Tumben Hari Ini Wanita Tua Itu Tidak Melempar Kotoran Kepadaku?
Muhammad, Sang Nabi Saw adalah seorang yang sangat ramah dan santun. Beliau tidak pernah marah, walau pun ketika seseorang sedemikian menjengkelkannya.
Dan ajaibnya, Rasulullah tidak marah kepada wanita yang menjengkelkan ini.
Suatu hari, ketika Rasulullah lewat di depan rumah si wanita tua, tak ada lemparan kotoran yang ditujukan kepada beliau seperti biasanya.
Tentu saja hal ini membuat Rasulullah heran. Mengapa si wanita tua itu tidak melemparkan kotoran kepadaku seperti biasanya, demikian mungkin yang terbersit dalam pikiran sang Nabi. Lalu Nabi pun bertanya kepada tetangga wanita tua itu,
”Apakah ada yang terjadi dengan wanita tua pemilik rumah ini?”
”Beberapa hari ini dia sedang sakit dan terbaring di tempat tidurnya” Kata tetangga wanita tua itu.
Nabi terkejut. Lalu beliau meminta si tetangga mengantarkan beliau untuk menjenguk si wanita tua. “Mungkin dia membutuhkan sesuatu” pikir Nabi.
Ketika si wanita tua itu melihat Nabi saw mengunjunginya, si wanita tua itu menyangka bahwa Nabi Saw akan mendampratnya, maka dia pun berkata, ”Mengapa Anda harus menunggu sampai aku sakit dulu untuk mendampratku? Mengapa Anda tidak datang ke rumahku ketika aku sehat?”
Dengan lemah lembut Rasulullah Saw menjelaskan alasan beliau datang ke rumahnya, ”Aku datang tidak untuk mengatakan sesuatu yang tidak kamu sukai. Kedatanganku semata-mata untuk menjengukmu yang sedang sakit. Aku turut prihatin atas yang kamu derita saat ini”
Mendengar jawaban Rasulullah yang lembut dan tulus tersebut hati wanita tua itu pun luluh. Ia menjadi sedemikian takjub mendengar kata-kata Rasulullah itu. ‘Betapa mulianya lelaki ini’ pikir si wanita tua. Ketika Rasulullah Saw mendoakan dan menasihatinya, dengan penuh perhatian wanita tua ini diam dan mendengarkan semua yang diucapkan Rasulullah Saw. Tak lama setelah kejadian ini, wanita tua itu pun masuk Islam. (The Anecdotes, The Ahlul Bait Digital Islamic Library Project)
Menyombongkan Diri Dari Menyembah-Ku
“
Berdo’alah kepada-Ku niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri
dari menyembah-Ku (berdoa kepada-Ku) maka akan masuk neraka Jahannam
dalam keadaan hina dina”
(al-Qur’an Surah al-Mu’min [40] ayat 60
Rasulullah saww bersabda, ”Ibadah yang paling utama dari umatku setelah membaca al-Qur’an adalah berdo’a”, lalu beliau membaca ayat (di atas)…lalu sabdanya, ”Tidakkah engkau lihat bahwa berdo’a itu merupakan ibadah?” 1]
Salah satu kriteria orang congkak adalah orang yang merasa tidak membutuhkan Allah ‘Azza wa Jalla sehingga ia menganggap tidak perlu mengemukakan kebutuhan-kebutuhannya kepada-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Karena dia melihat dirinya serba cukup (istaghna)” (QS Al-’Alaq [96] ayat 7)
Salah satu penyebab arogansi kita adalah karena kita merasa sanggup mencukupi keperluan diri kita sendiri. istaghna di sini berarti menganggap diri kita tidak bergantung, kaya, dan mandiri. Keyakinan yang keliru bahwa kita bebas dari tuntutan kebutuhan akan membuat kita terputus, keluar dari tauhid dan terlepas (dari orbit penghambaan). 2]
Di dalam kitab al-Sahifah al-Sajjadiyah Imam al-Sajjad as berkata, ”Tuhanku, berdoa kepada-Mu adalah ibadah dan meninggalkannya adalah kesombongan”. Ini berarti bahwa salah satu kriteria orang yang sombong adalah orang yang tidak merasa butuh kepada Allah SwT dan itu merupakan kesombongan kepada-Nya.
Ibn ‘Atahillah qs mengatakan, ”Hanya orang bodoh yang meremehkan doa. Balasan akhir akan diperoleh di Akhirat, sedangkan doa akan hilang bersama akhir dunia ini. Maka lebih baik menekuni sesuatu yang tak tergantikan. Doa adalah apa yang Dia minta darimu, sedangkan jawaban adalah apa yang kamu minta dari-Nya. Tetapi apa perbandingan antara apa yang Dia minta darimu dengan apa yang kamu minta dari-Nya?” 3]
Doa merupakan ungkapan ibadah dan ekspresi ketaatan seorang pejalan ruhani. Doa juga merupakan pengakuan atas kelemahan dan keinginan kita untuk dapat menyaksikan-Nya. Sudah selayaknya doa dan ibadah-ibadah kita dimaksudkan demi menunjukkan keberhambaan kita dan pemenuhan hak-hak Allah.
KISAH MUHSIN QIRAATI DENGAN SEORANG PEMUDA
Pernah pada suatu hari seorang pemuda datang menemui Muhsin Qiraati, seorang pengajar agama di
Ia bertanya kepada Muhsin Qaraati,”Mengapa salat Subuh hanya dua rakaat?”
Muhsin Qaraati menjawab, “Saya tidak tahu, yang jelas, pasti ada dalilnya. Akan tetapi, kita tidak harus mengetahui dalil yang mendasari seluruh perintah Allah. Apalagi kalau kita rnenginginkan dalil-dalil tersebut diketahui sekarang ini juga.”
Beliau menambahkan, ”Dalam al-Quran, kita membaca bahwa tatkala posisi kiblat kaum Muslimin dipindahkan, Kami hendak mengetahui siapakah di antara mereka (yang setelah perpindahan kiblat itu) masih tetap mengikuti Nabi, dan siapa yang mencari-cari alasan dan membangkang perintah tersebut. Allah SwT berfirman,“Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot”. (QS al-Baqarah [2] ayat 143).
Dan kata beliau lagi, ”Apakah dalam Al-Quran tidak termaktub perintah kepada Nabi Ibrahim as untuk menyembelih puteranya sendiri, Ismail? Berkenaan dengan perintah tersebut, al-Quran mengemukakan bahwa semua itu dilakukan agar diketahui siapakah yang memang bersedia berkorban demi Kami?
“Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik..” (QS ash-Shâffât [37]: 105) 4]
Allah menjadikan pengabdian terhadap-Nya sebagai kewajiban atas diri kita, yang sejatinya adalah demi mengarahkan kita untuk membuat jalan menuju ke Surga-Nya.
Ketaatan kita tidak menguntungkan-Nya sedikit pun, dan kealpaan serta kemaksiatan kita juga tidak merugikan-Nya sedikit pun. Dia menyuruh kita berbuat taat dan melarang berbuat maksiat adalah semata-mata demi kepentingan kita sendiri, bukan untuk kepentingan-Nya.
Kemuliaan-Nya tidak bertambah ketika seseorang mendekatkan diri kepada-Nya dan demikian juga kemuliaan-Nya tidak berkurang ketika seseorang menjauhi-Nya.
Oleh karena itu membangkang kepada-Nya merupakan tindakan dan langkah yang bodoh dan dungu. Bagaimana pun juga berpaling dari penghambaan kepada-Nya adalah keburukkan yang teramat sangat.
Rasulullah saww bersabda, ”Sejelek-jelek seorang hamba adalah hamba yang sombong lagi congkak dan ia melupakan Kebesaran Yang Maha Tinggi” 5].
Di lain riwayat Nabi bersabda, ”Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang sombong, melampaui batas, dan menindas dan ia lupa kepada Yang Maha Gagah lagi Maha Tinggi” 6].
Syekh Abdul Jabbar al-Nifari qs mengutip sebuah firman-Nya (dalam hadits Qudsi), ”Laksanakan saja apa yang menjadi perintah-Ku tanpa menoleh ke belakang. Jika demikian keadaanmu, kedudukanmu sama dengan Malaikat-Ku yang berkemauan teguh!” 7]
Laa hawla wa laa quwwata illa billah.
Catatan Kaki :
1] Mustadrak al-Wasail 5 : 159
2] Syaikh Fadlullah Haeri, Tafsir al-Qur’an, Juz ‘Amma, Surah al-‘Alaq ayat 7.
3] Ibn ‘Athaillah, al-Hikam, himkah no. 112
4] Muhsin Qiraati, Mencari Tuhan, Bab Ketauhidan, Ahlul Bayt Digital Islamic Library.
5] Bihar al-Anwar 72 : 201
6] Ibid
7] Syekh Abdul Jabbar al-Nifari, Al-Mawaqif wa al-Mukhathabat, Bab Makna al-Islam, hal.
Mengenal Diri
“Kenali dirimu sendiri!”. Konon kalimat ini terpahat di kuil
Thomas a Kempis, seorang rahib abad pertengahan, penulis Imitation of Christ juga mengatakan, ”Pengenalan yang sekedarnya atas dirimu itu lebih meyakinkan ketimbang penggalian yang mendalam atas sebuah pengajaran.” 2]
Bagaimana pun, mengenal diri merupakan aspek agama tertinggi, kata-kata “Kenalilah dirimu sendiri” telah menjadi aforisma abadi hingga saat ini. Nabi Muhammad Saw pun diriwayatkan pernah bersabda, ”Barangsiapa yang mengenal dirinya niscaya ia akan mengenal Tuhannya.” 3]
Imam al-Shadiq (as) juga berkata, ”Jagalah hatimu dari ketidakpedulian, lindungilah dirimu dari yang lebih rendah dari hasrat keinginan. Jagalah akalmu dari kebodohan, dan kamu akan diakui di antara teman-temanmu yang mewaspadaimu. Wajib bagi siapa saja untuk mencari ilmu; yakni ilmu tentang diri sendiri.” 4]
Segala yang kita lakukan ternyata mengarah kepada pengenalan diri, seperti : shalat atau doa, konsentrasi, perbuatan baik, pemikiran baik, sejatinya mengarahkan kita untuk mengenal diri kita sendiri yang kemudian menghasilkan pengenalan akan Tuhan.
Namun bagaimana kita dapat sampai kepada pengenalan diri yang sesungguhnya? Dan sejauh mana seseorang dapat mengenal dirinya sendiri?
Sebenarnya tidaklah mudah bagi manusia untuk mengenal dirinya yang sesungguhnya, karena diri yang ingin ia kenal itu tidak terbatas. Diri yang ia sadari sejak lahir atau diri yang telah membuat sebuah konsepsi tentang dirinya sendiri itu adalah tidak terbatas.
Seberapa besar kebanggaan dan kesombongan seseorang, tetap saja ia tidak dapat mengetahui hakikat dirinya sendiri. Kita bisa mengambil sebuah contoh yang paling mudah: ambillah sehelai rambut yang ada di kepala kita dan lihatlah, apakah kita mengetahui hakikat sesungguhnya dari materi yang terkandung di dalamnya?
Andai pun para ahli biologi, microbiologi atau ahli genetik sekali pun telah mencoba menyelidikinya, tetap saja masih ada banyak hal yang belum mereka ketahui tentang zat yang pasti yang terkandung di dalamnya.
Albert Einstein mengatakan, ”Only two things are infinite, the universe and human stupidity” – “Hanya ada dua hal yang tidak terbatas : alam semesta dan kebodohan manusia.” 5]
Seberapa pun bagusnya gagasan seseorang tentang dirinya, ia hanya akan mengenal keterbatasannya dan kekecilan wujudnya.
Walau pun dia seorang raja yang memiliki kekuasaan yang membentang di Timur dan Barat, tetap saja dia akan menyadari keterbatasannya ketika datang saat dimana kerajaannya lenyap dan saat itulah ia tersadarkan bahwa sebenarnya ia bukanlah ‘raja’.
Kebesaran duniawi tidak akan pernah membuat dirinya menjadi besar. Jika ada sesuatu yang membuat dirinya besar, itu hanya membuat dirinya tinggi atau menonjol alih-alih meninggikan Tuhan.
Orang-orang yang ingin memulai mengenal dirinya melalui prinsip-prinsip filsafat dan intelektual, malah akan membuat dirinya bingung, karena sedemikian banyak metode-metode yang keliru.
Fir’aun berkata, ‘Aku-lah Tuhan ‘. Ini merupakan bentuk keangkuhan dan kebodohan.
Untuk mencapai kesempurnaan, yang pertama-tama mesti dilakukan adalah menghancurkan delusi semacam ini. Penghancuran delusi semacam ini dapat dilakukan melalui cara-cara yang diajarkan oleh para guru besar, dengan jalan konsentrasi, khusyu’, shalat dan meditasi zikir.
Dengan upaya melupakan diri dan menggantikannya dengan kesadaran diri, atau dengan kata lain bangkit keluar dari keterbatasannya, diharapkan ia dapat menghapus sang ego (al-nafs) dengan kesadaran dan ‘menempatkan’ Tuhan di dalam kesadarannya. Inilah jalan untuk mencapai kesempurnaan yang sedang dicari oleh setiap jiwa. 6]
Di dalam kitab Mizan al-Hikmah diriwayatkan bahwa seseorang bernama Majasyi’ datang kepada Rasulullah Saw lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju pengenalan kepada Allah (al-Haq)?”
Rasul saww menjawab: “Pengenalan diri (nafs)”
Orang itu kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara menyesuaikan diri dengan Allah?”
Rasulullah saww menjawab, “Menyelisihi ego (nafs)”
“Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju keridhaan Allah?”
“Membenci ego (nafs)!”
“Wahai Rasulullah, bagaimana cara untuk sampai kepada Allah?”
“Hijrah dari ego!”
“Wahai Rasulullah bagaimana jalan untuk taat kepada Allah?”
“Menentang ego!”
“Wahai Rasulullah, bagaimana cara berdzikir kepada Allah?”
“Melupakan ego!”
“Wahai Rasulullah, bagaimana cara mendekat kepada Allah?”
“Menjauhi ego!”
“Wahai Rasulullah, bagaimana cara berakraban dengan Allah?”
“Melepaskan diri dari ego!”
“Wahai Rasulullah, bagaimana jalan untuk mencapai-Nya”
“Memohon pertolongan kepada Allah di dalam mengatasi ego!” 7]
Catatan Kaki :
1] Thales dari
2] Thomas a Kempis, 1379-1471, Imitation of Christ, terj. Richard Whitford, diperbarui oleh Harold C. Gardiner, NewYork; Doubleday,1955, h. 35.
3] Muhammad Baqir Al-Majlisi,
4] James Fadiman & Robert Frager Essential Sufism, Penerbit Harper
5] Albert Einstein, 1879-1955, ahli fisika keturunan Yahudi kelahiran Jerman yang juga warga Amerika dan peraih Nobel.
6] Hazrat Inayat Khan, From Limitation to Perfection.
7] Mizan al-Hikmah 6:142-143
Hidup Itu Seperti Sepotong Kue
Rima, gadis kecil berusia 6 tahun mengadu kepada neneknya bahwa semua urusan yang dihadapinya menjadi runyam – sekolah, problem keluarga, kesehatan dan sebagainya. Mulut kecilnya terus nyerocos “curhat” kepada neneknya.
Saat itu sang nenek sedang membuat kue. Sang nenek menawarkan kue kepada Rima. Tentu saja gadis cilik itu mengangguk gembira, “Mau, mau, nek!”
“Kalau begitu tolong kamu ambil margarine di kulkas!” Kata si nenek tersenyum
“Oke Nek!” Gadis kecil itu langsung meloncat ke belakang berlari kecil menuju kulkas.
“Oya, Rima, ambilkan juga telur 4 butir..” Sang nenek sedikit berteriak sambil mengambil tepung terigu, gula dan baking soda, dan lain-lain.
Rima sudah dihadapan neneknya. Matanya terus memperhatikan semua yang dilakukan neneknya. Wajah Rima mulai meringis merasa jijik ketika melihat semua bahan kue dicampur di dalam adonan dan diaduk neneknya.
“Ih jijik, nek!”
Neneknya tertawa.
“Ya. Semua ini terlihat menjijikkan, tapi jika semua ini ditempatkan sesuai dengan takarannya…hmmm….semua ini akan menjadi sesuatu yang lezaaat!,”
Kata sang nenek sambil memasukkan adonan kue ke dalam oven.
______________________
Betapa sering kita bertanya-tanya mengapa Tuhan membiarkan kita “masuk” ke dalam kesulitan.
Namun, ketika Dia meletakkan segala sesuatu sebagaimana titah-Nya,
akhirnya semuanya berjalan baik.
Kita hanya perlu berusaha dan bertawakkal kepada-Nya :
Bahwa semua kehendak-Nya mempunyai Hikmah yang Indah di balik yang terlihat dan yang kita rasakan.
Putri Nabi, Sayyidah Fathimah as senantiasa berdoa :
Yaa Hayyu Yaa Qayuumu, Birahmatika Astaghiitsu Wa Ashlih liy Sya-aniy
“Wahai Yang Maha Hidup, Yang Mengurus Makhluk-Nya terus menerus, Dengan Rahmat-Mu Aku Memohon Pertolongan, dan Jangan Engkau Tinggalkan Aku Seorang Diri Walau Sekejap-pun.”
Memahami Penyebab Kemarahan
“Sesungguhnya angan-angan
menghilangkan akal,
mendustakan janji-janji Tuhan,
mendorong kepada kelalaian,
mewariskan kepayahan.
Oleh karena itu dustakanlah angan-angan(mu),
karena sesungguhnya ia akan menipu(mu)”
~ Imam Ali as *]
FRUSTRASI MENDORONG SESEORANG UNTUK MELAKUKAN PENYERANGAN (AGRESI)
Para peneliti emosi manusia mengenali bahwa kejadian-kejadian tertentu dan aksi atau perbuatan orang lain tampak membuat kita menjadi marah (mad), seperti ketika kita secara sengaja disakiti, dihina, ditipu, dibohongi atau diolok-olok – semua ini membangkitkan kemarahan dan sikap agresif kita (Byrne & Kelley, 1981).
Dalam setiap kasus, kita berusaha untuk bersikap lebih penuh pertimbangan, lebih adil, dan lebih memahami. Kita mengalami frustrasi, ketika kita merasa terhalang atau dihalangi untuk dapat mencapai tujuan dan harapan-harapan kita. Beberapa teori percaya bahwa kemarahan secara alami hanya ditimbulkan oleh rasa frustrasi. Ini disebut : hipotesa frustrasi-agresi (the frustration-aggression hypothesis)
Rasa frustrasi kita akan semakin kuat jika tujuan kita sedemikian diinginkan dan diharapkan. Dan jika kita semakin dekat dengan tujuan kita dan berusaha untuk mendapatkannya, namun tiba-tiba muncul rintangan yang menghalangi kita, kita akan merasa bahwa semua ini tidak adil. (Aronson, 1984; Berkowitz, 1989).
Sebagian dari kita bahkan meledakkan amarahnya dan selebihnya mengenyampingkan perasaan-perasaan mereka. Kadang-kadang tekanan darah kita naik lebih tinggi ketimbang ketika amarah kita meledak, dan pada waktu-waktu lainnya tekanan darah kita naik lebih tinggi ketimbang ketika kita mengenyampingkan perasaan-perasaan kita. Semuanya bergantung pada situasi.
Reaksi-reaksi kemarahan yang lebih merusak secara psikologis tampak terjadi pada dua kondisi ekstrem, yakni, ketika kita benar-benar merasa putus asa, atau, sebaliknya, ketika kita terlampau optimis berharap dari tujuan-tujuan yang takkan pernah dapat kita capai.
Ternyata, walaupun kita frustrasi dan merasa marah, kita tidak mesti selalu menjadi agresif – Kita dapat mengontrol kemarahan kita, tetapi sebagai dasar gerakan yang tinggal di
Tak lama kemudian ia bertengkar dengan adik perempuannya. Kemarahan yang tidak terlampiaskan kepada sasaran yang sebenarnya, akhirnya dialihkan kepada sasaran yang bukan sesungguhnya.
Inilah sebuah pelepasan yang sepihak dari frustrasi yang terpendam, tetapi menjadi kekecewaan awal yang boleh jadi tidak pernah dialami sepenuhnya. Tentu saja, pengalihan sasaran ini juga dapat menjadi sumber yang nyata dari kemarahan.
2. Ketika rasa marah terbentuk di dalam diri, barangkali seperti tekanan yang ada dalam sistem hidrolik, yang telah dipikirkan oleh banyak ahli terapi menjadi sedikit berkurang ketika perasaan-perasaan diekspresikan. Hal ini disebut “menyalurkan” atau catharsis (pelepasan emosi yang dihubungkan dengan ekspresi dari konflik ketidaksadaran), sebuah pembersihan sistem.
Pada awal-awal karir Freud, terapi psikoanalisis bergantung kuat pada catharsis ini – penutupan trauma-trauma emosi lama dan “menyalurkan” perasaan itu sampai kita memahami stres internal dan “mengeringkan atau mengosongkan” sepenuhnya emosi-emosi yang terkurung -. Ini sangat populer dan gagasan umum, bahwa perasaan butuh untuk diekspresikan secara terbuka dan menyeluruh.
Contoh jelasnya, ketika seorang anak kecil menginginkan sesuatu, tapi tidak bisa mendapatkannya, maka ia akan langsung menangis, marah, atau bahkan memukul. Kita, orang-orang dewasa, tentu saja tidak seperti itu, akan tetapi kita melihat kemunculan frustrasi sebagai reaksi yang sangat bisa dipahami.
Bagaimanapun, riset terbaru pantas dipertimbangkan, yang telah ditafsirkan sedemikian untuk mengangkat keraguan atas nilai usaha “mengosongkan” kemarahan kita.
Yang pertama dari semua itu, adalah sangat jelas ketika kita menyaksikan prilaku dan tindak kekerasan pada film-film di bioskop, atau pada acara-acara TV, dan bahkan di arena-arena olah raga, dan berakibat meningkatkan respon agresif kita ketimbang mengosongkan kemarahan kita (Bandura, 1973).
Mungkin hal ini jadi tampak masuk akal, ketika kita menyaksikan tindakan-tindakan agresi yang ditampilkan di layar kaca atau layar lebar atau bahkan di ring-ring tinju memainkan peran yang mungkin menyediakan suatu model dan beberapa dorongan kepada seseorang yang sedang marah.
Yang pasti, menyaksikan suatu film tidak sama halnya dengan terapi katarsis, di mana suatu pengalaman pribadi yang menyakitkan dikenang lagi di dalam amarah yang kuat dan niat yang spesifik, demi mengosongkan seseorang dari racun kemarahannya. [Psychological Self Help, p. 642]
Laa hawla wa laa quwwata illa billah
Catatan Kaki :
* Baqir al-Majlisi,

Australia Akui Ada Faktor Minyak di Balik Invasi Irak
Untuk pertama kali, Pemerintah
Dalam sebuah tinjauan strategi pertahanan
“Timur Tengah sendiri, tidak hanya Irak, tetapi juga seluruh kawasan Timur Tengah, adalah penyedia energi penting untuk dunia.
Pernyataan tersebut membuktikan argumen para penentang keras Perang Irak bahwa invasi AS pada tahun 2003 lebih didorong kepentingan minyak daripada alasan menemukan senjata pemusnah massal milik Saddam Hussein.
Nelson mengatakan, alasan utama
“Dari semua alasan itu, sangat penting jika Australia memandang, adalah kepentingan kami untuk menjamin bahwa kami meninggalkan Timur Tengah, terutama Irak, dalam situasi keamanan berkesinambungan,” ujar Nelson.
Dia menambahkan, pasukan
“Kami telah memutuskan bahwa kondisi di Irak yang akan menentukan (penarikan pasukan), bukan situasi politik di Australia,” kata Nelson.
Oposisi Partai Buruh menyatakan, pengakuan pemerintah tersebut bertentangan dengan pernyataan yang dibuat pada tahun 2003. “Pada saat itu, ketika ditanya apakah invasi tersebut berhubungan dengan minyak, Howard menegaskan, tidak ada kaitan apa pun dengan minyak,” kata Ketua Partai Buruh Kevin Rudd.
Partai Buruh berjanji akan menarik pasukan
Dalam sebuah wawancara pada malam invasi dilakukan, Howard menyangkal dukungan
Korban nyawa
Bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan AS, Rabu, dua tentara AS kembali dilaporkan tewas di Irak. Satu tentara tewas saat sebuah helikopter AS jatuh di Provinsi Niniveh, sebelah utara Irak.
Satu tentara lainnya juga tewas dalam operasi militer di selatan
Dengan bertambahnya dua korban, jumlah total tentara AS yang tewas sejak invasi pada tahun 2003 sudah mencapai 3.580 orang. (ap/afp/fro)
Sumber : Kompas, Jumat, 6 Juli 2007
Muhammad Saifu Mujab El Jawil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah semau anda, tentunya yang sopan dan teratur (tidak menjurus ke maksiatan/kata2 kasar).....!!