereka juga melakukan kesalahan besar, dengan meyakini bahwa keberkahan dan keberuntungan yang diperolehnya itu merupakan hasil jerih payah yang dikerjakannya. Mereka yakin bahwa keberhasilan hanyalah milik mereka semata. Dalam surah az–Zummar, Allah berfirman,

“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata, ‘Sesungguhnya, aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, namun kebanyakan mereka itu tidak mengetahuinya.” (az-Zumar [39]: 49)

Kecenderungan lain yang sering ada di antara orang yang berada di bawah pengaruh kesombongan adalah “ambisi untuk menjadi pemimpin”. Hawa nafsu menggoda manusia agar berambisi meraih cita–citanya tersebut, bahkan sambil menunjukkan amalan–amalan saleh dan berusaha merusak keikhlasannya dengan memberikan alasan–alasan yang dapat diterima oleh akal. Said Nursi menegaskan, “Keikhlasan dan ketaatan pada kebenaran membutuhkan orang yang seharusnya berkeinginan agar setiap muslim dapat memperoleh keuntungan dan manfaat dari siapa pun dan di mana pun mereka bisa. Berpikir, ‘Biarkan mereka mengambil pelajaran dari diriku. Dengan begitu, aku akan mendapatkan pahala,’ merupakan tipu muslihat dari nafsu dan diri sendiri.” Pada berbagai keadaan, sebagian orang melakukan tindakan dengan mangambil keputusan, “Aku akan menjadi orang yang menyelesaikan tugas ini,” tanpa meminta balasan atas hasil atau manfaat yang dapat diraih sebagai konsekuensinya. Watak seperti ini, dikuasai oleh keinginan untuk memimpin dan rasa sombong, dan hal ini sangat merusak keikhlasan.
Sebagaimana diungkapkan Badiuzzaman, “Jika kita mengatakan kepada diri sendiri, ‘Biarkan diriku yang mendapatkan pahala tersebut, biarkan diriku yang memimpin orang–orang ini, biarkan mereka mendengarkan diriku,’ maka pikiran ini menciptakan persaingan terhadap saudara–saudaranya yang ada di hadapannya dan saudaranya yang benar–benar butuh kasih sayang, pertolongan, persaudaraan, dan bantuan. Mengatakan pada diri sendiri, ‘Mengapa murid–muridku datang kepadanya? Mengapa aku tidak memiliki murid sebanyak yang ia miliki?’ ini akan menjatuhkannya menjadi korban keegoisan, kecenderungan penyakit ambisius yang menggebu, ia kehilangan segala keikhlasan, dan terbuka peluang menuju kemunafikan.” Seseorang yang memiliki tabiat buruk akan menganggap saudara muslimnya sebagai saingan bagi dirinya. Rasa tidak rela jika orang lain ditugasi tanggung jawab penting dan berhasil menyelesaikan tugasnya, dapat dipahami sebagai keinginan untuk tidak mengharapkan siapa pun mendapatkan pahala surga atau menerima sebuah tanggung jawab yang membuatnya masuk ke dalam surga.
Sifat yang paling mulia menurut Al–Qur`an adalah yang paling ikhlas, dengan membiarkan orang lain memperoleh jalan masuk ke surga dan menumbuhkan semangat mereka agar memulai tugas–tugas yang membuat Allah senang.
Seorang muslim seharusnya berharap agar orang lain memperoleh pahala–pahala surga dan melakukan tugas–tugas mulia yang membimbing mereka kepada pertolongan di hari kiamat. Seperti halnya ia ingin melakukan amal saleh untuk keuntungan dirinya sendiri. Mengubah perilaku baik seseorang demi kepentingan ambisi duniawi, dengan mengatakan, “Aku adalah orang yang paling mampu menyelesaikan tugas ini”, “Biarkan mereka melihat betapa aku mampu mengurus tugas tersebut dengan baik dan melihat betapa unggulnya kelebihan–kelebihan yang aku miliki”, “Aku akan melakukan pekerjaan ini agar dapat meraih status dan martabat di antara orang–orang beriman”, adalah bertentangan dengan keikhlasan. Yang bahkan seharusnya dilakukan seseorang adalah memberikan yang lebih dia sukai kepada mukmin lain. Ia dapat menunjukkan bahwa ia juga memiliki keunggulan yang membuat dirinya mampu mengamalkan perbuatan baik dan berlaku ikhlas. Agar dapat mengalahkan kesombongan dan ambisinya atas kekuasaan, Badiuzzaman said Nursi memberikan nasihat,
“Obat dan penyembuh bagi penyakit hati yang serius ini adalah dengan membanggakan sahabat atau teman seperjuangan dalam menempuh jalan yang lurus. Ini berkaitan dengan prinsip mencintai karena Allah. Selain itu, dengan mengikuti mereka serta menolak menjadi pemimpin mereka dan menganggap orang yang berada di jalan Allah mungkin lebih baik dari dirinya sendiri. Dengan demikian, sifat egois diharapkan dapat hancur dan keikhlasan diperoleh kembali. Penyakit hati ini juga bisa dihindari dengan mengetahui bahwa sebuah perbuatan kecil yang dilakukan dengan ikhlas lebih disukai daripada perbuatan besar yang dilakuakan tanpa keikhlasan, serta menyukai status sebagai pengikut daripada pemimpin, dengan segala bahaya dan tanggung jawab yang harus dipikul. Jadi, keikhlasan harus dimiliki setiap orang dan merupakan tugasnya dalam rangka mempersiapkan diri untuk hari kiamat yang kedatangannya pasti akan terjadi.”
Dengan ungkapan ini, Said Nursi--sekali lagi--telah menegaskan betapa pentingnya keikhlasan dan ia mengingatkan orang–orang beriman bahwa mereka yang ingin menikmati kehidupan surga di akhirat harus membersihkan dirinya dari sifat mementingkan diri sendiri, seperti egoisme, persaingan, dan ambisi untuk menjadi pemimpin.
Said Nursi juga memberikan catatan tentang pentingnya memberikan sesuatu yang lebih didambakan oleh mukmin lainnya sebagai sebuah bentuk keikhlasan. Memperkenankan saudara mukmin lainnya untuk memimpin dan gembira dengan apa yang dicapainya. Said Nursi juga mengingatkan orang–orang beriman bahwa yang sesungguhnya mencerminkan keikhlasan adalah dengan berkeyakinan bahwa orang lain juga mampu lebih unggul dari dirinya dan mengakui keunggulannya itu.

Menahan Diri dari Kemunafikan
Kemunafikan adalah salah satu kecenderungan yang didorong oleh hawa nafsu. Ia bertentangan dengan ketentuan dan aturan yang terdapat dalam Al–Qur`an. Kemunafikan mengandung arti bahwa maksud sebenarnya yang tersembunyi dalam diri seseorang berbeda dengan sifat lahiriahnya. Dengan kata lain, orang tersebut bermuka dua, tidak berkelakuan sesuai dengan yang ia yakini. Jadi, kemunafikan merupakan sifat buruk yang merusak keikhlasan. Kenyataan yang membuktikan bahwa seseorang yang dapat berlaku tidak ikhlas dan melakukan dua sikap yang berbeda dalam lahir-batinnya, menunjukkan bahwa ia sepenuhnya belum memahami arti keimanan serta tidak menghargai kebesaran kekuasaan dan kebijaksanaan Allah.
Allah Maha Menguasai segala sesuatu, Dia Maha Mengetahui sesuatu yang dirahasiakan, Maha Mengetahui sesuatu yang terlintas dalam pikiran manusia, dan Maha Melihat di mana pun mereka berada. Jika seseorang berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya dan berusaha menunjukkan kebalikannya, berarti ia telah melupakan sifat-sifat Allah. Walaupun ia berhasil menyenangkan orang lain yang berada di sekelilingnya melalui perbuatan dan kata–katanya, Allah Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di lubuk hatinya.
Orang yang takut kepada Allah akan menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan yang membuat Allah murka. Manusia dapat menyanjung orang lain di dunia ini karena kemunafikannya, namun ia tidak akan pernah mendapatkan kesenangan di akhirat. Harus diingat bahwa kenikmatan yang diraih selama hidup di dunia adalah fana jika dibandingkan dengan kenikmatan yang didapatkan di akhirat. Allah mengingatkan kita tentang kebenaran ini sebagaimana firman-Nya dalam surah at-Taubah,

“... Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (at-Taubah [9]: 38)

Seseorang yang memiliki sifat munafik adalah orang yang bermuka dua dan orang yang sombong. Dengan kehendak Allah, mukmin sejati akan mampu mengetahui tabiat seperti itu. Kenyataan menjelaskan bahwa para rasul Allah diberi pengetahuan yang ditanamkan dalam diri mereka oleh Allah. Mereka mampu mengenali dan mengetahui orang–orang munafik yang menyembunyikan apa yang sebenarnya mereka pikirkan dengan bersikap munafik serta menampilkan jati diri yang berbeda dari yang sebenarnya. Orang-orang munafik menunjukkan kemampuan bicaranya dan penampilannya. Meskipun orang–orang seperti ini tidak dapat dikenali oleh mukmin sejati, Allah mengetahui kepura–puraan dan ketidaktulusannya. Dia Maha Mendengar setiap ucapan dan kata–kata, dan Dia Maha Melihat setiap tingkah lakunya. Allah menjelaskan lebih lanjut tentang pengetahuan-Nya ini dalam salah satu firman-Nya,

“Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (ath-Thaghaabun [64]: 4)

Seorang mukmin sejati tidak perlu bersandar pada kemunafikan untuk membuat orang lain mau mengasihi dan menerimanya. Hal ini karena hanya Allahlah yang mampu menanamkan kasih sayang di antara manusia. Tiap-tiap mukmin lazimnya mambantu dan mengasihi mukmin yang berjuang dan berusaha menggapai ridha Allah. Merupakan dasar keyakinan orang–orang beriman untuk mencintai seseorang yang sopan, ikhlas, jujur, dan murni. Memperoleh ridha Allah akhirnya juga akan membawa kita pada keridhaan para mukmin sejati. Perbuatan yang dilakukan semata–mata untuk mendapatkan ridha manusia akan menjadi tidak berguna dalam usaha untuk menggapai ridha Allah.
Karena itulah, seseorang seharusnya tidak mendengarkan hasutan nafsunya. Ia seharusnya menyucikan diri dari segala macam sifat dan pemikiran yang mengarah pada kemunafikan untuk memperoleh keikhlasan.

Meninggalkan Ambisi untuk Memperoleh Kekuasaan dan Jabatan
Penyebab lain yang mencegah manusia dari keinginan menggapai ridha Allah dan berjuang dengan ikhlas demi memperoleh surga adalah kesenangan yang berlebihan akan nilai–nilai kehidupan duniawi, seperti kekuasaan, status sosial dan nama baik. Nilai–nilai duniawi seperti itu sama sekali tidak ada artinya untuk akhirat. Allah memberitahukan bahwa kelebihan manusia ditentukan bukan berdasarkan kekuasaan atau status, melainkan berdasarkan tingkat kebajikannya. Sebagaimana firman-Nya,

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki–laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku–suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat [49]: 13)

Dalam salah satu karyanya, Badiuzzaman Said Nursi menegaskan kenyataan ini,
“(Rintangan kedua yang merusak keikhlasan) adalah menyanjung diri sendiri dan mengutamakan bujukan nafsu setan dengan menarik perhatian diri dan perhatian serta sambutan orang lain, yang digerakkan oleh keinginan akan ketenaran, kemasyhuran, dan pangkat atau jabatan. Ini sungguh–sungguh merupakan penyakit hati yang serius, yang membuka peluang menuju kemunafikan dan mementingkan diri sendiri. Hal ini disebut ‘penyekutuan Allah yang tersembunyi’ dan ini merusak keikhlasan.”
Keyakinan bahwa kekuasaan dan jabatan termasuk sebuah kelebihan, adalah tipuan yang lazim terjadi di kalangan orang–orang awam. Siapa pun mukmin sejati yang memahami makna keimanan, ia tidak akan berada pada kecenderungan godaan–godaan hawa nafsunya. Ia bahkan akan mencari kelebihan melalui keikhlasan. Karena itu, orang yang menyucikan jiwanya dari keinginan–keinginan tersebut akan mendapatkan sesuatu yang jauh melebihi apa yang ada di dunia ini. Ia akan dilimpahi ketenaran dan kehormatan sejati. Umat manusia diingatkan akan kenyataan ini dalam salah satu ayat kitab suci Al–Qur`an,

“Jika kamu menjauhi dosa–dosa besar di antara dosa–dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan–kesalahanmu (dosa–dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (an-Nisaa` [4]: 31)

Agar layak mendapatkan tempat mulia tersebut, kita harus memahami kebenaran di bawah ini,

“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan maka bagi Allahlah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan–perkataan yang baik dan amal saleh dinaikkan-Nya....” (Faathir [35]: 10)

Allah adalah satu-satunya pemilik kemuliaan. Salah satu cara untuk mendapatkan kemuliaan adalah melakukan amalan–amalan saleh dengan ikhlas.
Dalam karyanya, Badiuzzaman Said Nursi memberikan perhatian khusus pada masalah ini. Ia menyoroti betapa fana kekuasaan duniawi, seperti status dan nama baik, jika dibandingkan dengan tempat mulia yang dapat diperoleh di akhirat. Ia mengutip ayat Allah, “Janganlah kamu menukarkan ayat–ayat-Ku dengan harga yang rendah,” dan ia menyatakan,
“Kita sangat perlu belajar dengan sungguh–sungguh tentang keikhlasan dalam diri kita sendiri. Dengan kata lain, apa yang telah kita capai sejauh ini dalam pengorbanan dan pengabdian kita yang suci akan menjadi bagian yang hilang dan tidak akan bertahan selamanya, dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Kita akan membuktikan ancaman keras yang terkandung pada larangan Tuhan, “Janganlah kamu menukarkan ayat–ayat-Ku dengan harga yang rendah,” (al-Baqarah [2]: 41) dan perusakan keikhlasan, yang akan mengancam kebahagiaan abadi demi kepentingan yang tiada arti, tiada penting, berbahaya, menyedihkan, mementingkan diri sendiri, menjemukan, perasaan-perasaan yang berdasar pada kemunafikan, dan keuntungan yang tidak berarti. Dan perbuatan-perbuatan tersebut juga akan melanggar hak–hak saudara kita, mengingkari tugas yang ditugaskan oleh Al–Qur`an, dan menjadi tidak hormat terhadap suci dan benarnya keimanan.”
Keinginan untuk mendapatkan status dan kekuasaan mencegah seseorang untuk tidak ikhlas dalam beramal serta menjadikannya tidak jujur. Sebagian orang yang ingin menggapai ridha Allah dan ganjaran surgawi, mungkin juga ingin mendapatkan kemuliaan dan nama baik di dunia ini. Secara tidak sengaja, hal ini akan menjadi penyebab menurunnya amalan-amalan yang dikerjakannya. Setiap mukmin sejati harus memperhatikan peringatan Al–Qur`an ini dan membersihkan jiwanya dari keinginan–keinginan untuk mendapatkan nama baik dan kemuliaan di dunia. Ia harus berusaha untuk menggapai keagungan dan kemuliaan bersama Allah.
Sebaliknya, seseorang akan dilalaikan oleh “persaingan satu sama lainnya untuk saling mengungguli” hingga akhir hayatnya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat, “Bermegah–megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (at-Takaatsur [102]: 1-2) Ia hanya akan memahami bahwa ajalnya di akhirat adalah hasil dari menghabiskan tahun demi tahun untuk memenuhi hasrat hawa nafsunya yang sia-sia. Segala daya dan upaya yang dilakukannya tidak akan berguna. Lebih baik bagi seorang mukmin untuk menyucikan diri dari keburukan jiwanya semasih ada waktu untuk memperbaikinya di dunia. Ia akan memperoleh keikhlasan, yakni sebuah tingkatan akhlaq yang diridhai Allah.

Tidak Cemas akan Kekayaan dan Hidup Seseorang
Kecenderungan buruk hawa nafsu adalah cinta yang berlebihan terhadap harta benda dan keindahan jasmani. Karena itu, hawa nafsu akan terus-menerus menyemangati seseorang agar lebih berambisi untuk mendapatkan dua hal tersebut. Akan tetapi, harta benda dan keindahan fisik tidak diciptakan untuk dicintai secara berlebihan, tetapi sebagai ujian bagi manusia dalam kehidupan dunia ini. Sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran,
“Kamu sungguh–sungguh akan di uji terhadap hartamu dan dirimu....” (Ali Imran [3]: 186)

Allah menjanjikan balasan surga bagi mereka yang lebih suka mengorbankan hartanya demi menggapai ridha Allah daripada terobsesi mengejar harta dunia. Allah menjelaskan kepada umat manusia bahwa mereka sebaiknya bersikap demikian demi memperoleh kebahagiaan dan keberhasilan di akhirat sebagaimana firman-Nya,

“Sesungguhnya, Allah telah membeli dari orang–orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al–Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah [9]: 111)

Karena itu, mukmin sejati dengan hati–hati akan menahan diri untuk mencintai harta dan diri mereka secara berlebihan. Nafsu akan terus-menerus merayu manusia untuk mendapatkan dua hal tersebut. Akan tetapi, seorang mukmin sejati yang sadar dan yakin kepada janji Allah, tidak akan mengikuti kecondongan hawa nafsunya. Dengan demikian, tidak ada yang dapat diraih melalui harta dan usaha pribadi dalam kehidupan dunia jika dibandingkan dengan keberkahan di akhirat. Karena itu, Allah memerintahkan manusia untuk “bergembira dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu”.
Manusia ditakdirkan untuk menikmati keberkahan di dunia ini hanya dalam waktu singkat. Pada saat kematian, seseorang tidak hanya akan dipaksa meninggalkan jasadnya, tetapi juga harta yang telah dikumpulkannya selama hidup di dunia. Keberkahan yang dilimpahkan Allah di akhirat adalah makna sebenarnya bagi pencapaian kebahagiaan dan keberhasilan. Badiuzzaman mengutarakan keadaan mereka yang sangat terikat pada harta dan kehidupannya, dan kemudian memahami kagagalannya,
“Jadi, dalam tubuh manusia ada banyak emosi. Tiap–tiap bagiannya memiliki dua tingkatan, yang satu merupakan kiasan dan yang lain adalah keadaan sebenarnya. Sebagai contoh, emosi kegelisahan akan masa depan telah ada dalam diri setiap orang. Seseorang yang sangat gelisah akan masa depan, ia melihat bahwa dirinya tidak memiliki apa–apa yang menjaminnya akan meraih masa depan yang ia cemaskan. Juga dalam menghormati pemeliharaan, ada sebuah usaha darinya. Masa depan adalah singkat dan tidak bemanfaat untuk sangat cemas seperti itu. Jadi, ia akan berpaling dari masa depan menuju masa depan di alam baka yang akan berlangsung lama. Bagi yang tidak memperhatikan, ia tidak berusaha ke arah sana.”
Pada karya yang sama, Badiuzzaman Said Nursi mengemukakan kegagalan nafsu manusia akan harta benda dan pribadi mereka sendiri,
“Manusia juga menunjukkan ambisi yang kuat akan harta benda dan jabatan, kemudian ia memahami bahwa kekayaan yang telah diamanahkan untuk sementara waktu di bawah kontrolnya adalah fana dan tidak abadi. Ketenaran serta jabatan yang mencelakakan, membahayakan, dan menjerumuskan manusia ke dalam jurang kemunafikan adalah tidak berguna dalam berambisi seperti itu. Ia kemudian berpaling dari hal–hal yang demikian menuju tingkat dan derajat rohani dalam pendekatan diri kepada Allah, yang mengangkatnya ke tingkatan/derajat yang sejati dan pembekalan diri menuju hari kiamat, dan amalan–amalan saleh yang merupakan harta yang sebenarnya. Ambisi metaforis yang merupakan hal buruk diubah menjadi ambisi sejati, sebuah sifat yang ditinggikan.”
Jika seseorang cemas akan harta benda dan kehidupannya, tidak mungkin baginya mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang tulus, menundukkan dirinya di hadapan Allah. Nafsu–nafsu yang tersembunyi dalam jiwanya akan mengarahkannya secara sembunyi-sembunyi dan menyebabkannya bertindak demi kepentingan dirinya sendiri daripada berusaha menggapai ridha Allah. Sebagai perumpamaan, ketika ia menemukan seseorang yang membutuhkan, ia lebih suka menyimpan kenikmatannya sendiri daripada menyedekahkan dan membantu orang yang lebih membutuhkan. Namun sebagaimana yang Allah jelaskan pada ayat di bawah ini, yang lebih mewakili keikhlasan adalah rela memberikan atau menyedekahkan hartanya kepada orang lain, sekalipun dengan ini berarti ia tidak akan memiliki apa–apa,

“Dan orang–orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr [59]: 9)

Begitu pula keinginan pribadinya yang akan memalingkan perhatiannya demi menggapai ridha Allah. Allah menjelaskan kepada kita dalam kitab suci Al–Qur`an bahwa pilihan seperti itu hanya akan mendatangkan aib,

“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara– saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di Jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (at-Taubah [9]: 24)

Sebagaimana telah diuraikan oleh Allah, kekayaan seseorang tidak akan berguna di akhirat,

“Dan Hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (al-Lail [92]: 11)

Hanyalah mereka yang ikhlas yang akan diganjar dengan keberkahan yang tiada akhir dan kekal,

“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.” (al-Lail [92]: 17-21)

Al–Qur`an menceritakan berbagai contoh keadaan orang–orang yang sangat cemas akan kehidupan dan harta mereka. Dengan demikian, mereka kehilangan keikhlasannya dan tidak sanggup meraih ridha Allah. Ketika Rasulullah saw. mengajak orang-orang untuk berjihad dengan diri mereka demi kepentingan Allah, beberapa di antaranya mengatakan, “Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersama–samamu,” (at-Taubah [9]: 42) sedangkan yang lainnya berkata, “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” (at-Taubah [9]: 81) Karena itu, mereka melebihkan diri mereka sendiri dengan menguraikan alasan–alasan selanjutnya. Sambil mencari-cari alasan, sebagian mereka pergi keluar dengan melafalkan sumpah atas nama Allah untuk menunjukkan bahwa mereka mengatakan yang sesungguhnya. Akan tetapi, Allah menegaskan bahwa Dia mengetahui kebohongan yang mereka lakukan. Mereka telah memberikan jiwa mereka kepada hukuman atas ketidakikhlasannya. Sikap yang dimiliki para mukmin sejati--sebagaimana dilukiskan pada ayat yang dikutip di bawah ini--adalah bahwa yang mewakili keikhlasan sesungguhnya adalah,

“Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itulah (pula) orang-orang yang beruntung.” (at-Taubah [9]: 88)

Orang-orang beriman akan berjihad dengan harta dan dirinya demi mendapatkan ridha Allah. Pada salah satu ayat-Nya, Allah mengabarkan berita gembira bagi orang-orang beriman bahwa mereka yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka dan mereka yang mengakui adanya kepentingan besar demi ridha Allah, akan mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Tuhannya. Sebagaimana dinyatakan dalam surah an-Nisaa`,
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak memiliki uzur dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka, Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala besar.” (an-Nisaa` [4]: 95)

Kekuatan Orang Beriman Berasal dari Keikhlasan yang Mereka Miliki
Secara umum, persekutuan orang-orang yang kafir kepada Allah dan hari akhirat dilandaskan pada sebuah kepentingan, yakni keterikatan mereka pada harta benda dan pengharapan atas balasan di dunia. Melalui persekutuan tersebut, mereka menghasilkan sebuah kesepakatan demi terpenuhinya kepentingan bersama. Tiap-tiap kelompok saling mendukung satu sama lain. Dengan demikian, mereka berharap dapat memperoleh keuntungan satu dengan yang lainnya. Tanpa perlu disebutkan, mereka yang membentuk persatuan seperti itu mengetahui bahwa persekutuan mereka tidak dilandaskan pada adanya rasa saling memercayai satu sama lainnya dan tidak didasarkan pada persahabatan, dan mereka pun mengetahui bahwa keikutsertaannya pada kelompok tersebut bersyarat. Ketika salah satu kelompok tidak lagi memberikan keuntungan bagi yang lainnya, persekutuan itu dihentikan. Kelompok yang menentang akan bersikap acuh tak acuh terhadap kebutuhan kelompok lawannya yang berada dalam kesulitan. Karena persekutuan seperti ini hanya meningkat kekuatannya melalui meningkatnya jumlah dan perolehan keuntungan duniawi belaka, persekutuan seperti ini akan dapat terpecah-belah dan hancur sesegera mungkin setelah perolehan keuntungan duniawi tersebut sirna. Sebagaimana Allah jelaskan kepada umat manusia di dalam Al-Qur`an, nurani orang–orang yang kafir kepada Allah tidak condong kepada yang lainnya, meskipun dari luar mereka terlihatan sebagai satu kesatuan,

“... Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti.” (al-Hasyr [59]: 14)

Untuk alasan inilah, persatuan yang dibentuk di antara orang yang kafir terhadap Allah di dunia ini selalu rawan akan perpecahan. Hanya ada satu hal yang mampu menjamin terjalinnya kesatuan sejati, yakni persahabatan dan persatuan di antara orang–orang yang memiliki keyakinan. Ketika orang-orang yang memiliki keimanan, yang takut akan hari pembalasan, bersatu di dunia ini, mereka meletakkan dasar–dasar persatuan dakwah yang akan kekal di akhirat dan saling mangasihi serta saling menolong satu sama lainnya semata–semata hanya karena Allah. Mereka bersatu dengan niat ikhlas tanpa mengharapkan keuntungan apa pun. Persatuan ini bermula dari adanya rasanya cinta dan takut kepada Allah yang merupakan satu–satunya sumber terbentuknya persatuan tersebut. Karena itu, tidaklah mungkin persatuan tersebut dapat dimusnahkan kecuali jika Allah berkehendak demikian. Orang-orang beriman membentuk sebuah kekuatan yang menyerupai “dinding yang kokoh” yang tidak dapat ditembus. Sebagaimana kutipan ayat surah ash-Shaff di bawah ini,

“Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (ash-Shaff [61]: 4)

Mereka yang memiliki keimanan, yang ikhlas, diberikan kebulatan tekad serta semangat untuk menang walaupun musuh berjumlah miliaran. Hal ini dinyatakan dalam salah satu ayat-Nya,

“... Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.’” (al-Baqarah [2]: 249)

Mereka mendapatkan bantuan Allah dengan selalu bersikap ikhlas. Karena Allah adalah Yang Mahaperkasa (Al-Aziz), mereka pada akhirnya berhasil menang. Mereka sadar dan paham akan rahasia yang dijelaskan dalam ayat-ayat Allah, sebagaimana firman-Nya, “... padahal kamulah orang–orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang–orang yang beriman.” (Ali Imran [3]: 139) Hasilnya, mereka menjadi orang-orang yang luar biasa ulet dan kuat, yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan perselisihan, pertentangan, dan kecurigaan yang diciptakan oleh pihak asing.
Setiap mereka yang membentuk kesatuan karena ketakutannya kepada Allah dan penyerahan dirinya yang tanpa syarat kepada ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Qur`an--sebagaimana mereka berjuang semata-mata demi meraih ridha Allah dan tidak takut kepada siapa pun kecuali Allah--tiap– tiap mereka adalah tentara Allah.

Keikhlasan Mereka adalah Penyebab
Timbulnya Solidaritas yang Mereka Miliki
Sebagaimana mereka mencari ridha Allah dengan keikhlasan yang terpatri di dalam jiwa, mereka tidak pernah dihadapkan pada kekacauan, perselisihan, atau pertengkaran yang terjadi di antara mereka. Karena firman Allah adalah satu dan ayat–ayat yang terkandung dalam Al-Qur`an adalah suci, di mana seluruh mukmin yang taat dengan tanpa syarat kepada Al-Qur`an dan beramal hanya demi menggapai ridha Allah akan memberikan keharmonisan dan rasa tenteram. Sebagaimana semua orang beriman patuh kepada Allah dan Al-Qur`an dengan ikhlas, segala urusannya akan dimudahkan tanpa adanya perpecahan. Ketika persoalan–persoalan bermunculan karena kepentingan dirinya, tiap–tiap dari mereka senang akan kebaikan orang lain dan selalu mengutamakan kepentingan agama. Mereka mendambakan kebaikan yang dimiliki saudaranya, agar dapat menjadikannya contoh bagi dirinya, karena rasa solidaritas yang tinggi, kesatuan, dan adanya saling membantu yang terbentuk di antara mereka. Tidaklah selalu dibutuhkan, orang mukmin dikumpulkan bersama dalam rangka membentuk kesatuan tersebut. Yang menjadi hal penting bagi mukmin sejati adalah membentuk solidaritas dakwah dan moral yang kuat, walaupun masing-masing mereka terpisah jarak satu sama lainnya, berbeda bahasa, dan berbeda di negara mana mereka tinggal.
Sebagaimana orang–orang yang bertujuan menjalin persahabatan yang kekal di akhirat, mereka menyayangi satu sama lainnya dengan cinta, penghormatan, dan kesetiaan yang mendalam. Karena itu, mereka tidak pernah menginginkan adanya persaingan, perselisihan, dan pertengkaran yang terjadi di antara mereka. Meskipun mereka dihadapkan pada permasalahan dan penderitaan, mereka tidak terhanyut oleh kecurigaan, kelemahan, dan hilangnya kebulatan tekad, dikarenakan ketakutannya kepada Allah dan keikhlasannya. Bilamana salah seorang di antara mereka melakukan kekeliruan, yang lainnya--dengan keyakinan dan keikhlasannya--membimbing saudaranya itu ke jalan yang benar. Sebagaimana halnya mereka yang dengan terus-menerus mengumpulkan kebaikan dan mengahalau keburukan, keyakinannya akan bertambah kuat. Dengan demikian, keikhlasan dan kekuatan mereka akan terus meningkat. Badiuzzaman Said Nursi merujuk kepada kekuatan luar biasa dari keikhlasan orang mukmin yang berbagi tujuan, usaha, dan pengorbanan yang sama, dengan memberikan perumpamaan,
“Sama halnya dengan tangan seorang manusia yang tidak dapat melebihi anggota tubuh yang lain, bisakah salah satu matanya mengecam yang lain, ataupun bisakah lidahnya menyatakan keberatan atas pendengarannya, ataupun bisakah hatinya melihat kesalahan jiwanya? Tiap-tiap pancaindranya memperbaiki kekurangan yang lain, menyelubungi kesalahan mereka, memenuhi kebutuhan mereka, dan mengulurkan tangan menyelesaikan tugas mereka. Sebaliknya, kehidupan manusia akan terpadamkan, semangatnya akan hilang lenyap, dan tubuhnya dihamburkan. Sama halnya seperti onderdil mesin yang berada di sebuah pabrik tidak dapat berlomba antara satu dan yang lainnya dalam sebuah persaingan. Lebih didahulukan daripada yang lain atau mendominasi satu dengan yang lainnya. Mereka tidak dapat mengawasi kesalahan yang lain lalu mengecamnya, membinasakan keinginan yang lain untuk bekerja lantas menyebabkannya jadi tidak berjalan. Mereka lebih baik menolong pergerakan antara satu dan yang lainnya dengan segala dayanya dalam rangka meraih tujuan yang sama. Mereka bergerak ke arah tujuan penciptaannya dalam solidaritas dan kesatuan sejati. Bahkan serangan yang paling meremehkan atau hasrat untuk campur tangan, akan menjadikan pabrik tersebut berada dalam kekacauan, membuatknya tidak memiliki hasil dan produksi apa pun. Dengan demikian, sang pemilik pabrik merobohkannya secara keseluruhan pabrik tersebut. Jadi, wahai siswa Risalah an-Nur dan hamba Al-Qur`an, kau dan aku adalah anggota kumpulan kepribadian seperti itu. Orang yang berjasa walaupun sedikit adalah orang yang sempurna. Kita bisa dikatakan adalah seperti bagian–bagian dari mesin tersebut yang menghasilkan kebahagiaan abadi di dalam kehidupan abadi. Kita adalah tangan yang bekerja pada kapal yang akan mendaratkan umat Rasulullah di alam yang damai, di pantai keselamatan.”
Perumpamaan yang diberikan Badiuzzaman ini adalah penting dalam menolong manusia memahami makna solidaritas dan persatuan, yang dibutuhkan di antara mukmin sejati. Sebagaimana mereka disucikan dari segala jenis perasaan yang kemungkinan merusak keikhlasannya, mereka meraih sebuah kekuatan moral yang tak terkalahkan, menyerupai roda–roda pabrik yang berkumpul menjadi satu untuk membentuk kekuatan yang sungguh besar.
Pada karyanya yang lain, Said Nursi menceritakan bagaimana mukmin sejati mendapatkan kekuatan yang lebih besar. Mereka sadar dan paham akan rahasia keikhlasan. Ia menjelaskan perumpamaannya sebagai berikut.
“Jadi, kita sangat membutuhkan solidaritas dan kesatuan sejati, yang diperoleh melalui keikhlasan-karena rahasia keikhlasan akan menyelamatkan 1.111 orang melalui empat orang saja. Sungguh, kita berusaha mencapainya.
Benar. Jika 3 alif tidak bersatu, nilainya hanya 3, sedangkan jika mereka bersatu, melalui rahasia jumlah, 3 alif itu akan bernilai 1.111. Jika 4 kali 4 tetap terpisah, nilainya 16, tetapi melalui rahasia persaudaraan, kesamaan tujuan, dan tugas bersama, kesatuan mereka akan muncul bahu-membahu. Mereka memiliki kekuatan dan bernilai 4.444. Seperti halnya sejumlah peristiwa sejarah yang membuktikan bahwa kekuatan moral dan nilai 16 saudara yang mengorbankan dirinya lebih besar dari 4.000.
Alasan misteri ini adalah bahwa setiap anggota kesatuan sejati yang ikhlas dapat juga melihat dengan mata saudaranya dan mendengar dengan telinganya. Sebagaimana jika setiap orang dari 10 kesatuan sejati memiliki nilai dan kemampuan melihat dengan 20 mata, berpikir dengan 10 pikiran, mendengar dengan 20 telinga, dan bekerja dengan 20 tangan.”

Apa yang Dihasilkan dari Keikhlasan
Keikhlasan adalah kekuatan besar yang dilimpahkan kepada mukmin sejati untuk memungkinkan mereka menghasilkan keberkahan abadi, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana dikatakan Badiuzzaman, “Merupakan prinsip yang terpenting dalam amalan-amalan yang berkenaan dengan keterangan-keterangan Akhirat. Ini adalah kekuatan terbesar dan terkuat dari dukungan dan kemampuan yang tertinggi serta ibadah yang tersuci,” tidak ada keraguan lagi bahwa keberkahan terbesar yang dilimpahkan kepada manusia, baik di dunia maupun di hari kemudian, adalah meraih ridha Allah.
Rahasia untuk mencapai ridha Allah dan penerimaan yang baik, ada dalam keikhlasan. Allah memberikan kabar gembira bagi mereka yang takut kepada Allah bahwasanya balasan termulia di akhirat adalah keridhaan Allah, sebagaimana firman-Nya,

“Katakanlah, ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?’ Untuk orang–orang yang bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah; dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (Ali Imran [3]: 15)

Ini merupakan tujuan akhir dari usaha mukmin sejati selama hidup di dunia. Dalam banyak ayat-Nya, Allah memberi kegembiraan bagi mukmin yang ikhlas, yang beriman kepada Allah dan hari pembalasan, dan yang melakukan amalan saleh untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mendapatkan syafa’at dari rasulullah saw., mereka itulah orang-orang yang akhirnya akan memperoleh ridha Allah dan mendapatkan kenikmatan serta kebahagiaan di surga, sebagaimana firman-Nya,

“Di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh do'a Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak, Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat (surga)Nya; sesungguhnya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah [9]: 99-100)

“Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertaqwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat.” (Qaaf [50]: 31-33)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (an-Nisaa` [4]: 124 )

Keindahan Hidup di Dunia
Sebagai tambahan bagi keberkahan hidup yang abadi, Allah menganugerahi mukmin yang ikhlas dengan pahala yang besar di dunia. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat Al-Qur`an berikut ini, Allah membimbing orang–orang yang bertobat kepada-Nya menuju jalan yang lurus.

“... Sesungguhnya, Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertobat kepada-Nya.” (ar-Ra’d [13]: 27)

Dalam surah lain, Alah berfirman bahwa Dia akan membantu dan menolong mukmin yang ikhlas,

“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (al-Maa`idah [5]: 16)

Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur`an, Allah juga melimpahkan rahmat yang tak terhitung kepada mukmin yang ikhlas selama hidupnya di dunia. Ia memelihara mereka dari kesengsaraan, kesulitan, dan kegagalan hidup dari orang-orang yang kafir kepada Allah. Ia membolehkan mereka untuk menempuh hidup yang mulia,

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl [16]: 97)

Seseorang yang bertobat kepada Allah dengan seluruh kerendahan hati, ia akan dijauhkan dari segala permasalahan dan kesulitan hidup di dunia. Ia dapat menempuh hidupnya dengan penuh kedamaian dan dengan penuh kepercayaan karena ia takut kepada Allah. Selama ia tidak takut pada kecaman orang lain, ia tidak perlu khawatir terhadap urusan dunia. Selama ia hanya ingin memperoleh ridha Allah, tak seorang pun dapat mengecewakan atau menyengsarakannya. Karena ia ingin mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan di akhirat, ia tidak terobsesi pada harta benda dan kekayaan dunia meski kerugian atau keuntungan akan harta membuatnya khawatir, tetapi ia selalu tunduk, percaya, yakin, murah hati, kasih sayang, sabar dan penuh kesederhanaan.
Dalam amalan yang dilakukan dengan ikhlas, hanya keridhaan Allahlah yang menjadi tujuan utama, bukan untuk mendapatkan ridha orang lain atau penghargaan dunia, atau untuk memenuhi hasrat dan ambisi yang harus dikesampingkan. Dengan demikian, hasil yang didapatkan diharapkan akan selalu membawanya kepada keberhasilan. Allah menegaskan kepada orang-orang beriman bahwa siapa saja yang tidak menyekutukan Allah, yang bertobat kepadanya dengan tulus, yang menyucikan diri dari keinginannya untuk mendapatkan ridha manusia dan penghargaan duniawi, maka ia termasuk golongan hamba–hamba-Nya yang beruntung. Sebagaimana firman Allah yang berhubungan dengan hal tersebut,

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (an-Nuur [24]: 55)


Bab VI
Kesimpulan


Allah telah menjadikan Nabi Ibrahim a.s., Ishaq a.s., dan Ya’qub a.s. sebagai suri teladan bagi mukmin sejati, sebagaimana firman-Nya,

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya, Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlaq yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (Shaad [38]: 45-46)

Allah juga menegaskan bahwa Nabi Musa a.s. telah mencapai tingkat kesucian yang tinggi, sebagaimana dinyatakan dalam surah Maryam,

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al-Kitab (Al-Qur`an) ini. Sesungguhnya, ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi.” (Maryam [19]: 51)

Kita harus merenungkan dengan dalam ketinggian akhlaq nabi-nabi Allah dan berjuang seperti mereka agar menjadi hamba-hamba-Nya yang suci.
Al-Qur`an memberitahukan bahwa mereka yang buta dan tuli tidak akan mendapatkan keuntungan dari peringatan dan ayat–ayat Allah. Sebaliknya, mukmin sejati adalah, “Orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang–orang yang buta dan tuli.” (al-Furqaan [25]: 73) Mereka yang takut kepada Allah dan berlindung dari godaan setan, mampu merasakan kebijaksanaan ayat–ayat suci Al-Qur`an. Mereka menarik pelajaran dari ayat–ayat Allah tersebut. Dengan demikian, mereka dapat memperoleh keikhlasan. Karena itu, orang–orang beriman tidak akan pernah bisa mengabaikan peringatan Allah. Meskipun jika kemudian seseorang gagal memahami makna pentingnya keikhlasan, hanya dengan sesaat ia menghabiskan waktu untuk melihat niatnya, cukuplah itu untuk menyucikan dirinya. Dengan izin Allah, perbaikan tersebut akan mengubah amalan-amalan sebelumnya menjadi suatu amalan saleh dan dirinya dianugerahi kemulian sebagai “makhluk yang terbaik” dalam pandangan Allah.
Namun sebaliknya, jika seseorang menodai amalan-amalan yang telah dikerjakannya karena ridha Allah, dengan membiarkan ambisi duniawi mengacaukan dan merusak dirinya, dan dia tidak mengarahkan dirinya kepada keikhlasan, ia akan berperilaku tidak bermoral. Manusia seperti ini mungkin akan berusaha sepanjang siang dan malam untuk meyakinkan dirinya bahwa ia berada pada jalan yang lurus. Akan tetapi, ia tidak akan termasuk di antara orang–orang yang bertobat kepada Allah dan ia tidak berusaha untuk meraih keikhlasan. Dalam surah al-Kahfi, Allah memberikan perumpamaan bagi para pecundang yang demikian, dengan firman-Nya,

“Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi [18]: 103-104)

Ketika ia menoleh ke belakang pada kehidupannya yang lalu, ia akan menyadari bahwa tidak ada satu pun yang tersisa untuk menyatakan bahwa ia telah menggunakan waktu bertahun–tahun lamanya hidup di dunia ini. Tidaklah orang-orang yang keridhaannya ia perjuangkan, tidak juga tujuan duniawi yang dikejarnya, dan tidak pula keangkuhan serta iblis yang menipunya untuk merusak keikhlasannya, yang akan membelanya di akhirat. Ia akan berdiri sendiri di hadapan Allah tanpa adanya pembelaan, karena ia gagal bertobat kepada Allah dengan hati yang suci. Ia telah mengurangi keikhlasannya dengan mencampuradukkan keyakinan, pengabdian, dan ibadahnya dengan kekotoran–kekotoran yang lain. Dalam surah al-Hadiid, Allah menjelaskan bahwa kehidupan dunia adalah tiada arti kecuali sebuah tipu daya yang besar,

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (al– Hadiid [57]: 20)

Apakah seseorang bersedia memahami bahwa ia telah berjuang dalam kesia–siaan, dalam kedengkian atas usahanya yang besar, karena ia telah gagal memperoleh keikhlasan, dan hidup tidak sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an? Atau apakah seseorang ingin menjadi salah satu dari “makhluk-makhluk terbaik yang dirahmati, yang tidak pernah gagal” dengan menyucikan niat, hati, dan batinnya serta bertobat kepada Allah dengan pengorbanan sepenuh hati, memeluk Allah dengan erat, dan tidak berkeinginan mendapatkan apa pun selain keridhaan Allah? Jelaslah sudah bahwa bagi siapa pun yang cinta kepada Allah dan yang memiliki harapan untuk menjadi sahabat-Nya, dan untuk bertobat kepada-Nya, maka pilihan terakhir merupakan pilihan mutlak yang harus diambil.
Karena itu, melalui buku ini, kami mengajak seluruh kaum mukminin yang ikhlas, yang mencintai Allah, yang berharap untuk menjadi sahabat-Nya, dan yang bertobat kembali kepada-Nya, agar mencari rahasia yang membimbing kita menjadi salah satu di antara orang-orang yang beruntung. Sebagaimana Badiuzzaman sebutkan, sebuah amalan yang dikerjakan dengan ikhlas mungkin akan menjadi lebih berharga daripada ribuan amalan yang dikerjakan tanpa keikhlasan. Agar selalu diingat, jika niatmu tulus ikhlas dan amalan-amalanmu merupakan amalan saleh hanya untuk Allah semata, meski amalan itu paling remeh sekalipun, hal itu akan diperhatikan oleh-Nya. Sebagaimana Allah jelaskan kepada kita di dalam Al-Qur`an dengan firman-Nya, “Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu...,” (al-Israa` [17]: 25) dan “... Allah Maha Mengetahui orang–orang yang bertaqwa.” (Ali Imran [3]: 115)



Bab VII
Kesalahan Konsep Teori Evolusi


Setiap detail di alam semesta ini menunjukkan pada sebuah penciptaan yang luar biasa. Sementara itu, materialisme yang menafikan fakta penciptaan alam semesta tidak menghadirkan apa-apa kecuali suatu kerancuan ilmiah.
Sekali materialisme dinyatakan tidak sah maka semua teori yang berbasis pada filosofi ini menjadi tidak berdasar. Yang paling utama dari semua filsafat ini adalah Darwinisme, yakni teori evolusi. Teori yang berargumen bahwa kehidupan berasal dari materi yang mati dan terjadi secara kebetulan ini telah dihancurkan oleh penemuan bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah. Seorang astro-fisikawan Amerika, Hugh Ross, menjelaskan hal tersebut,
“Ateisme, Darwinisme, dan isme-isme lainnya yang berasal dari filsafat abad ke-19 sampai 20 dibangun atas asumsi yang salah, yaitu bahwa alam semesta itu tak terbatas. Keanehan ini telah membawa kita berhadapan dengan penyebab–atau yang menyebabkan-di luar/di balik/sebelum adanya alam semesta dan semua yang dikandungnya, termasuk kehidupan itu sendiri.”
Allahlah yang menciptakan alam semesta dan merancangnya hingga detail terkecil. Karenanya, tidaklah mungkin bagi teori evolusi—yang menyatakan bahwa makhluk hidup tidak diciptakan oleh Tuhan, tetapi terjadi secara kebetulan—untuk dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Tak mengherankan, ketika melihat teori evolusi ini, kita melihat bahwa teori ini dibantah oleh penemuan-penemuan ilmiah. Konstruksi kehidupan ini benar-benar kompleks dan rumit. Dalam alam benda mati misalnya, kita dapat melihat betapa sensitifnya keseimbangan atom. Kita dapat mengamati dalam konstruksi kompleks yang di dalamnya atom-atom tersebut menyatu. Bagaimana luar biasanya mekanisme dan struktur protein, enzim, dan sel.
Konstruksi yang luar biasa dalam kehidupan telah mematahkan teori Darwin di akhir abad ke-20 ini.
Kita telah membahas masalah ini secara detail dalam beberapa kajian lainnya dan masih akan terus membahasnya. Bagaimanapun juga, kami menganggap bahwa akan sangat membantu jika dibuat ringkasan tentang subjek yang penting ini.


Runtuhnya Keilmiahan Darwinisme

Meskipun doktrin ini bermula sejak zaman Yunani Kuno, teori evolusi ini dilanjutkan secara ekstensif pada abad ke-19. Perkembangan terpenting yang membuat teori ini menjadi topik paling terkenal di dunia sains karena adanya buku karya Charles Darwin yang berjudul The Origin of Species yang diterbitkan pada tahun 1859. Di dalam buku ini, Darwin menolak bahwa spesies yang berbeda di bumi ini diciptakan secara terpisah oleh Tuhan. Menurut Darwin, semua makhluk hidup memiliki nenek moyang yang sama dan mereka dianekaragamkan dalam jangka waktu yang lama melalui perubahan secara berangsur-angsur.
Teori Darwin tidak didasarkan pada penemuan ilmiah yang konkret. Sebagaimana yang ia katakan, teori tersebut hanyalah sebuah “asumsi”. Terlebih lagi, ia menyatakan dalam bukunya itu di dalam bab “Difficulties of the Theory” bahwa teori ini telah jatuh di hadapan banyaknya pertanyaan yang kritis.
Darwin menginvestigasi semua kemungkinan dalam penemuan ilmiah baru yang diharapkannya dapat menyelesaikan kesulitan teori ini (Difficulties of the Theory). Tetapi yang terjadi sebaliknya, penemuan-penemuan ilmiah memperluas dimensi kesulitan tesebut.
Kekalahan Darwinisme dalam berhadapan dengan sains dapat dilihat dalam tiga topik mendasar berikut ini.
1. Dengan cara apa pun, teori ini tidak mampu menjelaskan bagaimana kehidupan ini muncul di muka bumi.
2. Tidak ada penemuan ilmiah yang menujukkan bahwa “mekanisme evolusi” yang diajukan oleh teori ini memiliki kekuatan untuk berkembang sama sekali.
3. Catatan fosil benar-benar menunjukkan kebalikan dari teori evolusi.
Dalam bagian ini, kita akan mempelajari tiga hal dasar dalam bahasan umum, yaitu sebagai berikut.


Tahap Pertama yang Tidak Dapat Diatasi:
Asal-Usul Kehidupan

Teori evolusi menyatakan bahwa semua spesies makhluk hidup berevolusi dari sebuah sel tunggal hidup yang ada di bumi purba 3,8 miliar tahun yang lalu. Bagaimana sebuah sel dapat menghasilkan miliaran spesies hidup yang kompleks dan, jika evolusi itu benar-benar terjadi, mengapa jejaknya tidak terdapat dalam catatan fosil, adalah beberapa pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh teori evolusi ini. Bagaimanapun juga, hal pertama dan utama yang perlu dipertanyakan dari proses evolusi ini adalah: bagaimana “sel pertama” ini bermula?
Karena teori evolusi menolak proses penciptaan dan tidak menerima intervensi supranatural apa pun, teori ini tetap manganggap bahwa sel pertama terjadi secara kebetulan karena hukum alam, tanpa perencanaan ataupun pengaturan tertentu. Menurut teori ini, benda mati mestinya memproduksi sel hidup karena kebetulan semata. Ini adalah pernyataan yang tidak konsisten, bahkan dengan hukum biologi yang paling tidak dapat disangkal.

“Kehidupan Berasal dari Kehidupan”
Dalam bukunya, Darwin tidak pernah mengacu kepada asal-usul kehidupan. Pada masa Darwin, pemahaman sains yang primitif bersandarkan pada asumsi bahwa makhluk hidup memiliki struktur yang sangat sederhana. Sejak abad pertengahan, teori generatio spontanea (spontaneous generation)—teori yang menganggap benda mati muncul bersama-sama untuk membentuk organisme hidup—diterima oleh masyarakat luas. Orang percaya bahwa serangga berasal dari makanan basi dan tikus berasal dari gandum. Eksperimen-eksperimen yang menarik dilakukan untuk membuktikan teori ini. Orang meyakini, bila sedikit gandum diletakkan pada sepotong pakaian kotor, tikus akan muncul dari sana.
Demikian pula, belatung yang berkembang biak dalam daging diasumsikan sebagai bukti dari teori tersebut. Akan tetapi, hanya beberapa waktu kemudian, dipahami bahwa belatung tidak muncul dari daging dengan tiba-tiba, tetapi dibawa oleh lalat dalam bentuk larva yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.
Sejalan dengan saat Darwin menulis The Origin of Species, keyakinan bahwa bakteri muncul dari benda mati diterima luas di di dunia sains.
Akan tetapi, lima tahun setelah publikasi buku Darwin, Louis Pasteur mengumumkan hasil eksperimennya setelah lama mempelajari. Eksperimennya membantah teori Generatio Spontanea yang merupakan inti dari teori Darwin. Dalam ceramahnya yang gemilang di Sorbonne pada tahun 1864, Pasteur berkata, “Doktrin Generatio Spontanea tidak akan pernah bangkit dari pukulan yang mematikan dari eksperimen sederhana ini.”
Para pembela teori evousi menolak penemuan Pasteur dalam waktu yang cukup lama. Bagaimanapun, seiring dengan perkembangan sains yang dapat mengurai struktur kompleks sel makhluk hidup, ide bahwa kehidupan muncul secara kebetulan itu menghadapi kebuntuan yang lebih besar lagi.
Usaha-Usaha yang Tidak Meyakinkan di Abad Ke-20
Evolusionis pertama yang membahas asal-usul kehidupan di abad ke-20 adalah biolog Rusia terkenal, Alexander Oparin. Pada tahun 1930-an, ia mencoba membuktikan bahwa sel makhluk hidup dapat berasal dari kebetulan semata. Dalam perkembangannya, kajian ini ternyata berakhir dengan kegagalan dan Oparin harus mengakui hal ini, “Sayangnya, asal-usul sel mungkin merupakan masalah yang paling tidak jelas di antara keseluruhan studi evolusi organisme.”
Para evolusionis pengikut Oparin mencoba melakukan eksperimen untuk memecahkan masalah asal-usul kehidupan. Eksperimen yang paling terkenal dilakukan oleh seorang ahli kimia Amerika, Stanley Miller, pada tahun 1953. Dengan mengombinasikan gas-gas yang dia kira ada pada atmosfer bumi purba dalam suatu rangkaian eksperimen dan menambahkan energi pada campuran itu, Miller mensintesiskan beberapa molekul organik (asam amino) yang ada dari dalam struktur protein.
Baru saja beberapa tahun berlalu sebelum terungkap bahwa eksperimen—yang kemudian diprentasikan sebagai sebuah langkah penting atas nama evolusi—adalah invalid, atmosfer yang digunakan dalam eksperimen tersebut sangatlah berbeda dari kondisi bumi sebenarnya.
Setelah cukup lama berdiam diri, Miller baru mengakui bahwa media yang digunakan dalam eksperimennya tidaklah realistis.
Semua usaha para evolusionis sepanjang abad ke-20 untuk menjelaskan asal-usul kehidupan berakhir dengan kegagalan. Seorang ahli geokimia bernama Jeffrey Bada dari San Siego Scripps Institute menerima fakta ini dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh majalah Earth pada tahun 1998,
“Hari ini, begitu kita meninggalkan abad kedua puluh, kita masih menghadapi suatu masalah terbesar yang tidak terpecahkan seperti yang telah kita miliki ketika kita memasuki abad kedua puluh: bagaimana kehidupan berkembang di muka bumi?”


Struktur Kompleks Kehidupan

Alasan utama mengapa teori evolusi berakhir dengan suatu kebuntuan yang besar seperti itu tentang asal kehidupan adalah karena organisme hidup yang dianggap paling sederhana pun mempunyai struktur yang benar-benar rumit. Sel suatu makhluk hidup adalah lebih rumit daripada seluruh produk teknologi yang diproduksi oleh manusia. Dewasa ini, bahkan pada laboratorium yang paling maju pun di dunia, suatu sel kehidupan tidak dapat diproduksi dengan memadukan berbagai materi anorganik sekaligus.
Kondisi yang diperlukan untuk membentuk sebuah sel sangatlah sulit untuk dijelaskan hanya dengan peristiwa kebetulan saja. Peluang protein (dinding pemisah sel) untuk disintesiskan secara kebetulan adalah 1 dalam 10950 untuk sebuah protein rata-rata yang terbuat dari 500 asam amino. Secara matematis, suatu peluang lebih kecil dari 1 atas 1050 praktis tidak mungkin.
Molekul DNA, yang terletak pada nukleus sebuah sel dan yang menyimpan informasi genetika, adalah suatu bank data yang luar biasa. Dikalkulasikan bahwa jika informasi yang terdapat dalam DNA ini dicatat, akan membuat suatu perpustakaan raksasa yang terdiri atas 900 volume ensiklopedi yang masing-masing memiliki 500 halaman.
Suatu dilema yang sangat menarik muncul pada poin ini: DNA hanya dapat bereplikasi dengan bantuan beberapa protein khusus (enzim). Akan tetapi, sintesis dari enzim-enzim ini hanya dapat direalisasikan dengan informasi yang terdapat dalam DNA. Karena keduanya saling tergantung satu dengan yang lainnya, mereka harus eksis pada waktu yang bersamaan untuk melakukan replikasi. Hal ini membawa skenario bahwa kehidupan yang dikembangkan oleh dirinya sendiri hanya akan membawa kebuntuan. Prof. Leslie Orgel, seorang evolusionis yang bereputasi dari Universitas San Diego, California, mengakui kenyataan ini pada bulan September 1994 yang dibahas pada majalah Scientific American,
“Adalah sangat tidak mungkin bahwa protein dan asam nukleat, keduanya yang secara struktural sangat kompleks, tumbuh secara spontan di tempat yang sama pada waktu yang sama. Tampaknya tidak mungkin untuk memiliki yang satu tanpa memiliki yang lainnya. Begitu juga, dalam pandangan sekilas, seseorang mungkin harus menyimpulkan bahwa kehidupan sesungguhnya tidak pernah berasal dari sarana kimiawi.”
Tidak diragukan, jika tidak mungkin bagi kehidupan untuk berkembang dari penyebab alam, adalah harus diterima bahwa kehidupan telah “diciptakan” secara supernatural. Fakta ini secara eksplisit telah mementahkan teori evolusi, yang mempunyai tujuan utama untuk menolak proses penciptaan.



Mekanisme Penggambaran dari Teori Evolusi
Poin penting kedua yang menegasikan teori Darwin adalah bahwa kedua konsep yang dikemukakan teori ini sebagai “mekanisme evolusioner”, pada realitasnya dipahami tidak mempunyai kekuatan evolusioner.
Darwin mendasarkan seluruh pemunculan teori evolusinya pada mekanisme “seleksi alam”. Tentang mekanisme ini telah jelas tertulis dalam bukunya, The Origin of Species, By Means of Natural Selection….
Seleksi alam berpandangan bahwa makhluk-makhluk hidup yang lebih kuat dan lebih pandai menyesuaikan diri dengan kondisi alam pada habitatnya, akan dapat bertahan hidup dengan segala perjuangannya. Contohnya, pada sekelompok rusa yang berada di bawah ancaman serangan binatang buas, mereka yang dapat berlari lebih cepat akan dapat bertahan hidup. Karenanya, sekawanan rusa akan terdiri atas individu-individu yang lebih cepat dan lebih kuat. Akan tetapi, satu hal yang tidak dapat dipertanyakan, mekanisme ini tidak akan menyebabkan rusa-rusa tersebut berkembang dan mentransformasi diri mereka menjadi spesies hidup yang berbeda, misalnya, menjadi kuda.
Karena itu, mekanisme seleksi alam tidaklah mempunyai kekuatan evolusioner. Darwin juga menyadari fakta ini dan menyatakan dalam bukunya, The Origin of Species,
“Seleksi alam tidak dapat melakukan apa pun hingga berbagai variasi yang menguntungkan bisa terjadi.”

Pengaruh Lamarck
Bila demikian, bagaimana “variasi-variasi yang menguntungkan” ini dapat terjadi? Darwin telah mencoba menjawab pertanyaan ini dari sudut pandang pemahaman primitif sains pada masanya. Menurut seorang ahli biologi Prancis bernama Lamarck, yang hidup sebelum Darwin, makhluk hidup bertahan hidup melalui sifat-sifat yang dimiliki selama hidupnya sampai generasi berikutnya dan sifat-sifat ini, yang berakumulasi dari satu generasi ke generasi berikutnya, menyebabkan terbentuknya spesies-spesies baru. Misalnya, menurut Lamarck, jerapah berkembang dari antelop; seiring dengan perjuangan mereka untuk memakan dedaunan pada pohon yang tinggi, leher mereka memanjang dari generasi ke generasi.
Darwin juga memberikan contoh yang sama, dalam bukunya, The Origin of Species, misalnya, ia mengatakan bahwa beberapa beruang yang pergi ke air untuk mencari makanan mentransformasi dirinya menjadi paus setelah beberapa waktu.
Akan tetapi, hukum-hukum keturunan yang ditemukan oleh Mendel dan diverifikasi oleh ilmu genetika yang berkembang pada abad kedua puluh, membongkar legenda tersebut sehabis-habisnya bahwa sifat-sifat yang dimiliki diwariskan pada generasi berikutnya. Akibatnya, seleksi alam telah gagal menjadi suatu mekanisme evolusioner.

Neo-Darwinisme dan Mutasi
Agar dapat menemukan suatu solusi, para Darwinis mengembangkan “Teori Sintetis Modern”, atau yang lebih dikenal sebagai Neo-Darwinisme, pada akhir tahun 1930-an. Neo-Darwinisme menambahkan mutasi, yang merupakan berbagai distorsi yang dibentuk dalam gen-gen makhluk hidup karena faktor-faktor eksternal seperti radiasi atau kesalahan-kesalahan replikasi, sebagai “penyebab dari beragam variasi yang menguntungkan” yang merupakan tambahan bagi mutasi alam.
Dewasa ini, model yang mendukung teori evolusi di dunia adalah Neo-Darwinisme. Menurut teori tersebut, jutaan makhluk hidup yang ada di muka bumi ini terbentuk sebagai hasil dari suatu proses di mana organ-organ yang sangat kompleks dari organisme-organisme ini, seperti telinga, mata, paru-paru, dan sayap, mengalami “mutasi”, yaitu kekacauan-kekacauan genetika. Akan tetapi, ada satu fakta saintifik yang sama sekali palsu yang secara keseluruhan meruntuhkan teori ini, yaitu: mutasi tidak menyebabkan makhluk hidup berkembang; sebaliknya, mutasi selalu menyebabkan kerusakan kepada makhluk tersebut.
Alasan untuk ini sangatlah sederhana: DNA mempunyai suatu struktur yang kompleks dan pengaruh-pengaruh acak hanya dapat mengakibatkan kerusakan padanya. Seorang ahli genetika Amerika bernama B.G. Ranganathan menerangkan hal ini,
“Mutasi merupakan suatu proses yang kecil, acak, dan merusak. Ia jarang terjadi dan kemungkinan yang terbaik adalah bahwa ia tidak akan berpengaruh. Empat karakteristik mutasi ini mengimplikasikan bahwa mutasi tidak dapat mengarah pada suatu perkembangan evolusioner. Suatu perubahan yang acak pada suatu organisme yang sangat khusus adalah tidak berpengaruh atau rusak. Suatu perubahan yang acak dalam suatu pengamatan tidak dapat meningkatkan pengamatan. Hal tersebut kemungkinan besar akan merusaknya atau paling tidak akan tidak memengaruhi. Gempa bumi tidak memperbaiki suatu kota, tetapi menyebabkan kerusakan.”
Tidak mengherankan, tidak ada contoh dari mutasi yang berguna, karena yang diobservasi untuk mengembangkan sandi genetika telah diobservasi sejauh ini. Semua mutasi telah terbukti merusak. Karenanya, dipahami bahwa mutasi, yang dipresentasikan sebagai “mekanisme evolusioner”, sebenarnya adalah suatu peristiwa genetika yang merusak makhluk hidup dan menyebabkan mereka tidak berguna (pengaruh yang paling umum dari mutasi terhadap umat manusia adalah kanker). Tidak diragukan, suatu mekanisme destruktif tidak dapat dikatakan sebagai suatu “mekanisme evolusioner”. Sebaliknya, seleksi alam “tidak dapat melakukan apa pun oleh dirinya” sebagaimana hal ini juga diterima oleh Darwin. Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada “mekanisme evolusioner” di alam. Karena tidak ada mekanisme evolusioner yang eksis, tidak juga terdapat proses imajiner yang disebut teori evolusi yang telah dikemukakan.

Catatan Fosil: Tidak Ada Tanda Bentuk-Bentuk Transisi
Bukti yang paling jelas bahwa skenario yang dikemukakan oleh teori evolusi tidak mendapatkan tempat adalah catatan fosil.
Menurut teori evolusi, setiap spesies telah tertutup dari pendahulunya. Suatu spesies yang ada sebelumnya telah berubah menjadi sesuatu yang lain dalam satu waktu dan semua spesies menjadi seperti itu dengan cara seperti ini. Menurut teori evolusi, transformasi ini berproses secara bertahap selama berjuta-juta tahun.
Bila hal ini menjadi pembicaraan, spesies lanjutan dalam jumlah yang besar seharusnya telah eksis dan hidup selama periode transformasi yang panjang ini.
Misalnya, beberapa ekor hewan setengah ikan dan setengah reptil seharusnya telah hidup di masa lampau, yang mempunyai beberapa sifat reptil sebagai tambahan terhadap sifat ikan yang telah ada. Atau, seharusnya telah ada beberapa burung reptil, yang memiliki beberapa sifat burung sebagai tambahan terhadap sifat reptil yang telah dimiliki sebelumnya. Karena hal ini akan menjadi sebuah fase transisi, mereka seharusnya adalah makhluk yang tidak mampu melakukan apa pun, defektif, dan lumpuh. Para evolusionis merujuk kepada makhluk-makhluk imajiner ini, yang mereka yakini telah hidup di masa lampau, sebagai “bentuk transisi”.
Jika hewan-hewan seperti itu benar-benar telah ada sebelumnya, seharusnya jumlah mereka pastilah sangat besar, jutaan, bahkan miliaran hewan, dan varietasnya juga pastilah banyak. Yang lebih penting, peninggalan dari makhluk-makhluk yang aneh ini pun seharusnya ada dalam catatan fosil. Dalam The Origin of Species, Darwin telah menerangkan,
“Jika teori saya ini benar, sekian banyak varietas lanjutan, yang berhubungan paling dekat dengan semua spesies pada kelompok yang sama, harusnya dipastikan pernah ada.... Konsekuensinya, bukti dari keberadaan mereka dapat ditemukan hanya di antara peninggalan-peninggalan fosil.”


Harapan-Harapan Darwin yang Kandas

Meskipun para evolusionis telah berusaha sekuat tenaga untuk menemukan fosil-fosil sejak pertengahan abad kesembilan belas di seluruh dunia, tidak ada satu bentuk transisi pun yang diketemukan. Semua fosil yang telah ditemukan di bumi menunjukkan bahwa—bertentangan dengan harapan para evolusionis—kehidupan muncul di muka bumi dalam satu masa dan penuh dengan perhitungan.
Seorang palaentologis yang berasal dari Inggris, Derek V. Ager, mengakui fakta ini, meskipun dia adalah seorang evolusionis,
“Poin yang hadir bila kita menguji catatan fosil secara mendetail, baik dalam level susunan maupun spesies, kita menemukan–secara berulang-ulang—hal tersebut bukanlah suatu evolusi yang gradual, melainkan ledakan sekejap dari satu kumpulan dengan mengorbankan yang lainnya.”
Hal ini berarti, dalam catatan fosil, semua spesies tiba-tiba muncul sebagai bentuk yang sempurna, tanpa melalui bentuk transisi sebelumnya. Hal ini bertentangan dengan asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh Darwin. Ini pun merupakan suatu bukti yang sangat kuat bahwa makhluk hidup itu diciptakan. Satu-satunya keterangan yang memungkinkan tentang suatu spesies hidup yang muncul tiba-tiba dan sangat lengkap detail-detailnya tanpa adanya nenek moyang evolusioner, ialah kenyataan bahwa makhluk hidup ini diciptakan. Fakta ini diakui juga oleh seorang ahli biologi evolusionis yang terkenal luas, Douglas Futuyma,
“Proses penciptaan dan evolusi, di antara keduanya, menyebabkan adanya keterangan yang mungkin bagi asal-muasal makhluk hidup. Organisme baik yang muncul di permukaan bumi dengan bentuk yang sempurna maupun tidak. Jika tidak, mereka seharusnya berkembang dari spesies yang ada sebelumnya dengan beberapa proses modifikasi. Jika mereka telah muncul dalam bentuk yang sempurna, mereka pastilah diciptakan oleh suatu kecerdasan yang hanya dimiliki oleh Yang Mahakuasa.”
Fosil-fosil menunjukkan bahwa makhluk hidup muncul dalam struktur yang tersusun sempurna dan terencana di muka bumi. Hal ini berarti “asal-muasal makhluk hidup” (the origin of species) adalah bertolak belakang dengan dugaan Darwin; bukan evolusi, tetapi penciptaan.


Riwayat Evolusi Manusia

Bahasan yang paling sering diangkat oleh para pendukung teori evolusi adalah tentang asal-muasal manusia. Para pengikut Darwin mengklaim bahwa manusia modern sekarang ini adalah hasil perkembangan dari beberapa macam makhluk seperti kera. Selama terjadinya proses evolusi ini, yang diperkirakan telah dimulai sejak 4-5 juta tahun yang lalu, para evolusionis mengklaim bahwa telah ada beberapa “bentuk transisi” antara manusia modern dan para nenek moyangnya. Menurut skenario imajiner yang lengkap ini, empat “kategori” dasar disusun:
1. Australopithecus,
2. Homo habilis,
3. Homo erectus,
4. Homo sapiens.
Para evolusionis menyebut bahwa yang dikatakan sebagai nenek moyang pertama manusia adalah makhluk seperti kera “Australopithecus” yang berarti “Kera Afrika Selatan”. Makhluk-makhluk hidup ini sebenarnya tidak pernah ada, tetapi spesies kera tualah yang pernah ada. Sebuah riset yang ekstensif dilakukan terhadap beragam sampel Australopithecus oleh dua orang ahli anatomi terkenal yang berasal dari Inggris dan Amerika, Lord Solly Zuckerman dan Prof. Charles Oxnard, menunjukkan bahwa semua itu merupakan fosil spesies kera biasa yang telah punah dan hampir tidak ada kemiripannya dengan manusia.
Para evolusionis mengklasifikasi tahap dari proses evolusi manusia selanjutnya sebagai “homo” yang berarti “manusia.” Dalam klaim para evolusionis, makhluk hidup dalam serial Homo jauh lebih cepat perkembangannya daripada Australopithecus. Evolusionis merencanakan skema fantastis dengan cara menyusun fosil-fosil yang beragam dari dalam tatanan yang tertentu. Skema ini merupakan suatu imajinasi sebab tidak pernah dibuktikan bahwa ada sebuah hubungan evolusi antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut. Ernst Mayr, salah seorang pembela utama teori evolusi pada abad kedua puluh, mengakui fakta ini dengan menyatakan bahwa “rantai yang mencapai sejauh Homo sapiens sebenarnya hilang”.
Dengan garis besar rantai hubungan seperti “AustralopithecusHomo habilisHomo erectusHomo sapiens”, para evolusionis mengimplikasikan bahwa setiap spesies ini memiliki satu nenek moyang dengan yang lainnya. Akan tetapi, penemuan terakhir dari para palaentologis mengemukakan bahwa Australopithecus, Homo habilis, dan Homo erectus hidup di bagian dunia yang berbeda pada waktu yang bersamaan.
Selain itu, suatu golongan tertentu dari manusia yang diklasifikasikan sebagai Homo erectus terus hidup hingga masa yang sangat modern. Homo sapiens neandarthalensis dan Homo sapiens sapiens (manusia modern) eksis secara bersamaan pada wilayah yang sama.
Situasi yang transparan ini mengindikasikan ketidakvalidan dari klaim bahwa mereka merupakan nenek moyang antara satu dan yang lainnya. Seorang palaentologis dari Universitas Harvard, Stephen Jay Gould, menerangkan tentang kebuntuan dari teori evolusi ini meskipun dia sendiri adalah seorang evolusionis,
“Apa yang menjadi tangga bagi kami jika ada tiga spesies manusia yang eksis secara bersamaan di kurun yang sama (Australopithecus africanus, robus australopithecines, dan Homo habilis), tidak ada satu pun yang dengan jelas merupakan hasil perubahan dari yang lainnya? Selain itu, tidak satu pun dari ketiganya yang berperan dalam proses evolusi selama mereka hidup di muka bumi.”
Singkatnya, skenario dari evolusi manusia, yang dipandang terjadi dengan bantuan beragam gambaran dari beberapa makhluk “setengah kera, setengah manusia” yang muncul di media-media dan buku-buku pelajaran, sejujurnya merupakan suatu propaganda yang disengaja dan tak lain hanyalah suatu dongeng tanpa adanya dasar saintifik.
Lord Solly Zuckerman, salah seorang saintis paling terkemuka dan terkenal di Inggris, yang telah melakukan riset tentang bahasan ini selama bertahun-tahun dan secara khusus telah mengkaji fosil-fosil Australopithecus selama lima belas tahun, akhirnya menyimpulkan, meskipun dia sendiri adalah seorang evolusionis, bahwa sebenarnya tidak ada silsilah keluarga dari kera yang mempunyai kemiripan dengan manusia.
Zuckerman juga membuat suatu “spektrum sains” yang menarik. Dia membuat suatu spektrum sains yang terdiri atas mereka yang dia anggap saintifik hingga mereka yang tidak saintifik. Menurut spektrum Zuckerman, yang “paling saintifik”—berdasarkan pada data-data konkret–dalam bidang sains adalah kimia dan fisika. Setelah keduanya adalah ilmu biologi, kemudian ilmu sosial. Di akhir spektrum, yang dianggap sebagai yang “paling tidak saintifik” adalah “persepsi ekstrasensori”–konsep-konsep seperti telepati dan indera keenam–dan yang terakhir adalah “evolusi manusia”. Zuckerman menerangkan tentang alasannya,
“Kami kemudian berpaling pada susunan kebenaran yang objektif kepada bidang ilmu biologi pra-asumsi, seperti persepsi ekstrasensori atau iterpretasi sejarah fosil manusia, di mana keyakinan (para evolusionis) terhadap sesuatu adalah mungkin—dan di mana pada saat yang sama secara berapi-api meyakini (dalam masalah evolusi) sesuatu yang dapat diyakini secara kontradiktif.”
Riwayat evolusi manusia tidak menghasilkan apa pun kecuali interpretasi-interpretasi yang didasari praduga tentang beberapa fosil yang digali oleh orang-orang tertentu, yang secara membabi buta mengikuti teori mereka.


Teknologi di Mata dan Telinga

Bahasan lainnya yang tetap tidak terjawab oleh teori evolusi adalah kualitas persepsi istimewa yang dimiliki oleh mata dan telinga.
Sebelum melanjutkan kepada bahasan tentang mata, marilah kita jawab suatu pertanyaan tentang “bagaimana kita melihat”. Sinar-sinar terang yang berasal dari suatu objek jatuh secara berseberangan pada retina mata. Di sini, sinar-sinar terang ini ditransmisikan ke dalam signal elektrik oleh sel-sel dan mereka mencapai satu titik tipis di belakang otak yang disebut pusat penglihatan. Signal-signal elektrik ini dipersepsikan dalam pusat otak ini sebagai suatu gambaran setelah melalui serangkaian proses. Dengan latar belakang teknis ini, marilah kita berpikir.
Otak diisolasi dari cahaya. Hal ini berarti di dalam otak itu benar-benar gelap dan cahaya tidak mencapai lokasi di mana otak terletak. Tempat yang disebut pusat penglihatan adalah suatu tempat yang benar-benar gelap di mana tidak ada sedikit pun cahaya pernah mencapainya; mungkin ini adalah tempat yang paling gelap yang pernah Anda tahu. Akan tetapi, Anda mengobservasi suatu dunia yang terang dan berkilauan pada kegelapan yang gulita.
Gambaran yang dibentuk pada mata sangatlah tajam dan bahkan berbeda dengan teknologi abad kedua puluh yang belum pernah dapat mencapainya. Misalnya, perhatikanlah buku yang Anda baca, tangan yang dengannya Anda menggenggam buku, kemudian angkatlah kepala Anda dan lihatlah sekeliling Anda. Pernahkah Anda melihat suatu gambaran yang tajam dan terang sedemikian halnya juga di tempat yang lain? Bahkan, layar televisi yang paling canggih pun yang diproduksi oleh produser televisi terbesar di dunia tidak dapat menyediakan suatu gambaran yang tajam seperti itu bagi Anda. Ini adalah gambaran tiga dimensi, berwarna, dan sangat tajam. Selama lebih dari seratus tahun, beribu-ribu insinyur telah mencoba untuk mencapai ketajaman seperti ini. Pabrik, tempat yang besar, telah didirikan, berbagai riset telah dilakukan, rencana dan desain telah dibuat untuk tujuan ini. Perhatikanlah juga layar televisi dan buku yang dipegang oleh tangan Anda. Anda akan melihat bahwa ada suatu perbedaan yang sangat besar dalam ketajaman dan perbedaan. Selain itu, layar televisi hanya menunjukkan gambaran dua dimensi kepada Anda, sedangkan dengan mata, Anda melihat suatu perspektif tiga dimensi yang mempunyai kedalaman.
Selama bertahun-tahun, sepuluh dari beribu-ribu insinyur telah mencoba membuat televisi tiga dimensi dan mencapai kemampuan yang berkualitas sama dengan mata. Ya, mereka telah membuat sistem televisi tiga dimensi, tetapi tidak mungkin untuk melihatnya tanpa menyimpannya dalam kaca; selain itu, itu hanyalah suatu tiga dimensi artifisial. Latar belakangnya lebih kabur, latar depannya tampak seperti permukaan kertas. Benda tersebut tidak pernah mampu menghasilkan satu daya lihat yang tajam dan terang seperti yang dilakukan oleh mata. Baik pada kamera maupun televisi, ada suatu kualitas gambar yang hilang.
Para evolusionis mengklaim bahwa mekanisme yang menghasilkan gambaran yang tajam dan terang ini telah terbentuk secara kebetulan. Sekarang, jika seseorang mengatakan kepada Anda bahwa gambar pada televisi di kamar Anda terbentuk sebagai hasil yang disengaja, yang dilakukan oleh semua atom yang datang bersamaan dan menyusun peralatan yang menghasilkan suatu gambaran, apa pendapat Anda? Bagaimana atom-atom tersebut dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan manusia?
Jika suatu alat menghasilkan suatu gambaran yang lebih primitif daripada mata yang tidak dapat dibentuk dengan kebetulan, sangatlah jelas bahwa mata dan gambaran yang dilihat oleh mata tidak dapat dibentuk dengan kebetulan pula. Situasi yang sama juga berlaku pada telinga. Bagian luar telinga menangkap suara yang ada dengan menggunakan daun telinga dan mengarahkan suara itu ke bagian tengah telinga; bagian tengah telinga mentransmisikan getaran-getaran suara dengan mengintensifkan suara itu; telinga bagian dalam mengirimkan getaran-getaran ini ke otak dengan menerjemahkan suara itu ke dalam signal-signal elektrik. Sebagaimana mata, proses pendengaran berakhir di pusat pendengaran yang ada di dalam otak.
Situasi yang terjadi pada mata juga berlaku sama bagi telinga, yaitu otak diisolasi dari suara seperti halnya terisolasi dari cahaya: otak tidak memperbolehkan sedikit pun suara masuk. Karena itu, tidak masalah bagaimana ributnya kondisi di luar, bagian dalam otak tetap benar-benar sunyi. Walaupun demikian, cahaya yang paling tajam dipersepsikan dalam otak. Dalam otak Anda, yang terisolasi dari suara, Anda menyimak simponi dari suatu orkestra dan mendengarkan semua suara di tempat yang ramai. Akan tetapi, jika level suara dalam otak Anda diukur dengan suatu alat yang peka pada satu waktu, akan terlihat bahwa kesunyian yang benar-benar hening akan muncul di sana.
Sebagaimana halnya dengan imajinasi, berpuluh-puluh tahun usaha telah dilakukan dalam rangka untuk menghasilkan dan mereproduksi suara yang benar-benar asli. Hasil dari usaha-usaha ini adalah rekaman suara, sistem rekaman yang teliti dan murni, dan sistem untuk menangkap suara. Walaupun semua teknologi ini dan beribu-ribu insinyur serta para ahli telah bekerja pada usaha ini, tidak sedikit pun suara didapatkan yang mempunyai persamaan dalam ketajaman dan kejernihan dengan suara yang dipersepsikan oleh telinga. Pikirkanlah tentang sistem HI-FI yang berkualitas paling tinggi yang dihasilkan oleh perusahaan terbesar dalam industri musik. Bahkan pada alat-alat ini, ketika suara direkam, beberapa suara ada yang hilang; atau ketika Anda menyalakan HI-FI, Anda selalu mendengar suara mendesis sebelum musik mulai. Akan tetapi, suara yang dihasilkan oleh teknologi yang terdapat pada manusia sangat tajam dan jernih. Telinga seorang manusia tidak pernah mempersepsikan satu suara dengan dibarengi suara mendesis atau udara sebagaimana yang terjadi pada HI-FI; telinga mempersepsikan suara secara nyata, tajam, dan jernih. Ini adalah cara yang telah berlaku sejak awal penciptaan manusia.
Sejauh ini, tidak ada alat perekam gambar atau perekam suara yang diproduksi oleh manusia yang sensitif dan berhasil mempersepsikan data-data sensori sebagaimana yang dilakukan oleh mata dan telinga.
Akan tetapi, sejauh penglihatan dan pendengaran dipusatkan, sejauh itu pula fakta yang lebih besar terbentang di balik semua itu.
Siapa Pemilik Kesadaran Melihat dan Mendengar dalam Otak?
Siapakah dia yang melihat dunia yang memikat dalam otaknya, menyimak simponi dan kicauan burung, serta mencium bunga mawar?
Stimulus yang berasal dari mata, telinga, dan hidung seorang manusia melakukan perjalanan menuju otak sebagai syaraf kimia-elektro yang bergerak. Dalam buku-buku biologi, psikologi, dan biokimia, Anda menemukan berbagai detail tentang bagaimana gambaran ini terbentuk dalam otak. Akan tetapi, Anda tidak akan pernah sampai pada fakta yang paling penting tentang bahasan ini: siapakah dia yang mempersepsikan syaraf-syaraf kimia-elektro ini untuk bergerak sebagai gambaran, suara, bau-bauan, dan peristiwa-peristiwa sensori lainnya dalam otak? Ada satu kesadaran dalam otak yang mempersepsikan semua ini tanpa merasa memerlukan mata, telinga, dan hidung. Kepunyaan siapakah kesadaran ini? Tidak diragukan lagi bahwa kesadaran ini bukanlah kepunyaan urat syaraf, lempengan lemak, dan syaraf-syaraf yang menyusun otak. Inilah yang menyebabkan mengapa para Darwinis-Materialis, yang meyakini bahwa segala sesuatu tersusun dari benda atau materi, tidak dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini.
Kesadaran ini adalah ruh yang diciptakan oleh Allah. Ruh tidaklah membutuhkan mata untuk melihat objek, tidak juga membutuhkan telinga untuk mendengarkan suara. Selain itu, dia tidak juga membutuhkan otak untuk berpikir.
Setiap orang yang membaca fakta eksplisit dan saintifik ini seharusnya merenungkan kekuasaan Allah, merasa takut kepada-Nya, dan bertawakal kepada-Nya; Dia Yang Menguasai seluruh alam di tempat yang gelap gulita dari setiap sentimeter kubik dalam bentuk tiga dimensi, berwarna, berbayang-bayang, dan benderang.


Keyakinan Materialis

Informasi yang telah kita presentasikan sejauh ini menunjukkan kepada kita bahwa teori evolusi adalah suatu klaim yang terbukti tidak sesuai dengan temuan-temuan saintifik. Klaim teori tentang asal kehidupan tersebut adalah tidak konsisten dengan sains, mekanisme evolusionernya tidak mempunyai kekuatan evolusioner, dan fosil-fosil menunjukkan bahwa bentuk-bentuk transisi yang dimiliki oleh teori tersebut tidak pernah eksis. Karenanya, jelaslah bahwa teori evolusi seharusnya disingkirkan sebagai suatu ide yang tidak saintifik. Ini adalah seperti ide bahwa alam semesta itu berpusat pada bumi, yang telah dikeluarkan dari agenda sains sepanjang sejarah.
Walaupun demikian kenyataannya, teori evolusi tetap dipertahankan dalam agenda sains. Beberapa orang telah mencoba untuk mempresentasikan kritiknya terhadap teori tersebut bahkan dianggap sebagai suatu “serangan terhadap sains”. Mengapa?
Alasannya adalah bahwa teori evolusi merupakan suatu keyakinan dogmatik yang sangat diperlukan bagi beberapa kalangan. Kalangan ini secara membabi buta mengikuti filosofi dan mengadopsi Darwinisme karena hanyalah keterangan materialis yang dapat mengemukakan karya-karya alam.
Yang cukup menarik, mereka juga mengakui fakta ini dari waktu ke waktu. Seorang ahli genetika terkenal dan seorang evolusionis yang termasyhur, Richard C. Lewontin, dari Harvard University, mengakui bahwa dia adalah “seorang materialis yang pertama dan utama dan kemudian adalah seorang saintis”,
“Bukanlah metode dan institusi sains yang menyebabkan kita menerima suatu keterangan materialis tentang fenomena dunia, tetapi sebaliknya, yang memaksa kami untuk memprioritaskan untuk mengikuti materialisme adalah karena untuk menciptakan suatu alat investigasi dan serangkaian konsep yang menghasilkan keterangan-keterangan material, tidak peduli bagaimana mencegah intuisi, tidak peduli bagaimana membingungkannya terhadap sesuatu yang tidak dikenal. Selain itu, materialisme adalah mutlak sehingga kami tidak dapat membiarkan Kaki Tuhan berada di ambang pintu.”
Ini adalah pernyataan eksplisit bahwa Darwinisme adalah satu dogma yang tetap dipertahankan hidup hanya demi para pengikut filosofi materialis. Dogma ini menerangkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang menjaga materi. Karena itu, ia berpendapat bahwa benda mati, ketidaksadaran, telah menciptakan kehidupan. Ia bersikukuh bahwa jutaan spesies makhluk hidup, misalnya, burung, ikan, jerapah, harimau, serangga, pohon, bunga, ikan paus, dan manusia ada sebagai hasil dari interaksi antarbenda, seperti turunnya hujan, cahaya petir, dan sebagainya berasal dari benda mati. Ini merupakan suatu konsep yang bertentangan, baik dengan akal maupun sains. Akan tetapi, para Darwinis terus mempertahankannya hanya karena “tidak dapat membiarkan Kaki Tuhan berada di ambang pintu”.
Siapa pun yang tidak melihat asal makhluk hidup dengan prasangka materialis akan melihat kebenaran yang hakiki ini: semua makhluk hidup adalah Mahakarya dari Sang Pencipta, Yang Mahakuasa, Mahabijaksana, dan Maha Mengetahui. Sang Maha Pencipta itu adalah Allah, Yang telah menciptakan seluruh alam semesta dari ketidakadaan, mendesainnya dengan bentuk yang paling sempurna, dan membentuk semua makhluk hidup.


Teori Evolusi Adalah Mantra Terkuat di Dunia

Perlu diperjelas bahwa setiap orang yang terbebas dari fitnah dan pengaruh ideologi tertentu yang memakai alasan-alasan logika, akan memahami dengan baik bahwa kepercayaan teori evolusi yang telah membawa pemikiran takhayul ke dalam masyarakat tanpa pengetahuan sains ataupun peradaban, sangatlah tidak mungkin terjadi.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, mereka yang percaya pada teori evolusi mengira bahwa beberapa atom dan molekul yang ditempatkan ke dalam sebuah tong raksasa akan dapat menghasilkan para profesor, mahasiswa, para ilmuwan seperti Einstein dan Galileo, para artis seperti Humphrey Bogart, Frank Sinatra, dan Pavarotti, seperti juga seekor antelope, pohon lemon, dan bunga anyelir. Terlebih lagi, para ilmuwan dan profesor yang percaya pada teori ini tidak mungkin orang-orang yang terpelajar. Itulah sebabnya, menjadi sangat dibenarkan untuk mengatakan bahwa teori evolusi adalah sebagai “mantra yang paling kuat dalam sejarah manusia”. Belum pernah ada kepercayaan atau ide lain yang begitu menghilangkan kekuatan berpikir orang, membuat mereka tidak dapat berpikir dengan cerdas dan tidak logis, serta menyembunyikan kebenaran seperti mereka telah terbutakan. Kenyataan ini bahkan lebih parah dan tidak terbayangkan bila dibandingkan dengan orang-orang Mesir yang menyembah Dewa Matahari, Ra, penyembahan tiang totem di sebagian wilayah Afrika, kaum Saba yang menyembah matahari, kaum Ibrahim a.s. yang menyembah anak sapi.
Kenyataannya, situasi ini tidak ada alasannya, sebagaimana ditunjukkan Allah dalam Al-Qur`an. Ia menunjukkan dalam banyak ayat bahwa pikiran beberapa orang akan ditutup dan mereka tidak dapat melihat kebenaran. Berikut ini beberapa ayat-ayat tersebut.

“Sesungguhnya, orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (al-Baqarah [2]: 6-7)

“... mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (al-A’raaf [7]: 179)
“Dan seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus-menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata, ‘Sesungguhnya, pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang-orang yang kena sihir.” (al-Hijr [15]: 14-15)

Kata-kata tidak dapat menggambarkan betapa mengejutkannya hal ini. Mantra ini membawa banyak orang ke dalam biusan sihir, menjauhkan manusia dari kebenaran, dan teori ini tak tergoyahkan selama 150 tahun. Dapat dimengerti bahwa seseorang atau beberapa orang dapat memercayai skenario yang mustahil, bodoh, dan tidak masuk akal. Bagaimanapun juga, “sihir” adalah satu-satunya penjelasan yang memungkinkan bagi orang-orang di seluruh dunia untuk memercayai bahwa atom-atom yang tidak hidup dan tidak memiliki kesadaran, memutuskan untuk bergabung dan membentuk sebuah alam semesta yang dilengkapi tata fungsi, pengaturan, dan kesadaran yang sempurna. Planet bumi dengan semua bentuknya yang sempurna bagi kehidupan, makhluk hidup yang penuh dengan sistem-sistem yang kompleks dan tak terhitung.
Kenyataannya, Allah menunjukkan di dalam Al-Qur`an akan sebuah kisah Nabi Musa a.s. dan Fir’aun bahwa sebagian orang yang mendukung filsafat ateis sebenarnya memengaruhi orang lain dengan sihir. Ketika Musa a.s. melakukannya, ia memerintahkan mereka untuk menunjukkan kemampuan mereka dulu. Ayat tersebut dilanjutkan,

“Musa menjawab, ‘Lemparkanlah (lebih dahulu)!’ Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangakan sihir yang besar (menakjubkan).” (al-A’raaf [7]: 116)

Sebagaimana telah kita lihat, tukang sihir Fir’aun dapat menipu setiap orang kecuali Musa a.s. dan mereka yang percaya kepadanya. Bagaimanapun juga, bukti-bukti yang diajukan oleh Musa a.s. mematahkan mantra atau menelan apa yang telah mereka palsukan, sebagaimana ayat,

“Dan Kami wahyukan kepada Musa, ‘Lemparkanlah tongkatmu!’ Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. Karena itu, nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Maka mereka kalah di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina.” (al-A’raaf [7]: 117-119)

Sebagaimana kita lihat dalam ayat tersebut, ketika disadari bahwa apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang sebelumnya telah mempraktikkan mantra pada orang lain, hanyalah ilusi semata. Mereka kehilangan semua kepercayaan. Sekarang ini pun, mereka yang berada di bawah pengaruh mantra sihir yang sama percaya pada pernyataan yang menggelikan ini, di bawah kedok sains yang menjijikkan. Mereka mengorbankan hidup mereka untuk membela dan melayaninya. Mereka juga akan dipermalukan ketika kebenaran yang nyata terungkap dan mantra sihir tersebut terhapus. Kenyataannya, Malcolm Muggeridge, seorang filsuf ateis dan pendukung teori evolusi, mengakui bahwa ia mengkhawatirkan hal itu,
“Saya sendiri yakin bahwa teori evolusi, khususnya dalam tingkatan aplikasi, akan menjadi salah satu lelucon terbesar dalam buku-buku sejarah masa yang akan datang. Keturunan kita akan heran betapa aneh dan meragukannya sebuah hipotesis dapat diterima dengan mudahnya.”
Masa depan itu tidak jauh. Sebaliknya, orang-orang akan melihat dengan segera bahwa “ketidaksengajaan” bukanlah Tuhan, dan masa depan akan melihat teori evolusi sebagai tipuan terburuk dan mantra sihir yang paling mengerikan di dunia. Mantra tersebut telah mulai terangkat dengan cepat dari bahu orang-orang di seluruh dunia. Banyak orang yang melihat wajah teori evolusi yang sebenarnya akan tertegun takjub bagaimana mereka dapat tertipu olehnya.

Mereka berkata, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
(al-Baqarah [2]: 32)

Tentang Penulis


Penulis dengan nama pena HARUN YAHYA, lahir di Ankara tahun 1956. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan me¬ne¬ngah di Ankara, dia belajar sastra di Universitas Mimar Sinan di Istanbul dan belajar filsafat di Univesitas Is¬tan¬bul. Sejak tahun 1980-an, penulis sudah menerbitkan ba¬nyak bu¬ku tentang politik, hal-hal yang berkaitan dengan agama, dan ilmu pengetahuan. Harun Yahya dikenal luas sebagai se¬orang pengarang yang telah menulis karya-karya sangat pen¬ting yang menyingkap kebohongan para pendukung teori evo¬lu¬si, ketidakabsahan pernyataan mereka, dan persekongkolan ra¬ha¬sia antara Darwinisme dan ideologi-ideologi berlumur da¬rah, seperti fasisme dan komunisme.
Nama penanya yang diambil dari dua nama ”Harun” (Aaron) dan “Yahya” (John) adalah untuk mengenang dua orang na¬¬bi mulia yang telah memerangi kerusakan iman. Stempel Na¬bi saw. pada sampul depan buku-bukunya memiliki arti sim¬bol¬is dan berkaitan dengan isi buku-bukunya. Ini adalah re¬presentasi Al-Qur`an (kitab suci terakhir) dan Nabi Mu¬ham¬mad saw. (rasul penutup). Di bawah bimbingan Al-Qur`an dan Sunnah, penulis mewujudkan tujuannya untuk mematahkan se¬ti¬ap kepercayaan fundamental dari ideologi-ideologi tak ber¬tu¬han, dan sebagai “kata akhir”, sehingga dapat benar-benar mem¬bungkam bantahan-bantahan terhadap agama. Stempel Rasul pe¬nu¬tup (Muhammad saw.), yang telah mendapat karunia ke¬arif¬an dan akhlaq mulia, digunakan sebagai simbol dari ke¬inginan untuk menyampaikan perkataan paripurna ini.
Semua karya Harun Yahya terfokus pada satu sasaran: untuk menyampaikan pesan Al-Qur`an kepada manusia, meng¬gu¬gah mereka untuk berpikir tentang hal-hal yang berkaitan de¬ngan keimanan (seperti keberadaan Allah, keesaan-Nya, dan hari akhir), dan untuk memaparkan kelemahan fondasi dan kesesatan ideologi-ideologi dari sistem-sistem antituhan.
Harun Yahya mensyukuri meluasnya jumlah pembaca di ba¬nyak negeri, dari India sampai Amerika, Inggris sampai In¬do¬¬nesia, Polandia sampai Bosnia, dan Spanyol sampai Brazil. Sebagian buku-bukunya telah hadir dalam bahasa Inggris, Pran¬cis, Jerman, Spanyol, Italia, Portugis, Urdu, Arab, Al¬ba¬nia, Rusia, Serbia-Kroasia (Bosnia), Polandia, Melayu, Uy¬gur Turki, dan Indonesia, dan semua itu dinikmati oleh pa¬ra pembaca di seluruh dunia.
Buku-buku karya Harun Yahya ini mendapat sambutan luar bi¬asa di seluruh dunia. Karya-karyanya itu menjadi sarana am¬puh bagi banyak orang untuk memantapkan iman mereka ke¬pa¬da Allah dan bagi sebagian yang lain untuk memperoleh ke¬pa¬ham¬an lebih mendalam. Kearifan dan ketulusan disertai gaya pe¬nulisan yang mudah dimengerti, membuat buku-bukunya sa¬ngat menyentuh, yang secara langsung memberikan efek pada si¬apa saja yang membaca atau mempelajarinya. Terbebas dari ke¬raguan, karya-karya Harun Yahya memiliki karakter yang is¬ti¬mewa, hasil yang pasti, dan tak terbantahkan. Tipis ke¬mung¬kinan, mereka yang membaca buku-buku ini dan me¬ne¬la¬ah¬nya secara bersungguh-sungguh, masih membela filsafat ma¬te¬ri¬alisme, ateisme, atau ideologi dan filsafat sesat la¬in¬nya. Andaipun masih tetap membelanya, itu tak lain dari do¬rong¬an sentimen belaka karena buku-buku ini membongkar ke¬pal¬su¬an paham-paham tersebut secara menyeluruh mulai dari ele¬men-elemen dasarnya. Semua gerakan kontemporer yang meno¬lak (agama) sudah dilumpuhkan secara ideologis berkat kum¬pul¬an buku-buku karya Harun Yahya.
Tidak disangsikan bahwa keistimewaan ini merupakan bu¬ah kearifan dan kejelasan Al-Qur`an yang mudah dipahami se¬ti¬ap insan. Secara sederhana, penulis ingin menjadikannya se¬bagai sarana dalam mencari jalan kebenaran dari Allah. Ti¬dak ada keuntungan materi yang dikejar dari penerbitan kar¬ya-karya ini.
Dengan mempertimbangkan fakta-fakta tersebut, mereka yang mendorong orang untuk membacanya, yang membuka “mata” ha¬ti, serta yang membimbing mereka menjadi hamba-hamba yang ber¬bakti setulusnya kepada Allah, berarti telah ber¬in¬ves¬ta¬si amal kebajikan yang tak ternilai.
Sementara itu, merupakan penyia-nyiaan waktu dan te¬na¬ga untuk mendakwahkan buku-buku lain yang mengundang ke¬bi¬ngung¬an, menjerumuskan manusia ke dalam ideologi yang me¬ru¬sak, dan yang jelas-jelas tidak dapat melenyapkan keragu-ra¬gu¬an. Jelas, tidak mungkin bagi buku-buku yang hanya me¬ni¬tikberatkan pada kajian literatur—bukan untuk tujuan mu¬li¬a, yaitu menyelamatkan manusia dari kehilangan keimanan—akan memiliki dampak besar. Mereka yang meragukannya dapat se¬gera melihat bahwa satu-satunya tujuan dari buku-buku Ha¬run Yahya ini adalah untuk menghancurkan kekufuran dan me¬na¬¬nam¬kan nilai-nilai moral Al-Qur`an. Keberhasilan, peng¬aruh, dan keikhlasan dari usaha ini akan terlihat pada ke¬ya¬kinan para pembacanya.
Satu hal yang harus tetap diingat bahwa penyebab utama ber¬langsungnya tindak kekerasan, pertikaian, dan semua pen¬de¬ritaan yang dialami sebagian besar umat manusia adalah me¬¬nyebarnya ideologi-ideologi kafir. Keadaan ini hanya da¬pat diakhiri dengan menghancurkan ideologi kemunafikan dan ke¬kafiran serta dengan memberikan pemahaman akan hakikat pen¬¬cip¬taan alam semesta dan penerapan moral qur`ani sebagai pe¬doman hidup manusia. Dengan mempertimbangkan keadaan du¬nia masa kini, yang menjerumuskan manusia ke dalam pusaran ke¬kerasan yang kian memburuk, korupsi, dan perselisihan, je¬laslah betapa mendesaknya usaha ini untuk dilaksanakan se¬ca¬ra efektif. Jika tidak, tentu akan sangat terlambat.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa menyebarnya bu¬ku-buku Harun Yahya telah mengemban tugas utama ini. De¬ngan kehendak Allah, buku-buku ini akan menjadi alat untuk me¬raih kedamaian, keadilan, dan kebahagiaan sebagaimana di¬jan¬jikan di dalam Al-Qur`an.
Karya-karya Harun Yahya meliputi: The New Masonic Or¬der, Judaism and Freemasonry, Global Freemasonry, Night Tem¬¬plars, Islam Denounces Terrorism: The Ritual of the De¬vil, The Disasters Darwinism Brought to Humanity, Communism in Ambush, Fascism: The Bloody Ideology of Darwinism, The ‘Sec¬ret Hand’ in Bosnia, Behind the Scenes of The Ho¬lo¬caust, Behind the Scenes of Terrorism, Israel’s Kurdish Card, The Oppression Policy of Communist China and Eastern Tur¬kestan, Palestine, Solution: The Values of the Al-Qur`an, The Winter of Islam and Its Expected Spring, Ar¬tic¬l¬es 1-2-3, A Weapon of Satan: Romanticism, Signs from the Chap¬ter of the Cave to the Last Times, Signs of the Last Day, The Last Times and The Beast of the Earth, Truths 1-2, The Western World Turns to God, The Evolution Deceit, Pre¬ci¬se Answers to Evolutionists, The Blunders of Evo¬lu¬ti¬on¬ists, Confession of Evolutionists, The Al-Qur`an Denies Dar¬winism, Perished Nations, For Men of Understanding, The Pro¬phet Musa (as.). The Prophet Yusuf (as.), The Prophet Mu¬hammad (saw.), The Prophet Sulaiman (as.), The Golden Age, Allah’s Artistry in Colour, Glory is Everywhere, The Im¬portance of the Evidences of Creation, The Truth of Life of This World, The Nightmare of Disbelief, Knowing the Truth, Eternity Has Already Begun, Timelessness and the Re¬al¬¬ity of Fate, Matter: Another Name for Illusion, The Lit¬tle Man in the Tower, Islam and the Philosophy of Karma, The Dark Magic of Darwinism, The Religion of Darwinism, The Collapse of the Theory of Evolution in 20 Questions, Allah is Known Through Reason, The Al-Qur`an Leads the Way to Sci¬en¬ce, The Real origin of Life, Consciousness in the Cell, Technology Imitates Nature, A String of Miracles, The Crea¬tion of the Universe, Miracles of the Al-Qur`an, The De¬sign in Nature, Self-Sacrifice and Intelligent Behaviour Mo¬dels in Animals, The End of Darwisnism, Deep Thinking, Ne¬ver Plead Ignorance, The Green Miracle: Photosynthesis, the Miracle in the Cell, The Miracle in the Eye, The Mi¬rac¬le in the Spider, The Miracle in the Gnat, The Miracle in the Ant, The Miracle of the Immune System, The Miracle of Cre¬ation in Plants, The Miracle in the Atom, The Miracle in the Honeybee, The Miracle of Seed, The Miracle of Hormone, The Miracle of the Termite, The Miracle of the Human Body, The Miracle of Man’s Creation, The Miracle of Protein, The Miracle of Smell and Taste, The Miracle of Microworld, The Sec¬rets of DNA.
Karyanya untuk buku anak-anak karyanya adalah: Wonders of Allah’s Creation, The World of Animals, The Glory in the Hea¬vens, Wonderful Creatures, Let’s Learn Our Islam, The World of Our Little Friends: The Ants, Honeybees That Build Per¬fect Combs, Skillful Dam Builders: Beavers.
Karya-karyanya yang berkenaan dengan tema-tema Al-Qur`an meliputi: The Basic Concepts in the Al-Qur`an, The Mo¬ral Values of the Al-Qur`an , Quick Grasp of Faith 1-2-3, Ever Thought About the Truth?, Crude Understanding of Dis¬be¬lief, Devoted to Allah, Abandoning the Society of Ig¬no¬ran¬ce, The Real Home of Believers: Paradise, Knowledge of the Al-Qur`an, Al-Qur`an Index, Emigrating for the Cause of Al¬lah, The Character of the Hypocrite in the Al-Qur`an, The Sec¬rets of the Hypocrite, The Names of Allah, Communicating the Message and Disputing in the Al-Qur`an, Answers from the Al-Qur`an, Death Resurrection Hell, The Struggle of the Mes¬sangers, The Avowed Enemy of Man: Satan, The Greatest Slan¬der: Idolatry, The Religion of the Ignorant, The Ar¬ro¬gan¬ce of Satan, Prayer in the Al-Qur`an, The Theory of Evo¬lu¬tion, The Importance of Conscience in the Al-Qur`an, The Day of Resurrection, Never Forget, Disregarded Judgements of the Al-Qur`an, Human Characters in the Society of Ignorance, The Importance of Patience in the Al-Qur`an, Ge¬ne¬ral Information from the Al-Qur`an, The Mature Faith, Be¬fo¬re You Regret, Our Messangers Say, The Mercy of Be¬li¬ev¬ers, The Fear of Allah, Jesus will Return, Beauties Pre¬sen¬ted by the Al-Qur`an for Life (Beauties for Life in The Qur`an) , a Bouquet of the Beauties of Al¬lah 1-2-3-4, The Iniquity Called “Mockery” The Mystery of the Test, The True Wisdom According to the Al-Qur`an, The Strug¬gle with the Religion of Irrelegion, The School of Yu¬suf, The Alliance of the Good, Slanders Spread Against Mus¬lims Throughout History, The Importance of Following the Good Word, Why Do You Deceive Yourself?, Islam: The Re¬li¬gi¬on of Ease, Enthusiasm and Excitement in the Al-Qur`an, See¬ing Good in All , How do the Unwise Interpret the Al-Qur`an? Some Secrets of the Al-Qur`an, The Courage of Be¬liev¬ers, Being Hopeful in the Al-Qur`an, Justice and To¬le¬ran¬ce in the Al-Qur`an, Basic Tenets of Islam, Those Who do not Listen to the Al-Qur`an, Taking the Al-Qur`an as a Guide, a Lurking Threat: Heedlessness, Sincerity Described in the Al-Qur`an.