Selasa, November 10, 2009

NAMA-NAMA MENTRI KABINET INDONESIA BERSATU JILID II

Berikut ini adalah nama ke-34 calon mentri dan dua calon pejabat tinggi tersebut.

1. Menko Politik, Hukum, dan Keamanan: Marsekal TNI Purn Djoko Suyanto
2. Menko Perekonomian: Hatta Rajasa
3. Menko Kesra: Agung Laksono
4. Menteri Sekretaris Negara: Sudi Silalahi
5. Menteri Dalam Negeri: Gamawan Fauzi
6. Menteri Luar Negeri: Marty Natalegawa
7. Menteri Pertahanan: Purnomo Yusgiantoro
8. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia: Patrialis Akbar
9. Menteri Keuangan: Sri Mulyani
10. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral: Darwin Zahedy Saleh
11. Menteri Perindustrian: MS Hidayat
12. Menteri Perdagangan: Mari Elka Pangestu
13. Menteri Pertanian: Suswono
14. Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM: Syarif Hasan
15. Menteri Perhubungan: Freddy Numberi
16. Menteri Kelautan dan Perikanan: Fadel Muhammad
17. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi: Muhaimin Iskandar
18. Menteri Pekerjaan Umum: Djoko Kirmanto
19. Menteri Kesehatan: Nila Afansa Moeloek
20. Menteri Pendidikan Nasional: M Nuh
21. Menteri Agama: Suryadharma Ali
22. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata: Jero Wacik
23. Menneg Riset dan Teknologi: Suharna Surapranata
24. Menteri Sosial: Salim Assegaf Al'jufrie
25. Menneg Lingkungan Hidup: Gusti Moh Hatta
26. Menteri Kehutanan: Zulkifli Hasan
27. Menneg Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Linda Agum Gumelar
28. Menneg Pendayagunaan Aparatur Negara: E.E. Mangindaan
29. Menneg Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal: Helmy Faisal Zaini
30. Menneg PPN/Kepala Bappenas: Armida Alisjahbana
31. Menneg BUMN: Mustafa Abubakar
32. Menteri Komunikasi dan Informatika: Tifatul Sembiring
33. Menneg Perumahan Rakyat: Suharso Manoarfa
34. Menneg Pemuda dan Olahraga: Andi Mallarangeng

Pejabat Setingkat Menteri

Kepala BIN: Jenderal Pol Purn Sutanto
Kepala BKPM: Gita Wirjawan

Nama nama menteri - Susunan Sementara 34 Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II sumber kompas.

Semoga Dengan Menteri - Menteri baru Indonesia Bisa lebih Maju Lagi. Menteri Blogger Indonesia kok gak ada yahh LOL :)>?

Update...

Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II akhirnya disampaikan Presiden SBY secara resmi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu (21/10/2009) pukul 22.00 WIB. Ikut dalam jumpa pers adalah para menteri KIB I dan juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng dan Dino Patti Djalal.

Susunan Kabinet Indonesia Bersatu 2

MENTERI KOORDINATOR

1. Menko Politik Hukum dan Keamanan : Marsekal (Purn) Djoko Suyanto
2. Menko Perekonomian : Hatta Rajasa
3. Menko Kesra : R Agung Laksono
4. Sekretaris Negara : Sudi Silalahi

MENTERI DEPARTEMEN

1. Menteri Dalam Negeri : Gamawan Fauzi
2. Menteri Luar Negeri : Marty Natalegawa
3. Menteri Pertahanan : Purnomo Yusgiantoro
4. Menteri Hukum dan HAM : Patrialis Akbar
5. Menteri Keuangan : Sri Mulyani
6. Menteri ESDM: Darwin Saleh
7. Menteri Perindustrian : MS Hidayat
8. Menteri Perdagangan : Mari E. Pangestu
9. Menteri Pertanian : Suswono
10. Menteri Kehutanan : Zulkifli Hasan
11. Menteri Perhubungan : Freddy Numberi
12. Menteri Kelautan dan Perikanan : Fadel Muhammad
13. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi : Muhaimin Iskandar
14. Menteri Pekerjaan Umum : Djoko Kirmanto
15. Menteri Kesehatan : Endang Rahayu Sedyaningsih
16. Menteri Pendidikan Nasional : Mohammad Nuh
17. Menteri Sosial : Salim Segaf Al Jufri
18. Menteri Agama : Suryadharma Ali
19. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata : Jero Wacik
20. Menteri Komunikasi dan Informatika : Tifatul Sembiring

MENTERI NEGARA

1. Menteri Riset dan Teknologi : Suharna Suryapranata
2. Menteri Koperasi dan UKM : Syarifudin Hasan
3. Menteri Lingkungan Hidup : Gusti Muhammad Hatta
4. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Linda Amalia Sari Gumelar
5. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara : E.E Mangindaan
6. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal : Ahmad Helmy Faishal Zaini
7. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas : Armida Alisjahbana
8. Menteri BUMN : Mustafa Abubakar
9. Menteri Pemuda dan Olahraga : Andi Alfian Mallarangeng
10. Menteri Perumahan Rakyat : Suharso Manoarfa

PEJABAT SETINGKAT MENTERI

1. Kepala BIN: Jenderal (Purn) Sutanto
2. Kepala BKPM: Gita Wirjawan
3. Ketua Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan: Kuntoro Mangkusubroto

Dari susunan sementara anggota Kabinet Indonesia Bersatu jilid II diatas yang berbeda hanya menteri kesehatan saja dimana Posisi ini sebelumnya disebut-sebut ditempati Nila Djuwita Anfasa Moeloek, namun diganti oleh Endang Rahayu Sedyaningsih.

Besok pada 22 Oktober 2009, pukul 13.30 para calon menteri ini akan di lantik menjadi menteri. seperti yang dikatakan SBY saat mengumumkan susunan kabinet periode 2009-2014.


Senin, November 09, 2009

Menagih Janji SBY: Renegosiasi Kontrak Gas Tangguh

Polemik kontrak gas Tangguh menghangat setelah Wapres Jusuf Kalla mempersoalkan murahnya harga jual gas Tangguh ke Fujian, Cina. Sepulang dari lawatannya ke Cina pada bulan Agustus 2008, Jusuf Kalla menyatakan bahwa harga jual gas Tangguh begitu murah jika dibandingkan dengan harga jual gas dunia pada umumnya.

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul 'Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat'.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

Polemik kontrak gas Tangguh menghangat setelah Wapres Jusuf Kalla mempersoalkan murahnya harga jual gas Tangguh ke Fujian, Cina. Sepulang dari lawatannya ke Cina pada bulan Agustus 2008, Jusuf Kalla menyatakan bahwa harga jual gas Tangguh begitu murah jika dibandingkan dengan harga jual gas dunia pada umumnya. JK juga mengemukakan perlunya upaya renegosiasi terhadap kontrak Tangguh yang dinilai sangat merugikan Indonesia.

Pernyataan JK ini sempat memicu perdebatan hangat di sejumlah media. Pasalnya, polemik kontrak Tangguh ini berubah menjadi bola liar yang merembet ke ranah politis. Setidaknya, ada dua hal yang menyebabkan mengapa polemik Tangguh ini mengarah pada isu politis. Pertama, kontrak gas Tangguh merupakan kontrak yang ditandatangani pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, yang saat ini rajin mengkritik kinerja pemerintahan SBY-JK. Kedua, Fraksi PDIP di DPR merupakan fraksi yang getol mendorong dibentuknya pansus hak angket DPR terkait kebijakan kenaikan harga BBM oleh pemerintahan SBY-JK. Beberapa kalangan menilai bahwa isu ini menjadi senjata pamungkas bagi pemerintah untuk menyerang balik kubu PDIP.

Namun, terlepas dari polemik tersebut, persoalan kontrak gas Tangguh seharusnya disikapi secara kritis-objektif oleh seluruh anak bangsa. Faktanya, kontrak Tangguh merupakan kontrak penjualan gas yang berpotensi sangat merugikan Indonesia. Hal ini terungkap dari pernyataan Wapres JK yang menyatakan bahwa potensi kerugian dari kontrak Tangguh bisa mencapai hingga Rp 750 triliun. Angka kerugian ini dihitung atas dasar harga minyak yang berlaku di pasar sekitar Rp US$ 120 per barel (pada Agustus 2008) Dalam kontrak tersebut, gas Tangguh akan dijual kepada para pembeli di Korea, Cina dan Amerika dengan harga bandrol sebesar US$ 3,35 per mmbtu dalam jangka waktu 25 tahun pada batas harga minyak dunia sebesar US$ 38 per barel. Itupun setelah ada revisi atas batas harga minyak dunia dari US$ 25/barel menjadi US$ 38/barel. Sebelumnya, gas Tangguh hanya dihargai sebesar US$ 2,4 per mmbtu pada batas harga minyak dikisaran US$ 25/barel.

Kronologi Kontrak Gas Tangguh

Kontrak bermula ketika tahun 2001 Indonesian British Petroleum Ltd. (BP. Indonesia) dengan dukungan Pertamina mengajukan penawaran penjualan LNG di provinsi Guangdong, Cina. Namun dalam proses tender tersebut, penawaran Indonesia dikalahkan oleh Australian North West Shelf, sebuah perusahan asal Australia yang merupakan perusahaan patungan Woodside, Royal Dutch/Shell Group, Chevron Texaco Corp, BHP Biliton, British Petroleum dan Japan-Australia LNG.

Tetapi pada tanggal 8 Agustus 2002, PM Cina Zhu Rongji menunjuk langsung Indonesia sebagai pemasok LNG ke provinsi Fujian sebanyak 2,6 juta ton per tahun selama 25 tahun. Menindaklajuti hal tersebut, pada tanggal 24 September 2002, Pertamina menandatangani kontrak penjualan dengan CNOOC untuk pengiriman ke Fujian dengan harga jual Us$ 2,4 per mmbtu. Kemudian pada tanggal 27 September 2002, CNOOC membeli 12,5% saham British Petroleum Plc. (BP) di ladang gas Tangguh.

Baru saja kontrak berjalan, pada tahun 2004 BP selaku kontraktor sudah mengajukan perpanjangan kontrak kepada pemerintah. Dalam pengajuan perpanjangan kontrak ini muncul persoalan karena BP mengajukan klausul ”Government Act”, dimana kontraktor meminta agar pemerintah membayar penalti jika ada kebijakan yang bisa mengganggu pengiriman gas ke pembeli nilainya maksimal US$ 300 juta. Dalam artian bahwa jika terjadi kegagalan pengiriman gas meski diluar bencana alam sekalipun, BP menganggap bahwa hal tersebut termasuk kategori force majeure sehingga dengan demikian maka BP akan terbebas dari segala kewajiban.

Usulan ini tentunya diluar batas kewajaran mengingat selama ini tidak ada satu pun kontrak kerjasama migas di Indonesia yang mengatur term ”Government Act” tersebut. Namun meski sempat ditolak, negosiasi akhirnya berujung pada kesepakatan pada batasan government act yang dipersempit, meliputi keputusan presiden dan satu tingkat dibawahnya yaitu keputusan menteri. Klausul ini tentunya tetap saja berlebihan dan semestinya tidak perlu disepakati.

Setelah muncul kritik dari berbagai kalangan, pada Januari 2006 BP Migas akhirnya menegosiasi CNOOC agar merevisi harga jual gas Tangguh yang dinilai terlalu murah. Namun CNOOC hanya merevisi harga pada kisaran angka US$ 3,35 per mmbtu. Harga tersebut tidak berubah hingga kini, meskipun harga minyak dunia kini telah telah beranjak kembali mendekati angka US$ 70/barel (Agustus 2009), setelah sebelumya pernah mencapai angka tertinggi sekitar US$ 147,27/barel pada Juli 2008.

Rencana dan Pelaksanaan Proyek

Berdasarkan rencana awal, pembangunan proyek diperkirakan membutuhkan dana sekitar US$ 6,5 miliar, US$ 3 miliar merupakan modal sendiri dari kontraktor dan 3,5 miliar sisanya berupa pinjaman. Pinjaman pertama sebesar US$ 2,6 miliar ditandatangai pada bulan Juli 2006, berasal dari Japan Bank for International Corporation (JBIC) US$1,2 miliar, Asia Development Bank (ADB) US$ 350 juta, dan konsosrsium 7 bank (BoJ, Mitsubishi UFJ, BNP Paribas, ING, Mizuho, Sumitomo Mitsui dan StanChart) sebesar US$ 1,066 miliar. Pinjaman berikutnya berasal dari konsorsium 6 bank asing lainnya sebesar US$ 884 juta.

Dalam pelaksanaanya, total investasi proyek ternyata lebih rendah dan diperkirakan menjadi US$ 5 miliar atau sekitar Rp 50,6 triliun. Namun, meskipun pengiriman gas telah dimulai sejak Juli 2009 yang lalu, hingga saat ini belum diperoleh total investasi resmi yang disampaikan oleh kontraktor ataupun oleh pemerintah.

Kilang gas Tangguh dioperasikan oleh konsorsium yang dipimpin oleh BP Indonesia. Seluruh kontraktor proyek gas Tangguh adalah perusahaan asing yang terdiri dari BP (nilai saham 37,16%), CNOOC (16,99%), Mitsubishi & Inpex Berau BV (16,3), Nippon Oil Exploration Ltd (12,23%), KG Berau/KG Wiriangar (10%) dan LNG Japan (7,3%). Kontrak penjualan gas pertama kali ditandatangani pada tahun 2002 dengan FCC Fujian, kemudian dengan K-Power dan Posco Korea pada tahun 2004, serta Sempra California pada tahun 2006. Proyek awalnya didesain untuk mampu berproduksi minimal 7 juta metrik ton pada tahun 2007.

Berdasarkan kontrak dengan para pembeli gas potensial, kilang Tangguh pertama kali direncanakan berkapasitas 7,6 juta ton per tahun, yang akan diekspor terutama ke Amerika, Jepang dan Korea. Distribusi produksi gas 7,6 juta ton per tahun ini masing-masing adalah 3,7 juta ton ke Sempra, California, Amerika (selama 20 tahun), 0,55 juta ton ke K-Power, Korea (20 tahun), 0,55 juta ton ke Posco, Korea (20 tahun) dan 2,6 juta ton ke JCC Fujian, China (25 tahun).

Harga jual gas kepada pembeli yang ditetapkan pada tahun 2002-2004 sangat rendah yaitu sekitar US$ 2,4/mmbtu, tergantung harga minyak yang berlaku dengan batas atas US$ 25/barel. Sebagai hasil negosiasi yang dilakukan, pada bulan Maret 2006 rujukan batas atas harga minyak untuk harga gas yang dijual ke FCC Fujian berubah menjadi US$ 38/barel. Artinya harga jual gas ke FCC Fujian menjadi US$ 3,35/mmbtu. Pada bulan Juni 2006, harga jual gas kepada Posco Korea dan K-Power juga berubah menjadi US$ 3,35/mmbtu. Diperoleh informasi bahwa konon harga jual ke Sempra berfluktuasi sesuai Socal, Southern California Index Price. Namun hal ini masih perlu dikonfirmasi.

Pada bulan Juli 2008 disepakati penjualan gas kepada Korea Gas (Kogas) dengan harga US$ 8,21/mmbtu. Pasokan gasnya akan diambil dari gas yang rencananya akan dikirim ke Sempra. Hal ini tidak bermasalah karena ada klausul dalam kontrak bahwa pasokan gas boleh dialihkan bila ada pembeli yang bersedia membeli dengan harga lebih tinggi. Namun tidak diperoleh informasi kapan pengriman ke Kogas akan dilakukan. Pada saat yang bersamaan, negosiasi penjualan juga sedang berlangsung dengan Tohoku, Jepang dan PTT, Thailand.

Train pertama kilang gas Tangguh direncanakan selesai pada kuartal ke-4 tahun 2008, sedang train kedua pada kuartal pertama 2009. Pada praktiknya, train pertama gas Tangguh baru terkirim pertama kali ke Posco Korea pada 6 Juli 2009, sedang ke FCC Fujian terkirim pada tanggal 19 Juli 2009. Adapun train kedua (tertunda karena belum siapnya terminal penerima), adalah pengiriman ke Sempra, California, yang direncanakan September 2009. Diperoleh informasi bahwa ongkos produksi gas Tangguh disebutkan sebagai salah satu yang terendah dibanding kilang lain, yakni US$ 250-270 ribu per ton.

Potensi Pendapatan dan Kerugian Negara

Sumberdaya gas Tangguh tersimpan pada tiga blok gas yang akan dieksploitasi sesuai KKS Wiriagar, Berau dan Muturi. Ketiga blok gas tersebut berlokasi di Teluk Bintuni, Papua Barat. Gas diproduksi dari 2 anjungan lepas pantai tak berawak, disalurkan melalui pipa sepanjang 22 km ke dua kilang pencair gas, yang masing-masing mempunyai kapasitas 3,8 juta ton gas per tahun. Hasil sertifikasi DeGolyer and MacNaughton pada tahun 1998 menunjukkan angka sebesar 14,4 Triliun kaki kubik (tcf) merupakan cadangan gas terbukti.

Dengan potensi gas 14,4 tcf, potensi pendapatan dari Blok Tangguh dapat dihitung berdasarkan rujukan harga rata-rata minyak selama periode eksploitasi sekitar 20 tahun. Dalam hal ini, diasumsikan harga rata-rata minyak adalah US$ 80/barel, cost recovery sebesar 35%, 1 boe = 5.487 cf dan nilai kurs US$/Rp adalah 10.200. Dari simulasi perhitungan yang dilakukan diperoleh potensi pendapatan total gas Tangguh adalah sekitar US$ 210 miliar atau sekitar Rp 2.142 triliun (lihat Simulasi Perhitungan pada Lampiran 1 -3).

Dengan pola bagi hasil pemerintah 60% dan kontraktor 40%, potensi pendapatan yang dapat diperoleh pemerintah dari penjualan gas Tangguh adalah sebesar US$ 108,1 miliar atau sekitar Rp 1.103 triliun. Namun karena batas atas harga minyak dipatok pada US$ 38/barel, potensi besar ini tidak akan diterima negara seluruhnya.

Sebagaimana terjadi tahun 2008 yang lalu, di masa depan harga minyak dunia bisa saja berubah naik menjadi US$ 120/barel, US$ 150/barel, atau bahkan US$ 200/barel. Dengan demikian, harga gas juga ikut naik, lebih besar dari ketika harga minyak US$ 80/barel. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam periode yang panjang, harga minyak akan cenderung terus naik. Oleh sebab itu, sangat wajar jika harga rata-rata gas Tangguh selama 20 tahun periode eksploitasi merujuk kepada harga minyak US$ 100/barel, atau US$ 120/barel.

Jika harga rata-rata minyak selama 20 tahun masa eksplotasi gas Tangguh diasumsikan US$ 100/barel, potensi pendapatan yang diperoleh pemerintah menjadi US$ 135,2 miliar atau sekitar Rp 1.379 triliun. Jika harga rata-rata minyak tersebut adalah US$ 120/barel, maka potensi pendapatan pemerintah dari gas Tangguh adalah US$ 162,2 miliar atau sekitar Rp 1654 triliun.

Potensi pendapatan negara dari penjualan migas akan berubah-ubah tergantung kepada berapa harga minyak yang berlaku di pasar global. Hal ini terjadi misalnya pada penjualan gas dari tambang di Arun (Aceh) maupun Badak (Kaltim). Namun yang terjadi di KKS Tangguh adalah bahwa naik menjadi berapa pun harga minyak dunia, sepanjang tidak melebihi angka US$ 38/barel, harga gas Tangguh selama 20 tahun masa eksploitasi akan tetap US$ 3,35/mmbtu. Dalam hal ini, potensi pendapatan yaang diperoleh pemerintah dari tambang Tangguh selama 20 tahun adalah US$ 51,40 miliar atau sekitar Rp 524 triliun.

Dari uraian di atas terlihat bahwa dengan harga jual gas merujuk harga minyak yang dibatasi (ceiling price) pada US$ 38/barel, negara berpotensi menderita kerugian ratusan triliun rupiah. Besarnya kerugian tergantung kepada berapa harga rata-rata minyak dunia yang berlaku selama 20 tahun masa eksploitasi Gas Tangguh. Pada harga rata-rata minyak US$ 80/barel, potensi kerugian negara adalah (Rp 1.103 – Rp 524) = Rp 579 triliun. Dengan range harga rata-rata minyak antara US$ 80/barel hingga US$ 120/barel, maka potensi kerugian negara akibat kontrak Gas Tangguh yang bermasalah adalah berkisar antara Rp 579 triliun hingga Rp 1130 triliun!

Perlu dicatat bahwa potensi kerugian negara di atas akan berkurang sedemikian besar, sebanding dengan kenaikan harga jual yang disepakati dalam renegosiasi kontrak dengan para pembeli lama seperti FCC Fujian, K-Power, Posco, dan Sempra. Kerugian juga akan lebih kecil jika pemerintah berhasil mendapatkan pembeli baru dengan harga lebih baik, tanpa batas atas, seperti yang disepakati dengan Kogas, Korea.

foto: matanews

***

http://eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menagih-janji-sby-renegosiasi-kontrak-gas-tangguh.htm

Menagih Janji SBY: Renegosiasi Kontrak Gas Tangguh

Potensi kerugian negara ratusan triliun rupiah dari rencana penjualan gas Tangguh berpangkal pada formula harga yang bermasalah yang ditetapkan dalam KKS.

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul 'Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat'.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

Seputar Permasalahan, Sikap, dan Tanggapan

Potensi kerugian negara ratusan triliun rupiah dari rencana penjualan gas Tangguh berpangkal pada formula harga yang bermasalah yang ditetapkan dalam KKS. Formula ini pada awalnya menentukan harga jual gas sesuai dengan fluktuasi harga minyak dengan batas bawah (floor price) US$ 14/barel dan batas atas (ceiling price) US$ 25/barel. Dengan batas atas harga minyak ini, diperoleh harga jual gas Tangguh US$ 2,4 per mmbtu. Belakangan, setelah negosiasi-ulang dengan pihak pembeli pada Maret 2008, ceiling price minyak berubah menjadi US$ 38/barel sehingga harga jual gas menjadi US$ 3,35 per mmbtu. Dengan demikian, hingga berapa pun harga minyak akan naik, harga jual gas Tangguh tidak akan lebih dari US$ 3,35 per mmbtu.

Formula bermasalah ini telah mendapat kecaman dari banyak pihak, termasuk dari Presiden SBY dan Wapres JK. Mereka mempertanyakan pemerintahan masa lalu, yang dipimpin Megawati, dan para pejabat terkait yang terlibat, bagaimana mungkin bersedia menyetujui kontrak gas Tangguh yang sangat merugikan itu. Sejalan dengan itu, SBY dan JK juga telah berkomitmen untuk melakukan negosiasi-ulang atas kontrak Tangguh, terutama atas formula harga jual gasnya.

Pada bulan Agustus 2008 SBY sempat menyatakan, ”Bila tidak diperbarui dengan harga crude saat ini maka akan sangat besar sekali kerugian negara dibanding dengan kontrak yang lain, semisal Bontang dan Arun. Sebesar apa pun akan kita perjuangkan untuk perbaikan kontrak itu. Kalau kontrak merusak rasa keadilan dan merugikan negara dalam jumlah besar tentu harus dinegosiasikan” (Jurnas, 29 Agustus 2008).

JK mengatakan kontrak gas Tangguh merupakan kontrak terjelek dan terparah dalam sejarah Indonesia, sebab harga jual gas Tangguh hanya 5% harga minyak dunia. Padahal formula harga jual gas Arun yang ditandatangani 30 tahun lalu adalah 7,2% dan Bontang 15% harga minyak dunia. ”Kita kehilangan kesempatan pendapatan US$ 3 miliar dolar setahun, kalau dikali 25 tahun jadi Rp 750 triliun,” kata Wapres. Komentar SBY dan JK memang dialamatkan kepada Megawati, yang harus bertanggungjawab atas kontrak terjelek yang berpotensi merugikan negara ratusan triliun ini.

Sebelumnya Wapres JK pernah juga mengungkapkan harga kontrak Tangguh sebagai hasil ”diplomasi dansa” saat Mega berkunjung ke Beijing Maret 2002. Saat jamuan makan malam di Balai Rakyat Agung, Beijing, Presiden China, Jiang Jemin, mengajak Mega berdansa. Wapres berkata, ”...Dansa-dansa yang berputar-putar sambil jual gas dengan murah.” Wapres menjelaskan Indonesia awalnya mengusulkan formula harga jual Tangguh dikaitkan dengan harga minyak dunia. Formula harga demikian telah diterima dan diterapkan di seluruh dunia. ”Eh, tiba-tiba untuk kontrak Tangguh ini, kita keluar dari (rumusan) itu,” kata JK (Republika, 26 Agustus 2008).

Namun, Mega bereaksi dengan mengatakan bahwa SBY dan JK juga terlibat dalam pembahasan kontrak tersebut. Mega mengatakan ”Bilang sama Pak Kalla dia juga ada di situ sama SBY” (Rakyat Merdeka, 26 Agustus 2008). Atas reaksi Mega ini, SBY dan JK membantah. ”Apa betul saya dan JK ikut menentukan harga? Jelas tidak mungkin. Jangan sebarkan berita yang membuat rakyat jadi bingung yang menyebutkan SBY dan JK ikut menentukan harga. Itu tidak benar,” kata SBY. JK juga bereaksi, ”Kami tidak pernah diajak bicara waktu itu. Pada saat kami menjadi Menko Polkam dan Menko Kesra, kami juga tidak ingin mencampuri urusan beliau (Megawati),” kata JK.

Pada saat itu tim negosiasi gas Tangguh dipimpin Taufik Kemas, suami Megawati. Atas peran Taufik Kemas, Sekretaris FPD DPR Sutan Bathoegana sempat berkata, ”Bahwa soal Tangguh itu dulu, Mbak Mega sudah banyak salahnya. Selain itu yang juga salah adalah Pak TK (Taufik Kemas).” Sutan menambahkan, ”Sejak kapan UU memperbolehkan legislatif melakukan tugas eksekutif?”(Inilah.Com, 26/8/2009). Atas polemik tentang kerugian negara di atas, Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro (PY) membela diri. PY mangatakan harga jual gas sebesar US$ 2,4 per mmbtu yang tertuang dalam kontrak Tangguh pada dasarnya sudah sesuai dengan perhitungan harga minyak dunia yang diperkirakan hanya mencapai US$ 25/barel. ”Harganya pakai formula juga. Cuma harga minyak waktu itu berkisar antara US 10-20 per barel. Jadi hitungannya dipatok US$ 25. Kita tidak pernah tahu harga minyak melonjak,” kata PY yang saat itu juga sudah menjabat sebagai Menteri ESDM.

Tidak ada seorang pun tahu apa yang akan terjadi esok, juga tak ada yang tahu berapa harga minyak pada setahun, lima tahun, atau sepuluh tahun yang akan datang. Kita hanya bisa memprediksi, terutama belajar dari pengalaman masa lalu dengan menggunakan berbagai kondisi, variabel, dan metode perhitungan. Dengan perkiraan tersebut, kita bisa menyiapkan berbagai langkah dan strategi antisipatif, termasuk menyiapkan formula harga jika harga minyak naik dimasa yang akan datang. Langkah antisipatif inilah yang telah dilakukan oleh para pejabat penyusun kontrak Arun dan Badak 30 tahun yang lalu, sehingga harga jual gas nya jauh lebih besar dibanding harga jual gas Tangguh (hingga mencapai US$ 20/mmbtu).

Rasanya terlalu naif untuk percaya bahwa Menteri ESDM tidak belajar dari pengalaman kontrak Arun dan Badak ini. Apalagi beliau adalah seorang Doktor di bidang Migas yang telah menekuni bidangnya puluhan tahun. Kita juga sulit untuk percaya atas pernyataan beliau di atas ”... harganya dipatok US$ 25. Kita tidak pernah tahu harga minyak melonjak...” Oleh sebab itu, beliau patut diduga menyembunyikan sesuatu dalam formula harga gas Tangguh yang merugikan itu. Hal ini pantas untuk diusut. Kita harus meminta pertanggungjawaban beliau, termasuk tentu saja, pertanggungjawaban dari kepala negara sebagai pengambil keputusan.

Atas perlunya menuntut pertanggungjawaban PY, Jubir Kepresidenan, Andi Malarangeng, pernah mengatakan keputusan kontrak Tangguh bisa ditinjau lagi, terutama menteri mana yang membuat keputusan. Andi mengatakan, ”Saat itu kan dilihat siapa saja. Selidiki saja siapa yang bertanggungjawab, siapa yang negosiasi.” Artinya Andi dan SBY setuju agar para pejabat dan menteri yang telibat diselidiki, diusut, termasuk PY. Andi juga setuju penyelidikan kasus ini dilakukan banyak pihak, termasuk oleh DPR.

Pengamat Migas, Dr Kurtubi, pernah mengatakan bahwa saat itu tidak mungkin Megawati mengetahui secara detail formula harga yang disepakati. Pemerintah seharusnya memberi sanksi kepada pejabat-pejabat yang terbukti merugikan negara. PY harus bertanggung jawab ”karena menyetujui secara teknis harga jual yang sangat murah” kata Kurtubi.”

Prof. Amien Rais bersama penulis dan Pokja Komite Penyelamat Kekayaan Negara (KPK-N), Tjatur Sapto Edi, Adhie Massardi, dan Chandra T Wijaya, mendukung penuntasan kasus Tangguh. Prof. Amien berkeyakinan bahwa jika kasus kontrak Tangguh dibuka akan terkuak lebar bahwa negara telah dijual kepada asing dan rusaknya negeri ini. Prof Amien mengatakan, ”Ini sangat menyakitkan rakyat.”

Dalam praktiknya, setelah setahun berlalu, ”pembukaan” kasus Tangguh masih belum jelas prospeknya: apakah ada yang akan diusut, disidik, atau diminta pertanggungjawaban. Tim negosiasi yang dipimpin oleh Menko Perekonomian pun belum juga menyampaikan progres renegosiasi kontrak. Kita khawatir bahwa sikap dan ucapan-ucapan para pejabat yang mengecam harga gas Tangguh itu, termasuk SBY dan JK, hanya didasarkan pada kepentingan politik dan persaingan Pemilu/Pilpres, atau gejolak politik terkait Angket BBM tahun 2008, bukan pada kepentingan negara dan rakyat yang lebih besar. Mudah-mudahan kekhawatiran ini salah.

Beberapa Catatan Penting

Ada beberapa catatan penting dalam permasalahan kontrak gas Tangguh yang semestinya mendapat perhatian khusus bangsa ini ke depan, sekaligus dalam kaitannya dengan upaya Indonesia untuk melakukan renegosiasi kontrak Tangguh. Isu-isu tersebut diantaranya sebagai berikut.

Pertama, masalah formulasi harga jual gas Tangguh yang sangat merugikan, dimana harga LNG Tangguh dipatok secara flat pada batas tertentu harga minyak dunia. Formulasi inilah yang berpotensi menyebabkan harga jual gas Tangguh menjadi sangat murah. Bayangkan, dalam jangka waktu 25 tahun harga LNG Tangguh dipatok pada angka US$ 3,35 per mmbtu berdasarkan nilai batas harga minyak dunia sebesar US$ 38/barel. Padahal, pada tahun 2008 saja harga minyak dunia pernah menyentuh angka US$ 147,27/barel.

Formulasi ini diyakini sebagai akar masalah dan sumber ketidakadilan dalam kontrak LNG Tangguh. Beberapa sumber bahkan mengatakan bahwa formulasi ini juga tidak pernah diadopsi dalam kontrak-kontrak LNG yang pernah ada di Indonesia sebelumnya. Secara umum, baik di dalam maupun diluar negeri, penentuan harga jual gas disesuaikan dengan fluktuasi harga pasar minyak mentah dunia.

Pengamat perminyakan, Kurtubi misalnya meyebutkan bahwa harga gas di pasar spot Henry Hub di Oklahoma, harga LNG yang diimpor Jepang dan harga gas melalui pipa dari Rusia ke Eropa Barat sangat dinamis, bisa naik-turun tergantung pada fluktuasi harga minyak mentah (lihat Perbandingan Harga Gas pada Tabel 1).

Kurtubi menambahkan juga pengalaman di dalam negeri, dimana harga jual gas dari Badak disesuaikan dengan fluktuasi harga minyak dunia sehingga harganya bisa naik-turun. Ini tentunya sangat fair, baik bagi penjual maupun pembeli. Dengan asumsi harga minyak mentah sekitar US$ 70/barel saja maka harga gas Badak bisa mencapai angka US$ 11/mmbtu. Sedangkan harga LNG tangguh tetap pada angka US$ 3,35/mmbtu (lihat Tabel Perbadingan Harga Gas Tangguh & Badak pada Tabel 2).

Kita tidak pernah tahu, apa motif sesungguhnya yang melatarbelakangi pemerintahan Megawati menyetujui formulasi harga jual LNG Tangguh. Benarkah persoalan ketiadaan peminat pada saat penawaran tahun 2002 merupakan satu-satunya alasan yang menyebabkan pemerintah begitu lemah sehingga terpaksa menyetujui formulasi harga gas tangguh tersebut. Padahal, banyak pakar ekonomi energi dunia sepakat bahwa permintaan LNG kedepan hingga tahun 2030-2050 sangat cerah karena adanya kecenderungan untuk menggunakan energi yang lebih bersih seperti gas. Hal ini tentunya harus diungkap secara lebih mendalam.

Namun, fakta membuktikan bahwa formulasi inilah yang mengakibatkan harga jual gas Tangguh menjadi anjlok dan cenderung merugikan Indonesia. Sementara, saat ini tingkat kebutuhan pasokan gas bagi kebutuhan dalam negeri sangat besar. Ironisnya, ketika PLN harus bersusah payah membeli gas dengan harga yang tinggi demi pemenuhan bahan bakar, disisi lain gas Tangguh malah diobral murah ke Cina.

Kedua, persoalan lambatnya pemerintah dalam menegosiasi lang kontrak Tangguh. Hingga kini tim negosiasi yang ditunjuk oleh Presiden SBY belum memperlihatkan perkembangan yang berarti. Berlarut-larutnya proses negosiasi ini semakin memperkuat dugaan bahwa tim yang dipimpin oleh Menko Ekonomi Sri Mulyani ini sepertinya akan menunggu hingga tahun 2010 untuk melakukan negosiasi sebagaimana diatur dalam kontrak. Padahal, pengiriman LNG Tangguh ke Cina sudah dilakukan tahun 2009 ini.

Permasalahan lainnya adalah lemahnya posisi tawar pemerintah dalam melakukan negosiasi. Dalam proses perpanjangan kontrak operasi yang diajukan oleh BP pada tahun 2004 misalnya, tim negosiasi tidak dapat bersikap tegas menolak klausul “Government Act” yang diajukan BP. Padahal jelas-jelas klausul tersebut tidak lumrah dan tidak menguntungkan Indonesia, bahkan tidak pernah ada dalam kontrak-kontrak pengelolaan sebelumnya.

Sebetulnya, pemerintah tak perlu ragu melakukan renegosiasi kontrak, karena secara objektif, kita dapat menunjukkan fakta-fakta kontrak tersebut jelas sangat merugikan. Sebagai negara bermartabat, Indonesia sangat menghargai asas pacta sunt servanda yang menegaskan kewajiban para pihak untuk menghormati dan mematuhi sebuah perjanjian yang telah disepakti. Namun sebagai negara yang berdaulat, kita juga harus mengedepankan kepentingan nasional dan memegang azas keadilan, serta menolak perilaku KKN. Jangan sampai sebuah kontrak yang disepakati, keberadaannya justru merugikan salah satu pihak, apalagi pihak ini adalah sebuah negara.

Dengan demikian, sebagai pemilik ladang gas Tangguh, kita tidak perlu melakukan renegosiasi ala Hugo Chavez atau Evo Morales, presiden Venezuala dan Bolivia yang dikenal sangat berani. Tapi cukup dengan penuh rasa percaya diri menyatakan bahwa secara objektif, kontrak Tangguh sangat merugikan Indonesia sehingga perlu direnegosiasi.

Kita pun sebetulnya bisa saja memutus kontrak Tangguh dengan membayar penalti sekitar US$ 300 juta. Mengingat jumlah denda tersebut bukanlah nilai yang besar jika dibandingkan dengan besarnya kerugian yang akan kita alami jika tetap mempertahankan ketentuan kontrak. Lebih baik gas Tangguh kita gunakan untuk pemenuhan pasokan gas dalam negeri ketimbang diobral dengan harga murah. Namun, pemutusan kontrak secara sepihak, tentunya bukan merupakan opsi terbaik, mengingat masih ada opsi-opsi lain yang bisa diupayakan. Opsi ini memang sudah berlalu dengan terlaksananya pengiriman gas Juli 2009 yang lalu.

Ketiga, kasus Tangguh telah memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa pola pengembangan pengelolaan Migas berdasarkan UU Migas No. 22 Tahun 2001 yang menyerahkan pengelolaan sepenuhnya kepada non-BUMN sudah semestinya dikaji kembali. BP Migas sebagai BHMN sangat tidak layak untuk berbisnis dengan cara menunjuk pihak lain sebagai penjual gas berdasarkan Pasal 44 UU Migas, dalam hal ini BP Migas menunjuk BP yang asing, bukan Pertamina, untuk menjual gas Tangguh.

Perusahaan minyak asing dan domestik tetap diperlukan dalam mengembangkan industri migas nasional, namun sebaiknya berkejasama dengan entitas bisnis negara yang diwakili BUMN dalam pola hubungan B to B (business to busibess). Pola B to B ini lebih efisien dan lebih baik daripada pola B to G (business to government) sebagaimana kini berlaku. Sementara, pemegang kebijakan dan regulator dalam pola B to B tetap ditangan pemerintah, terutama Departemen ESDM. Pola ini juga dinilai akan memberikan harga ekspor yang maksimal bagi negara dan menghindari conflict of interest kontraktor atau operator.

Kita dapat melihat dalam kasus Tangguh misalnya, penunjukkan BP sebagai pengembang/kontraktor dan penjual LNG Tangguh tentu saja memunculkan peluang konflik kepentingan. Apalagi, ternyata BP juga merupakan pengembang dan penjual LNG di Australian North West Self LNG (ANWS), yang pernah mengalahkan LNG Tangguh dalam proses tender di Guangdong.

Keberadaan BP disini jelas rancu, mengingat disatu sisi BP merupakan bagian dari LNG Tangguh, namun disisi lain BP juga merupakan bagian dari ANWS. Posisi inilah yang ditengarai banyak pihak menjadikan BP berpeluang besar mengetahui secara persis berapa harga yang diajukan LNG Tangguh dan ANWS yang berakibat kalahnya Tangguh dalam proses tender di Guangdong. BP sebagai penjual gas Tangguh bersaing dengan BP sebagai penjual gas ANWS ... Pemenangnya adalah BP, korbannya Tangguh, Indonesia.

Kita pantas mencurigai bahwa BP-lah yang menjadi biang keladi kekalahan kita pada tender di Guangdong tersebut. Tapi hal ini bisa saja akibar kebodohan kita, atau pembiaran yang sengaja dilakukan oleh oknum-onum tertentu, atau justru oleh oknum-oknum yang merupakan bagian dari suatu konspirasi yang koruptif atau berprilaku KKN.

Penutup

Konstitusi kita mengamanatkan kekayaan alam harus dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tanpa sedikit pun merugikan negara dan rakyat. Bagi kita, kerugian negara akibat kontrak Tangguh yang bermasalah ini sangat besar untuk dibiarkan berlalu tanpa renegosiasi kontrak dan pengusutan terhadap pelaku yang terlibat menetapkan kontrak. Apalagi ternyata, pengriman pertama (first drop) gas ke Korea dan China pun telah terlaksana pada Juli 2009 tanpa perubahan formula harga jual.

Dengan tetap dikirimnya gas tanpa koreksi harga, berarti sejak Juli 2009 pula negara sudah harus mulai menghitung kerugian. Padahal pada bulan Agustus 2007 yang lalu Menteri ESDM pernah mengatakan bahwa pemerintah tetap berkukuh untuk first drop harus sudah menggunakan harga baru. Purnomo menambahkan dengan harga minyak yang tinggi pada waktu itu, pemerintah menginginkan harga jual gas yang tinggi. ”Kita harus menyelesaikan negosiasi sebelum first drop,” katanya. Ternyata beliau hanya bicara tanpa hasil nyata...

Renegosiasi kontrak sudah sepatutnya dilakukan dengan mengajukan opsi-opsi yang menguntungkan, termasuk mengajukan formula harga gas yang merujuk harga minyak tanpa batas atas seperti yang berlaku umum di dunia. Dalam hal ini, kita berharap Presiden SBY dan tim negosiasi yang ditunjuk tidak hanya bicara tanpa tindakan konkret. Waktu 1 tahun sejak Presiden SBY mencetuskan pembentukan tim pada tanggal 28 Agustus 2008 yang lalu, hingga saat ini, rasanya sudah lebih dari cukup untuk memperoleh kemajuan. Tapi apa hendak dikata, hasil yang diharapkan tak kunjung diraih.

Sekarang, kita menagih hasil renegosiasi kontrak Tangguh: bukti nyata, bukan hanya janji! Sentilan Wapres JK pada debat capres putaran kedua bulan Juli 2009 yang lalu yang menyebutkan SBY telah ”meneken” Keppres Tim Negosiasi Tangguh, namun bekerja lamban dan hasil kerjanya tak jelas, perlu segera dijawab SBY dan Menko Perekonomian.

Selain itu, kita tidak ingin kasus Tangguh hanya menjadi alat politik saat pemilu legislatif dan pilpres, atau move dan sarana tawar-menawar untuk dibarter dengan kasus penyelewengan lain atau kebijakan pemerintah yang bermasalah. Kita sangat berkeberatan jika para oknum penyeleweng itu hidup bebas tanpa sanksi hukum sebagai buah dari transaksi politik. Oleh sebab itu, di dalam negeri, SBY, KPK dan DPR, serta lembaga yudikatif harus melakukan berbagai langkah nyata untuk mengusut pihak-pihak yang harus bertanggungjawab menetapkan ketentuan kontrak Tangguh yang berpotesni merugikna negara ratusan triliun rupiah tersebut.

sumber: http://eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menagih-janji-sby-renegosiasi-kontrak-gas-tangguh-2.htm

foto: detikcom